Fakta:
SMS tgl 3 Oktober 2010 pk 18.07 WIB:
“Mo, binun deh, knapa temen OMK, ga mw misa. Doi aktivis komunitas
doa kita. Katanya misa bikin boring mending bikin doa sendiri, kadang
jajan ke grj bethel n pantekosta” .
Dalam hati aku bergumam: “Ini wilayah katekese Liturgi , spiritualitas dan komunitas”.
Yahoo Mesenger, chatting tgl 20 Juli 2010 pk 20.44 WIB:
“Mo, tolong. aku sakit hati banget. Rasanya habis manis sepah
dibuang. Kecewa… kok ada cowok Katolik seperti itu. Pedih… pedih… mau
nangis… ”
Dalam hati aku bergumam: “Ini wilayah Pengakuan dan Kamar Tamu
(Konseling-Poimenik), tapi toh bertalian dengan aneka kerumitan
lainnya”.
Yahoo Mesenger, chatting tgl 14 September 2010 pk 18.05 WIB:
Seorang Ketua Lingkungan di Semarang: “Mo, paya de… ada BKS di rumah,
anakku malah nglayap.. piye, jal?. Yang hadir cuma 5 orang
tuwir-tuwir”.
Dalam hati aku bergumam: “Ini wilayah Sistemik fokus Pastoral yg tak kunjung jelas”
Mail Message melalui Facebook, 26 Agustus 2010 pk 19.15 WIB:
“Mo, kalo ada info kerjaan, please aku diprioritaskan yaaach… Mummmeett…”
Dalam hati bergumam: “Soal ini, Presiden dan Mentri Tenaga Kerja pun bingung?”
Komentar seorang pastor tahun 2001, pada rekoleksi Tahun Kaum Muda KAS:
“Sudah habis waktuku buat misa lingkungan, berkat jenazah, kunjungan
keluarga… Tak sempat lagi ngurus kaum muda… Malah mereka bikin ribet
saja… memboroskan dana…”
Dalam hati bergumam: “Ini soal paradigma terhadap orang muda dan paradigma tugas pastoral”.
Kalimat dari mulut aktivis ormas muda, tahun 2005, pernas OMKI Cibubur:
“OMK, Mudika.. apa bedanya tuh… bikin bingung.. Apa maunya Gereja?
Tetap saja kaum muda Katolik jago kandang… tak mau ke luar gaul di
sesama muda-mudi agama lain dan masyarakat…”
Dalam hati berumam: “Ini soal Apostolicam Actuositatem, Nostra Aetate, dan Evangelii Nuntiandi”
Dan masih banyak lagi….
Ada yang bilang: Pastoral OMK, dari dulu sampai kekal, selalu mulai
dari nol menuju tak jelas. Tetapi bagi saya, pasti itu karena pihak-
pihak yang mestinya menangani tidak mau terjun. Jika kita mau terjun
langsung bersama OMK, tetap ada benih-benih unggul dan secercah harapan.
Bagaimanapun, pastoral OMK, (lajang usia 13 – 35 tahun, PKPKM –
KomKep KWI 1995), tetap rumit, melibatkan semua dimensi kehidupan, namun
bagaimanapun tetap vital karena masa depan kita di tangan mereka. Dari
mana kita mulai memikirkannya?
How to Intiate? Dari Visi Gereja !
Gereja Katolik sekarang hidup dengan semangat Konsili Vatikan II
(1962-1965). Sebagai muktamar para uskup yang terbesar sepanjang sejarah
Gereja, konsili ini kental berwarna pastoral. Konsili Vatikan II
memberi visi baru tentang karya pastoral Gereja. Para bapa konsili di
bawah kepemimpinan paus membaharui pertama-tama visi mengenai Gereja,
yakni Umat Allah. (lihat Lumen Gentium bab II). Gereja adalah
kesatuan seluruh umat beriman kepada Kristus. Salah satu konsekuensi
pastoralnya ialah bahwa Gereja mesti terbuka pada seluruh umat, siapa
mereka, apa profesi serta dari mana di mana pun posisi mereka.
Faham bahwa karya pastoral Gereja paroki adalah karya sakramental
teritorial saja kini dinilai tidak cukup lagi. Gereja di jaman ini
dipanggil juga untuk menjadi Gereja kategorial, demi pelayanan yang
makin menjangkau semakin banyak orang, khususnya orang muda.. Kekuatan
Gereja tidak tergantung pada kemampuan dan kemauan pastor parokinya
belaka. Selain tidak sesuai dengan zaman, juga tidak sesuai dengan
cita-cita Konsili Vatikan II, sebab yang bisa dijala hanya oleh
inisiatif pastor paroki terbatas. Umat dan orang muda punya pengalaman
hidup dan iman mereka sesuai dengan panggilan profesinya masing-masing.
Visi Tentang Pastor Paroki
Fakta sejak abad-abad lalu, pastor paroki adalah seorang pelayan
sakramen di batas wilayah teritorial tertentu. Hal ini berlangsung
terus, praktis sampai zaman pasca Konsili Vatikan II ini. Namun,
seorang pastor paroki di zaman ini mesti menempatkan dirinya dalam visi
Gereja mondial serta menyadari panggilannya berkait dengan visi karya
pastoral Gereja Konsili Vatika II. Maka menjadi seorang pastor paroki
diharapkan tidak hanya menjadi seorang pelayan sakramen, apalagi hanya
’tukang’ Ekaristi saja walaupun itu memang tugas pokok pertama kali. Hal
ini karena pastor bukan hanya seorang pemimpin, namun juga mesti
seorang manager. Tapi hendaknya ia bukan menjadi comercial manager melainkan pastoral manager.
Ia sebaiknya juga menguasai manajemen yang utuh sehingga mampu
mengelola permasalahan pastoral dengan tepat sasaran dan menjala
sebanyak mungkin orang untuk keselamatan. Manager macam ini adalah pemimpin yang melayani, seperti yang telah dicontohkan sendiri oleh Tuhan Yesus dan para rasul.
Visi Tentang Gereja Paroki
Pelayanan pastoral teritorial sebenarnya berasal dari tradisi pastor seumur hidup di tanah Eropa abad pertengahan.
Praktek itu didukung oleh zaman agraris yang menuntut teritorial
sebagai basis hidup seseorang. Dulu mata pencaharian seseorang bersumber
pada tanah. Rejeki hidupnya ada di tanah, makin luas tanah, makin
menjamin kehidupan. Kini jaman sudah berubah. Mata pencaharian orang
tidak lagi berbasis pada tanah, melainkan pada apa pun yang memberi
rejeki hidup. Masyarakatnya bukan agraris lagi, melainkan modernis
dengan era digital dan mobilitas pergerakan yang tinggi.
Paroki mesti sedikit atau banyak mengubah mindset, dari pelayanan sakramental teritorial belaka, ke arah pelayanan pastoral personal/kategorial/profesional. Ini berarti, menambahkan
pelayanan pastoral teritorial plus. Orientasi karya pastoral paroki
hendaknya direncanakan berdasarkan pada ajaran ”dogma plus”, yaitu dogma
Gereja plus kenyataan hidup umat. Kalau tujuannya adalah keselamatan
jiwa-jiwa, maka yang mesti menjadi pertimbangan utama adalah jiwa-jiwa
umat. Sama sekali bukan melulu berdasarkan kebiasaan yang yang ada, yang
seringkali terikat pada zamannya. Paroki di pusat kota berbeda dengan
yang berada di pinggiran. Paroki di desa berbeda dengan paroki di
pinggir pantai dll. Paroki tua, dengan umat yang sudah sepuh-sepuh juga
berbeda dengan paroki di kompleks perumahaan baru. Karenanya tidak
mungkin dan tidak perlu dibuat peraturan yang sama, atau seragam yang
berlaku pada semua paroki di seluruh wilayah keuskupan.
Menangani karya pastoral paroki senantiasa memerlukan ketrampilan
managerial. Dewan Paroki dengan ketua Pastor Paroki mesti menemukan
potensi yang ada dan mengembangkan aneka potensi umat semaksimal
mungkin. Menemukan kebutuhan yang real dan kebutuhan ideal sebagai umat
Allah. Memperhitungkan kekuatan dan kelemahan yang ada. Setelah semuanya
itu, merencanakan sesuatu berdasarkan perhitungan tersebut. Meskipun
demikian, harus diakui bahwa dari jaman dulu sampai kini selalu ada yang
tetap misalnya administrasi paroki dan kedudukan paroki itu sendiri.
Di situlah tempat untuk Allah berkarya melalui Roh Kudus yang hadir di
dalam Gereja umat Allah.
Tanggungjawab Gereja pada Orang muda
Siapa Orang Muda Katolik?
Pedoman Pastoral Kaum Muda menyebut Katolik lajang usia 13-35 tahun.
Jika demikian, sebagian besar umat Katolik adalah orang-orang muda.
Mereka adalah orang-orang yang karena usianya belum punya tempat untuk
kiprah di dalam Gereja. Pada umumnya hal ini dianggap sebagai sesuatu
yang biasa, lumrah saja, tanpa perlu diambil tindakan apa pun. Di lain
pihak meskipun, orang-orang tua yang jumlahnya lebih sedikit, namun
merekalah yang sering memegang wewenang di dalam Gereja kita. Akibatnya
orang muda sering hanya menjadi obyek pelayanan Gereja dan bukan subyek
pelayanan. Memang harus diakui bahwa di samping segala kelebihan yang
belum tergali pada diri orang muda, ada segudang permasalahan yang
menghadang yakni aneka masalah psikologis seputar identitas diri maupun
masalah sosio-antropologis sebagai anggota masyarakat moderen dewasa
ini. Demikian sehingga umumnya orang muda belum atau malah tidak sanggup
menentukan dirinya sendiri.
Ketidaksanggupan ini bukan karena mereka bodoh melainkan karena mereka tidak berdaya (powerless)
di tengah kaum senior di sekelilingnya. Mereka tidak bersalah, namun
sering dipersalahkan. Mereka adalah korban sistem masyarakat dunia
dewasa ini, namun sering dituding sebagai pengganggu. Akibatnya mereka
ini bingung bahkan tidak jarang menjadi linglung. Bingung dengan dirinya
sendiri. Bingung dengan orang-orang tua mapan yang juga bingung di
tengah kemajuan zaman ini. Tiada teladan tiada jalan bagi orang-orang
muda tersebut. Karena itu tidak mengherankan kalau berkarya untuk,
berkarya bersama dan demi orang muda janjinya bukan prestasi melainkan frustrasi. Semoga di waktu sekarang, dimulai perubahan justru dari paradigma kita memandang orang muda.
Mengapa Orang Muda ?
Kecuali sisi gelap seperti di atas, orang muda juga punya sisi
terang. Sebagai orang muda, mereka kalah pengalaman (paling tidak
penglamaan) dengan mereka yang tua. Namun justru karena kekurangan
inilah orang muda siap untuk berbuat apa saja demi memperoleh pengalaman
(penglamaan) yang menjadi harta orang tua. Dalam masa pencarian ini,
seringkali orang muda salah langkah, salah pilih, karena salah nilai.
Karena itu orang muda memanggil kita, orang tua untuk mendampingi
mereka. Mendampingi mereka dalam pengenalan nilai-nilai, dalam memilih,
apalagi dalam memperjuangkan nilai-nilai hidup manusia maupun nilai
kristiani. Kalau tidak, orang muda yang amat reseptif atas aneka nilai
ini dan hidup di tengah budaya permisif ini, bisa jadi justru akan makin
bingung. Dan celakanya, mereka sendiri tidak mungkin menolong dirinya
sendiri. Kita, orang tualah yang diundang untuk membantu orang muda
tersebut.
Sisi terang orang muda lainnya ialah bahwa orang-orang muda kita
menyimpan kekuatan besar dalam dan diri dan jiwa mereka. Tenaga orang
muda luar biasa, semangat orang muda ini besar, belum lagi didukung
oleh cita-cita luhur mereka. Semuanya itu andai saja dapat
diintegrasikan pasti dapat menjadi sumber rahmat bagi Gereja dan
masyarakat pada umumnya. Seumpama harta, orang muda adalah harta tak
ternilai bagi Gereja. Namun, memang punya harta saja belum cukup, sebab
masih memerlukan kemampuan untuk menggunakan apalagi mengembangkannya.
Permasalahan Orang Muda
Identitas diri
Masalah laten yang selalu menyertai orang muda adalah identitas diri.
Tanpa ini orang muda tidak pernah akan tumbuh. Dalam hal ini yang
dibutuhkan adalah pendampingan orang yang sudah melewati dan mengatasi
permasalahan ini.
Tahun 1992 Keuskupan Agung Jakarta membuat suatu penelitian dengan
hasil akhir sebagai berikut. Ada tiga masalah utama yang mencekam orang
muda:
Orang muda yang ber umur 13-17 tahun, masalah terbesarnya adalah
soal identitas diri. Sedang yang berumus 17-25 tahun umumnya menghadapi
permasalahan menentukan karier. Dan mereka yang berumur 25 tahun.
plus umumnya bergulat dengan masalah perjodohan.
Aktualisasi diri
Kecuali kebutuhan untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas,
orang memerlukan kemudahan dan pendampingan dalam mengaktualisasikan
dirinya. Secara sederhana orang muda butuh waktu dan tempat serta teman
untuk dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal. Orang dewasa
sebetulnya lebih dibutuhkan kehadiran dan keberadaannya lebih sebagai
teman daripada sebagai penasihat.
Pendampingan
Pendampingan diperlukan orang muda bukan pertama karena pendamping
lebih ahli daripada yang didampingi melainkan karena wibawa dan otoritas
yang dimilikinya. Dari pendamping sebetulnya tidak dituntut suatu ilmu
atau keahlian. Kalau pengalaman pendamping dibutuhkan pun tidak secara
langsung diperlukan, sebab itu semua dapat mereka temukan sendiri.
Sedangkan otoritas atau wewenang hanya dapat dimiliki oleh pendamping.
Seperti kita tumbuh dan berkembang bersama orang lain, maka bila
pendamping ada, maka pertumbuhan orang dapat lebih pesat karena orang
muda punya kebanggaan lebih. Orang muda mendapat nilai tentang dirinya
justru dengan aktualisasi dirinya.
Tradisi Pendampingan Kaum Muda:
Sayang bahwa selama ini dunia pendampingan sudah terlanjur salah
kaprah. Kesalahan ini berawal dari kekeliruan konsep pendidikan. Yakni
pendidikan yang berorientasi pada hasil, daripada pada proses.
Pendidikan masih saja mengutamakan pemberian isi, dan kurang memberikan
perhatian pada pembangunan suasana demi kelancaran proses. Seperti
seekor benih ikan yang bermutu, bila hidup di air yang keruh, apalagi
terpolusi, pasti tidak bisa tumbuh dengan baik. “Lebih baik benih ikan
yang kurang bermutu, namun air tempat hidupnya sehat, karena di situ
ikan akan berkembang baik,” demikian kata alm Mgr. Leo Soekoto SJ.
Banyak pendamping dan pendampingan yang lebih menekankan isi daripada
suasananya. Akibatnya menimbulkan frustrasi di kedua belah pihak:
pendamping dan orang yang didampinginya.
Pertumbuhan itu proses bukan tumpukan konsep atau ide. Pendidikan itu
butuh waktu dan tempat dan lebih dari itu butuh hati orang-orang lain
di sekitarnya. Orang muda juga bukan tempat untuk menampung segala ide
dan pengalaman. Orang muda mencoba segala ilmu dan nasihat. Orang muda
tidak butuh nasihat, sebab masalahnya bukan terletak pada kurangnya
pengetahuan, melainkan kurangnya kesempatan dan tempat untuk mengaktualisasikan dirinya, intinya: kurang dipercaya!
Orang muda akan punya pengalaman jika dipercaya. Dalam pengolahan
pengalaman itulah orang muda memerlukan orang tua/ pendamping yang
siap menjadi teman.
Di Gereja Paroki, Apa yang Dapat Kita Buat Bersama Orang Muda?
Orang muda merupakan sumber kekuatan dan kehidupan serta pembaharuan
Gereja. Bila Gereja tidak pandai-pandai menangkap dan memanfaatkan
kekuatan orang muda, dengan cepat Gereja akan mengalami kehancuran.
Minimal, tanpa orang muda, Gereja hanya akan mengalami kemandegan
mungkin malah kemunduran. Dan kalau ini terjadi orang dewasa akan
kehabisan tenaga dan energi dan akan sia-sia. Untuk apa segala
keberhasilan orang dewasa kalau orang muda lari keluar dari Gereja
Katolik.
Secara teoritis dapat dirumuskan demikian:
Di Gereja paroki mesti dikembangkan karya pastoral orang muda
berdasarkan realita orang muda. Artinya, mesti ada data untuk
pengembangan pastoral.
Siapa orang muda yang de facto ada dan datang ke Gereja paroki kita?
Bagaimana umumnya tingkat pendidikan dan kemampuan mereka: SMU, mahasiswa, karyawan?
Bagaimana suasana pada umumnya: pergaulan antar mereka, keakraban antar mereka, mutu pembicaraan mereka dll.
Menurut St Ignatius Loyola, kita mesti mencari pintu masuk ke mereka,
agar kita dapat membawa ke mana kita inginkan. Pintu masuk itu kita
temukan bila kita mengenal mereka dan punya kemauan untuk menemukannya.
Untuk itu kita mesti menyediakan waktu dan memperkuat kemauan dan
bertekun dalam menghadapi aneka kemungkinan. Termasuk dan lebih-lebih
rasa frustrasi dalam setiap usaha pendekatan tersebut. Barang kali
semacam usaha untuk memberi tempat kesempatan dan kepercayaan,
formal maupun informal, perlu terus menerus diusahakan. Dalam hal ini
kita perlu pandai-pandai menciptakan kesempatan kepada orang muda untuk
bertemu, saling mengenal, saling mendukung.
Konkretnya apa?
- Mengenali nama mereka satu demi satu (sehabis perayaan Ekaristi, pagi, hari Minggu), mendengarkan siapa, mengapa ke gereja dll?
- Mengakui keberadaan mereka: Mereka riil ada di dalam Gereja lalu mengajak mereka ini terlibat dalam aneka kehidupan dan kegiatan Gereja.
- Menyediakan suasana, kemudahan untuk mengakui keberadaannya: dengan pengenalan antara orang muda, sewaktu perayaan Ekaristi dan sesudahnya atau membuat acara bersama khusus untuk mereka. Biasanya dengan bungkus MSF (Musik, Sport/Seni, Film/Fun) disukai, juga perjumpaan a la kafe, namun isinya tema-tema ajaran Gereja menanggapi persoalan riil mereka.
- Mendengarkan: persoalan real dan konkret mereka: ulangan, ujian, pacaran, beda agama, dll Mengajak membawa persoalan tersebut dalam perayaan ekaristi. Misalnya, menyapa yang sedang menulis skripsi, yang sedang susah cari kerja.
- Mendampingi: hadir di antara dan bersama acara mereka, hadir dan menunggui kala weekend.
- Menantang orang muda dengan tahap-demi tahap memberi mereka tanggungjawab: menyerahkan kepada mereka untuk membuat acara-acara untuk orang muda: Paskah orang muda, welcome party, kemah remaja, 17 Agustus, operet Natal, Imlek, Valentine’s Day, dll.
- Memberi kebebasan demi tanggungjawab: ide dasar kita pikirkan, dan pelaksanaannya mereka, dengan tetap didampingi: meminta mereka menjadi tim pelaksanaan acara paroki.
- Mempercaya dengan tetap mendampingi: mengenalkan prinsip-prinsip dasar: asal bisa mempertanggungjawabkan, silakan!
- Melibatkan mereka di kancah yang lebih luas, di luar diri mereka: anggota dewan paroki, melaksanakan acara umat; mengusahakan agar orang-orang muda dapat aktif di lektor, Website/Facebook/Twitter/Kaskus Paroki; dll.
Harapan
Semoga fakta-fakta adanya masalah OMK seperti temuan penulis di atas,
segera bisa diatasi bersama-sama di paroki-paroki sebagai tim kerja,
yang melibatkan OMK sendiri. Mari mempercayai orang muda, karena di
tangan merekalah kita mempercayakan masa depan. Semoga OMK kita Bantu
untuk menjawab panggilan Tuhan kepada Yeremia :TUHAN berfirman kepadaku:
“Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau
Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu,
haruslah kausampaikan. (Yer 1:7)
Penulis: Yohanes Dwi Harsanto Pr
Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI, Imam diosesan KAS,
tinggal di Pastoran UNIO Indonesia, Jakarta. Khususnya saya berterima
kasih pada Bp YR Widadaprayitna yang mensahringkan hal ini selama saya
sebagai Ketua Komisi Kepemudaan Kevikepan DIY, belajar dari beliau di
Jogja (2002-2004). Sumber tulisan memang pada refleksi beliau yang
dituangkan di di http://gerejakaummuda.wordpress.com/2009/10/ dan
“Pedoman Pastoral Kaum Muda”, KomKep KWI, 1995.