PESTA NAMA SANTO PELINDUNG

PESTA NAMA SANTO PELINDUNG

Hari ini Paroki Stephanus Cilacap merayakan Pesta Nama Santo Pelindung Paroki. Perayaan pesta nama dirayakan setiap tanggal 26 Desember 2011. Adapun cerita santo stefanus adalah sebagai berikut :

Satu-satunya sumber informasi terpercaya tentang Stefanus adalah Kisah Para Rasul bab 6 dan 7. Di dalamnya Stefanus ditampilkan sebagai orang beriman yang kokoh dan penuh Roh Kudus dan salah satu orang yang diangkat oleh Keduabelasan untuk memangku jabatan diakon atau pelayan meja, barangkali sebagai pengurus rumah tangga jemaat. Ia, seorang Kristen Yahudi yang tinggal di Yerusalem dan bisa berbahasa Yunani. Ia pandai berpolemik dan sangat radikal dalam pandangannya mengenai tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga Yahudi. Ketika berada di hadapan Sanhendrin, ia dengan tegas membantah semua tuduhan kaum Farisi dan membela karya misionernya di antara orang-orang Yahudi. Pembelaannya diperkuat dengan mengutip kata-kata Kitab Suci yang melukiskan kebaikan hati Yahweh kepada Israel dan ketidaksetiaan Israel sebagai "bangsa terpilih" kepada Yahweh. Oleh karena itu, ia diseret ke luar tembok kota Yerusalem dan dirajam sampai mati oleh pemimpin-pemimpin Yahudi yang tidak mampu melawan hikmatnya yang diilhami Roh Kudus.
Senjata utama untuk melawan musuhnya ialah cintanya akan Tuhan. Cinta itu demikian kuat mendorongnya untuk bersaksi tentang Kristus meskipun ia harus menghadapi perlawanan yang kejam dari musuh-musuhnya. Bahkan sampai saat terakhir hidupnya di dalam penderitaan sekian hebatnya, ia masih sanggup mengeluarkan kata-kata pengampunan ini: "Tuhan, janganlah dosa ini Engkau tanggungkan kepada mereka itu."
Laporan tentang pembunuhan Stefanus itu menyatakan bahwa Saulus (yang kemudian menjadi Paulus, Rasul bangsa kafir) hadir di sana dan memberi restu terhadap pembunuhan itu. Namun apa yang terjadi atas Saulus di kemudian hari? Sebagai pahala besar bagi Stefanus ialah bahwa Saulus musuhnya yang utama serta penghambat ulung Gereja, bertobat dan menjadi Paulus, Rasul terbesar bagi kaum kafir. Stefanus mati sebagai martir, kira-kira pada tahun 34.
Segenap Pastor  dan Dewan Pastoral Paroki 
Paroki St. Stephanus Cilacap 
mengucapkan :

SELAMAT NATAL & TAHUN BARU 2012
"TUHAN MEMBERKATI"



Pelantikan Pengurus DPP Cilacap

Pelantikan Pengurus DPP Cilacap

 PELANTIKAN PENGURUS DEWAN PASTORAL PAROKI CILACAP

Pelantikan Dewan Pastoral Paroki dan Prodiakon St. Stephanus Cilacap yang telah di lantik langsung oleh Mgr. Julianus Sunarka, SJ pada tanggal 4 Desember 2011. Adapun Susunan Pengurus DPP Paroki St. Stephanus periode 2011-2014 adalah sebagai berikut :


PENGURUS DPP
PAROKI SANTO STEPHANUS CILACAP
PERIODE 2011-2014



1.      Ketua Pastor Paroki (ex officio)
Niko Ola Paokuma, OMI

2.      Wakil Ketua I Pastor Pembantu (ex officio)
- Vincentius Kaya Wathun, OMI
- C.P. Burrows, OMI
- Kevin J. Casey, OMI

3.      Wakil Ketua II (Awam)
- Agustinus Bambang Agus Murdoko

4.      Sekretaris
- Heribertus Triatmono
- Antonius Dwi Antoro
- Yustinus Ary Widyanto

5.      Bendahara
- Wilhelmus Rubiyono
- Herman Yosef

6.      Ketua-ketua bidang
a.      Ketua Bidang Liturgi/Liturgia
- Wilhelmus Wago Noi
·         Tim kerja penataan Panti Imam
- Suster Angela, PBHK
·         Tim kerja Pendampingan lektor dan pemazmur
- Petrus Bono
·         Tim kerja pendampingan Putra-Putri Altar (PPA)
- Yuvensius Suroto
·         Tim kerja pendampingan paduan suara/koor,organis,dirigen
- Valesca Yohana Wi woro Kustantinah
·         Tim kerja pendampingan Prodiakon Paroki
- Fransiskus Xaverius Djapar Hadiwiyono
·         Tim kerja pengembangan liturgi
- Andreas Basuki Susanto

b.     Ketua Bidang Pewartaan/Kerygma
- Martinus Sartono, S.Pd
·         Tim kerja katekese
- Maria Cleofas Sri Nurwidayanti, S.Pd
·         Tim kerja Kitab Suci
      - Agustinus Bambang Hernawo
·         Tim kerja Komunikasi Sosial
- Pramu Sudibyo

c.      Ketua Bidang Pelayanan/Diakonia
      - Yohanes Pudjo Purwanto
·         Tim kerja Pelayanan Sosial Ekonomi (PSE)
Indulgensi, harta kekayaan Gereja

Indulgensi, harta kekayaan Gereja

Membersihkan Lantai yang kotor.

Pada waktu saya masih SD, saya sering bermain-main bersama-sama dengan teman-teman satu kampung. Karena saya tinggal di sebuah dusun yang kecil, maka permainan dengan teman-teman juga permainan dusun, yang notabene adalah permainan yang melibatkan permainan fisik, yang seringkali diakhiri dengan kaki, tangan, dan badan yang penuh lumpur. Suatu hari, dengan kaki yang penuh lumpur saya pulang ke rumah. Tanpa saya tahu, sebenarnya mama saya baru saja mengepel lantai rumah. Ketika saya berjalan untuk menuju kamar mandi, saya tidak menyadari bahwa saya meninggalkan jejak lumpur di lantai. Ketika ketika mama memarahi saya, maka dengan perasaan menyesal, saya meminta maaf akan kekotoran yang diakibatkan oleh kecerobohan saya. Mama memaafkan saya, namun lumpur tetap meninggalkan noda di lantai yang baru saja dipel oleh mama. Akhirnya, mama menyuruh saya untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya dengan mengepel lantai yang kotor. Dari contoh sederhana ini, kita melihat bahwa akibat dari kesalahan yang saya perbuat, maka ada dua hal yang saya terima, yaitu: hukuman (siksa dosa) dan dosa (guilt)[1] Dosa (kesalahan) saya telah dimaafkan oleh mama saya, namun saya tetap harus menanggung hukuman – dengan mengepel lantai yang kotor – akibat kesalahan yang saya lakukan.


Dosa mempunyai konsekuensi ganda

Gereja Katolik mengenal adanya dua tipe dosa, yaitu 1) dosa ringan dan 2) dosa berat. Karena kodrat dari dua tipe dosa tersebut berbeda, maka hukuman dari dua tipe dosa tersebut juga berbeda. Memang setiap dosa menyedihkan hati Tuhan, namun tidak semua dosa membawa konsekuensi hukuman maut (Lih 1 Yoh 5:16-17).[2]. Kita bisa melihat contoh dalam kehidupan sehari-hari, di mana dalam beberapa hal, kita dapat membedakan tingkatan dosa dengan cukup mudah. Berikut ini adalah beberapa perbedaaan antara dosa berat dan dosa ringan:
1) Secara nalar dosa berat dan dosa ringan berbeda, misalkan: mencubit lengan seseorang lebih ringan dosanya dibanding dengan memukul kepala seseorang dengan kayu. Tentu, kita mengetahui bahwa membunuh seseorang adalah dosa yang lebih berat daripada ketiduran saat berdoa yang disebabkan oleh tidak-disiplinan dalam meluangkan waktu untuk berdoa.
2)  Dari efek yang mempengaruhi tujuan akhir: dosa berat membuat seseorang berbelok dari tujuan akhir, sedang dosa ringan hanya membuat seseorang tidak terfokus pada tujuan akhir namun tidak sampai berbelok dari tujuan akhir. Atau dengan kata lain, dosa berat menghancurkan tatanan dan menghancurkan kasih, sedang dosa ringan memperlemah kasih.
3) Keseriusan (gravity) dari dosa yang membawa konsekuensi yang berbeda, dimana orang berdosa berat tanpa bertobat dapat masuk neraka, sedang dosa ringan membawa hukuman sementara, baik di dunia atau di Api Penyucian.
4) Cara pertobatan yang berbeda. Karena dosa berat menghancurkan tatanan untuk sampai ke tujuan akhir, maka hanya kekuatan Tuhan saja yang dapat membawa kembali orang ini ke tatanan yang baik, contohnya: bagi yang belum dibaptis melalui Sakramen Baptis, dan bagi yang telah dibaptis dapat melalui Sakramen Tobat. Sedang dosa ringan, karena tidak berbelok dari tujuan akhir, maka dapat diperbaiki dengan lebih mudah.
5) Obyek (object) dan kategori (genus) antara dosa berat dan dosa ringan berbeda. Dosa berat dimanifestasikan sebagi perlawanan terhadap Tuhan, seperti: hujatan, sumpah palsu, penyembahan berhala, kemurtadan, dan juga melawan hukum kasih terhadap sesama, seperti: membunuh, berzinah, dll. Sedang dosa ringan tidak secara langsung melawan kasih terhadap Tuhan dan sesama, yang mungkin dapat diwujudkan dalam: perkataan yang sia-sia, dll.
Kita melihat bahwa dosa ringan dan dosa berat mempunyai obyek, kategori dan cara penanganan yang berbeda. Oleh karena itu, efek atau akibat yang ditimbulkan juga berbeda. Dosa berat berakibat pada siksa dosa abadi di neraka, sedangkan dosa ringan membawa siksa dosa sementara di purgarorium (api penyucian).[3] Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1472) mengatakan:
Supaya mengerti ajaran [yaitu: purgatorium] dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi. Perampasan ini dinamakan “siksa dosa abadi“. Di lain pihak, setiap dosa, malahan dosa ringan, mengakibatkan satu hubungan berbahaya dengan makhluk, hal mana membutuhkan penyucian atau di dunia ini, atau sesudah kematian di dalam apa yang dinamakan purgatorium (api penyucian). Penyuciaan ini membebaskan dari apa yang orang namakan “siksa dosa sementara“. Kedua bentuk siksa ini tidak boleh dipandang sebagai semacam dendam yang Allah kenakan dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang muncul dari kodrat dosa itu sendiri. Satu pertobatan yang lahir dari cinta yang bernyala-nyala, dapat mengakibatkan penyucian pendosa secara menyeluruh, sehingga tidak ada siksa dosa lagi yang harus dipikul“. Banyak ayat-ayat di Alkitab yang mendukung adanya siksa dosa abadi (eternal punishment). Dalam kitab Daniel dikatakan “Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal“(Dan 12:2). Kita juga mengingat akan pengadilan terakhir, dimana yang tidak menerapkan hukum kasih akan dicampakkan ke dalam api yang kekal (Mt 25:41).

Gereja Katolik percaya akan dimensi sosial dari rencana keselamatan Allah.

Mungkin ada percaya bahwa keselamatan adalah urusan masing-masing pribadi dengan Tuhan. Namun, kalau kita melihat, ada dimensi sosial dari karya keselamatan Kristus. Rasul Paulus menegaskan tentang hal ini dalam beberapa suratnya. Rasul Paulus mengatakan “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.“(Rm 15:1). Dan rasul Paulus menegaskan bahwa kita semua adalah kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah. (Ef 2:19) Kalau di dalam keluarga kita ada yang menderita, maka seluruh keluarga akan bekerjasa untuk meringankan penderitaan anggota keluarga. Sebaliknya, kalau salah satu anggota keluarga ada yang sukses, maka seluruh anggota bergembira dan mengecap kebagiaan tersebut.
Persatuan kita di dalam keluarga Kristus yang diikat oleh kasih Kristus bersifat adi-kodrati (supernatural), dan persatuan ini tidak dapat dilenyapkan dengan apapun karena diikat oleh kasih Allah, yang dibayar dengan darah-Nya yang tertumpah di kayu salib. Rasul Paulus menegaskan “38 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, 39 atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:38-39). Persatuan keluarga yang diikat dalam kasih Kristus adalah Gereja. Gereja Katolik mempercayai bahwa Gereja adalah Tubuh mistik Kristus (Ef 5:23). Sama seperti perkawinan kudus, yang mempunyai satu mempelai pria dan satu mempelai wanita, maka Kristus adalah Kepala dari satu Tubuh mistik Kristus. Satu Tubuh mistik Kristus ini terdiri dari tiga kondisi, yaitu: 1) Gereja yang sedang mengembara di dunia ini, 2) Gereja yang sedang menderita di Api Penyucian (Purgatorium), dan 3) Gereja yang jaya, di Sorga. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 954) mengatakan “Tiga status Gereja.
Hingga saatnya Tuhan datang dalam keagungan-Nya beserta semua malaikat, dan saatnya segala sesuatu takluk kepada-Nya sesudah maut dihancurkan, ada di antara para murid-Nya, yang masih mengembara di dunia, dan ada yang telah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang ‘dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana ada-Nya’”. “Tetapi kita semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh Roh-Nya, berpadu menjadi satu Gereja dan saling erat berhubungan dalam Dia” (LG 49).
Oleh karena tiga status Gereja (mengembara, dimurnikan, dimuliakan) diikat oleh kasih Kristus, sedangkan pengertian kasih adalah menginginkan yang baik terjadi pada orang yang dikasihi, maka semua status Gereja tersebut saling bekerja sama atas dasar kasih untuk bersatu dalam kesatuan abadi di Sorga, dan menjadi persembahan yang murni dan tak bercela. (lih. Ef 5:27). Kalau kita mengatakan bahwa kita yang berada di dunia ini tidak dapat berhubungan dengan orang-orang yang telah memasuki Sorga atau sebaliknya, maka sama saja dengan kita mengatakan bahwa tempat dan status memisahkan kita dari kasih Kristus, yang berarti bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh oleh rasul Paulus. Sebaliknya rasul Paulus mengatakan “38 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, 39 atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:38-39)
Dari ayat ini, akan sangat sulit untuk membayangkan bahwa para kudus di Sorga berpangku tangan melihat begitu banyak penderitaan di dunia ini maupun di Api Penyucian, atau sebaliknya Gereja yang sedang mengembara di dunia ini hanya berpangku tangan melihat penderitaan anggota keluarga Gereja di Api Penyucian. Oleh karena itu, masing-masing status Gereja tidak hanya berpangku tangan, karena bertentangan dengan kasih. Yesus mengatakan “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” (Yoh 5:17) Dan di dalam Kitab Wahyu dikatakan “Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus.” (Why 5:8). Dari sini kita melihat bahwa Yesus tidak akan duduk diam di dalam Sorga. Para kudus juga tidak akan tinggal diam dan menikmati kebahagiaan Sorga tanpa secara aktif turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Oleh karena itu, masing-masing status Gereja saling membantu, dimana Gereja yang telah jaya di Sorga membantu Gereja yang menderita dan Gereja yang sedang mengembara. Sedangkan Gereja yang sedang mengembara di dunia dapat juga membantu Gereja yang sedang dimurnikan. Dan inilah yang disebut harta milik Gereja. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:
KGK, 955 “Persatuan mereka yang sedang dalam perjalanan dengan para saudara yang sudah beristirahat dalam damai Kristus, sama sekali tidak terputus. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani” (LG 49).
KGK, 974 “Karena semua kaum beriman membentuk satu Tubuh saja, maka harta milik dari yang satu disampaikan kepada yang lain… Dengan demikian orang harus percaya… bahwa di dalam Gereja ada pemilikan bersama… Yang paling utama dari semua anggota Gereja adalah Kristus, karena Ia adalah Kepala… Jadi milik Kristus dibagi-bagikan kepada semua anggota, dan pembagian ini terjadi oleh Sakramen-Sakramen Gereja” (Tomas Aqu., symb. 10). “Kesatuan Roh, yang olehnya [Gereja] dibimbing, mengakibatkan bahwa apa yang telah ia terima, menjadi milik bersama semua orang” (Catech. R. 1, 10,24).”

Gereja Katolik diberikan kekuasaan oleh Kristus untuk mengampuni dosa

Bagaimana masing-masing status Gereja (mengembara, dimurnikan, dimuliakan) dapat saling membantu? Gereja yang telah dimuliakan, yang terdiri dari orang-orang kudus, dapat membantu dengan doa-doa mereka, karena doa orang yang benar adalah besar kuasanya (Yak 5:16). Sedangkan Gereja yang sedang mengembara di dunia ini dapat membantu anggota Gereja yang masih mengembara di dunia dan anggota yang sedang dimurnikan, sehingga dapat bersatu dengan Gereja yang telah dimuliakan. Untuk tugas inilah, Kristus sendiri telah memberikan kuasa kepada Gereja. Pertama Kristus memberikan kuasa-Nya kepada Petrus dan penerusnya, dengan mengatakan “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.“(Mt 16:19). Dan kepada para murid-Nya yang diteruskan oleh para imam, Kristus mengatakan “22 Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. 23 Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.“”(Yoh 20:22-23). Semua kuasa-kuasa ini diberikan oleh Kristus kepada Gereja-Nya, sebagai Tubuh Mistik Kristus, sehingga Gereja dapat mengantar seluruh anggota Gereja pada persatuan abadi. Oleh karena itu, Gereja juga diberikan kuasa untuk mengatur seluruh kuasa yang diberikan oleh Kristus. Kekuasaan yuridiksi ini diberikan oleh Gereja untuk mengatur harta kekayaan rohani.

Indulgensi adalah manifestasi dari harta kekayaan rohani Gereja.

Pengaturan harta kekayaan Rohani ini adalah bersumber pada Kristus dan para kudus. Seperti yang kita ketahui, bahwa kurban Kristus di kayu salib, bukan hanya cukup untuk menebus dosa manusia, namun merupakan penebusan yang berlimpah.[4] Rahmat berlimpah dari Kristus tidaklah kurang untuk memberikan rahmat kepada seluruh umat manusia, namun rasul Paulus menekankan seluruh umat beriman untuk turut berpartisipasi dalam sengsara Kristus, dengan mengatakan “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Col 1:24). Para santa-santo menjawab panggilan ini dengan sempurna mengikuti apa yang dilakukan oleh Kristus. Oleh karena itu, harta kekayaan rohani yang bersumber pada Kristus dan kekudusan dari para santo-santa, mengalir secara melimpah kepada seluruh anggota Gereja. Dan distribusi kekayaan harta rohani ini dilakukan oleh Gereja, yaitu dengan indulgensi. Dengan indulgensi, Gereja memohon kepada Tuhan agar mengangkat siksa dosa sementara (seluruhnya atau sebagian) bagi orang yang berada di dunia ini maupun yang berada di Api Penyucian, berdasarkan akan harta kekayaan Gereja dan kuasa yang diberikan oleh Kristus kepada Gereja-Nya.

Definisi indulgensi

Dari pemikiran di atas, mari sekarang kita masuk dalam definisi indulgensi. Secara jelas, Gereja mendefinisikan indulgensi sebagai berikut:
KGK, 1471: “Indulgensi adalah (1) penghapusan siksa-siksa temporal di depan Allah untuk (2) dosa-dosa yang sudah diampuni. (3) Warga beriman Kristen (4) yang benar-benar siap menerimanya, di bawah persyaratan yang ditetapkan dengan jelas, memperolehnya dengan (5) bantuan Gereja, yang sebagai pelayan penebusan membagi-bagikan dan memperuntukkan kekayaan pemulihan Kristus dan para kudus secara otoritatif”. “Ada indulgensi (6) sebagian atau seluruhnya, bergantung dari apakah ia membebaskan dari siksa dosa temporal itu untuk sebagian atau seluruhnya.” Indulgensi dapat diperuntukkan (7) bagi orang hidup dan orang mati (Paulus VI, Konst. Ap. “Indulgentiarum doctrina” normae 1-3). (KGK, 1471)
KHK, 992: “Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yang kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan keselamatan, secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus.”
Dari definisi di atas, maka kita dapat menyimpulkan beberapa hal berikut ini:
1) Penghapusan siksa dosa temporal: berarti bahwa indulgensi tidak dapat merubah keputusan Tuhan bagi orang-orang yang berada di siksa dosa abadi atau neraka. Oleh karena itu, indulgensi hanya dapat diterapkan bagi orang-orang yang masih hidup di dunia ini dan juga yang masih berada di api penyucian. Dengan indulgensi, orang-orang yang masih hidup di dunia ini dapat menghindari siksa dosa sementara (di Api Penyucian)
2) Dosa-dosa yang sudah diampuni: berarti indulgensi mensyaratkan dosa-dosa yang sudah diampuni dan bukan dosa yang akan datang. Ini berarti pada waktu kita mendapatkan indulgensi dan kemudian berdosa lagi, maka kita juga perlu untuk mendapatkan indulgensi lagi untuk menghapuskan siksa dosa temporal.
3) Warga beriman Kristen: dalam hal ini adalah umat yang telah dibaptis. Kita tahu bahwa Sakramen Baptis adalah gerbang untuk semua sakramen dan berkat-berkat yang lain. Persyaratan yang lain adalah tidak terkena ekskomunikasi, dan dalam kondisi rahmat pada waktu melaksakan indulgensi yang ditetapkan.[5]
4) Yang benar-benar siap menerimanya, di bawah persyaratan yang jelas: Ini berarti Gereja tidak mengharuskan seseorang untuk menerima indulgensi. Namun Gereja memberikan kesempatan yang begitu banyak, sehingga umat beriman dapat menarik manfaatnya dari berkat ini. Dan Gereja juga memberikan persyaratan yang jelas tentang bagaimana untuk memperoleh indulgensi.
5) Dengan bantuan Gereja: Telah dibahas di atas bahwa Yesus sendiri yang memberikan kuasa kepada Gereja untuk memberikan indulgensi kepada umat Allah melalui Gereja. Indulgensi ini hanya dapat diberikan oleh Paus dan orang-orang yang mempunyai kuasa oleh hukum yang diberikan oleh Paus.[6]
6) Sebagian atau seluruhnya: Lama dari siksa dosa sementara di purgatorium tidak dapat ditentukan jangka waktunya. Gereja Katolik hanya memberikan indulgensi kepada umat sebagian atau seluruhnya, dimana sebagian berarti mengurangi waktu yang harus dijalankan di purgatorium, sedangkan seluruhnya berarti dibebaskan dari purgatorium.
(7) bagi orang hidup dan orang mati, artinya indulgensi dapat diberikan kepada orang yang mendoakan (yang masih hidup di dunia) dan orang mati (yang didoakan, yang sudah meninggal dunia, dan sedang mengalami proses pemurnian di Api Penyucian).
Karena begitu pentingnya indulgensi dalam mencapai tujuan akhir, maka Gereja mengharuskan seluruh umat beriman untuk percaya akan dogma indulgensi. Konsili trente mengatakan “Terkutuklah kepada siapa yang mengatakan bahwa indulgensi adalah tidak berguna atau mengatakan bahwa Gereja tidak mempunyai kuasa untuk memberikannya.”[7]

Perkembangan dari indulgensi

Perkembangan dari indulgensi dapat ditelusuri sejalan dengan perkembangan dari Sakramen Pengakuan Dosa. Pada awal perkembangannya, umat beriman harus mengaku dosa di depan umum dan kemudian uskup setempat memberikan suatu hukuman yang berat. Sebagai contoh orang yang melakukan dosa kemurtadan dapat dihukum selama tujuh tahun. Dan selama periode itu, orang tersebut harus melakukan penitensi, yang berat, seperti: berpantang dan berpuasa, berlutut dan berdoa di depan gereja, tidak diperkenankan untuk menerima Tubuh Kristus di dalam perayaan Ekaristi, dll. Namun, orang beriman yang lain dapat turut berpartisipasi untuk turut melakukan penitensi bagi orang tersebut, sehingga hukuman tersebut dapat diperingan. Hal ini juga diperkuat dengan para rahib yang dengan sukarela membantu orang-orang yang sedang sakit namun harus menjalankan penitensi. Semua ini membuktikan akan adanya ikatan dalam satu keluarga Tuhan.
Di abad 11, Paus Urban II pada tahun 1095, memberikan indulgensi bagi orang-orang yang memperjuangkan tanah suci. Dan di abad ke 15, Paus Callistus III (1457) dan Paus Sixtus IV (1476) memberikan indulgensi kepada orang yang telah meninggal, yang masih berada di Api Penyucian.[8] Para teolog skolastik mendukung adanya kemungkinan untuk menerapkan indulgensi pada orang yang telah meninggal.[9] Kita telah melihat di atas, bahwa persatuan umat Allah tidak dapat dipisahkan oleh maut sekalipun. Oleh karena itu, adalah hal yang logis, kalau indulgensi bukan hanya diperuntukkan untuk orang yang masih hidup, namun juga orang yang telah meninggal, yang tetap menjadi bagian dari Gereja yang menderita, di Api Penyucian.

Bagaimana untuk mendapatkan indulgensi?

Mari, sekarang kita melihat, bagaimana seseorang dapat menerima indulgensi. Indulgensi dapat diberikan kepada seorang Katolik yang berada dalam kondisi rahmat (in a state of grace). Karena indulgensi adalah pengampunan yang diberikan oleh Kristus melalui Gereja-Nya, maka orang yang menerimanya harus berada di dalam Gereja-Nya. Kondisi rahmat diperlukan karena tanpa rahmat Tuhan, maka semua perbuatan yang dilakukan tidak mungkin berkenan di hadapan Allah. Dan sama seperti orang yang ingin mendapatkan pengampunan harus menyatakannya di hadapan Tuhan, maka orang yang ingin mendapatkan indulgensi harus mempunyai intensi untuk mendapatkannya dan melakukan apa yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang digariskan di dalam indulgensi.

Bagaimana untuk mendapatkan indulgensi penuh?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, indulgensi dapat berupa indulgensi penuh dan indulgensi sebagian. Untuk mendapatkan indulgensi penuh, secara umum seseorang harus melakukan 1) pengakuan dosa, 2) berpartisipasi dalam Ekaristi Kudus, 3) berdoa untuk intensi Paus, 4) melakukan apa yang ditentukan dalam ketentuan indulgensi dan melakukannya dengan hati yang menyesal, 5) bebas dari keterikatan akan dosa – bukan hanya dosa berat, namun juga dosa ringan. Kondisi terakhir inilah yang memang paling sulit untuk dilakukan. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka seseorang akan mendapatkan indulgensi sebagian.

Bagaimana untuk mendapatkan indulgensi sebagian?

Beberapa hal di bawah ini adalah cara untuk mendapatkan indulgensi sebagian menurut the Handbook of Indulgences (New York: Catholic Book Publishing, 1991)
1) Doa (spiritual communion) yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
2) Doa meditasi (mental prayer) yang dilakukan dengan teratur dan sungguh-sungguh.
3) Doa rosario yang dilakukan di gereja atau kapel atau dilakukan dalam keluarga, komunitas religius, atau komunitas yang lain.
4) Membaca Alkitab dengan penuh devosi dan hormat karena Alkitab adalah Sabda Tuhan dan sebagai bacaan spiritual. Kalau membaca Alkitab dilakukan secara teratur minimal setengah jam, maka seseorang akan mendapatkan indulgensi penuh, jika kondisi yang lain juga dipenuhi.
5) Membuat tanda salib dengan sungguh-sungguh.

Menjawab beberapa keberatan indulgensi

Berikut ini mungkin adalah beberapa keberatan yang sering diajukan mengenai dogma indulgensi.
Keberatan (1): Upah dosa adalah maut, oleh karena itu tidak ada api penyucian, yang ada hanyalah surga dan neraka.
Karena umat Kristen non-Katolik percaya bahwa hanya ada dua alternatif setelah kematian, maka indulgensi tidaklah diperlukan dan tidak berguna. Bagi orang yang telah masuk surga tidak memerlukan doa dan pengampunan, sedangkan bagi orang yang masuk neraka maka doa tidak akan mengubah keadaan mereka. Untuk menjawab keberatan ini, tidak ada cara lain kecuali mencoba menerangkan dari konsep dosa, yang memang terbagi menjadi dua seperti yang diajarkan oleh Alkitab. Pembahasan lengkap tentang hal ini, silakan membaca artikel tentang “Masih perlukah Sakramen Pengakuan Dosa – Bagian 1” (silakan klik). Dan dari pengertian akan dosa yang tidak membawa maut, maka Gereja Katolik mengenal adanya dogma “Api Penyucian“. Untuk menerangkan tentang dogma Api Penyucian, silakan untuk membaca artikel “Bersyukurlah, ada Api Penyucian!” (silakan klik).
Keberatan (2): Kristus telah membayar seluruh dosa kita, sehingga kita tidak perlu untuk membayarnya.
Dengan indulgensi seolah-olah penebusan Kristus tidaklah cukup untuk membayar seluruh dosa umat manusia. Lebih lanjut, karena umat Kristen percaya akan “hanya iman saja yang menyelamatkansola fide)” (lih. Rm 3:28; Rm 4:3-5; Rm 5:1-9, Ef 2:8), maka akan sulit menerima konsep indulgensi. Untuk menjawab keberatan ini, maka harus dimengerti bahwa indulgensi bukanlah membebaskan seseorang dari siksa dosa abadi atau neraka, namun dari siksa dosa sementara di purgatorium. Dan semua jiwa yang ada di purgatorium pasti masuk surga, hanya jiwa-jiwa tersebut perlu membersihkan diri mereka. Dan kalaupun kita masuk ke dalam Surga, maka semuanya itu adalah merupakan berkat dari Tuhan.
Keberatan (3): Indulgensi membuat pengorbanan Kristus seolah-olah tidak cukup.
Untuk memahami keberatan ini, maka ada suatu konsep mendasar yang berbeda antara Gereja Katolik dan non-Katolik, yaitu konsep mediasi (pengantaraan) dan partisipasi. Gereja Katolik, sama seperti gereja yang lain percaya bahwa pengorbanan Kristus di kayu salib bukan hanya cukup namun sungguh berlimpah, karena dilakukan oleh Kristus dengan didasari kasih yang sempurna. Prinsip mediasi dan partisipasi merupakan suatu prinsip bahwa seluruh bagian dari Tubuh Mistik Kristus berpartisipasi di dalam karya keselamatan Allah. Pada waktu kita dibaptis, kita sebenarnya juga menerima mandat dari Kristus untuk menjadi nabi, imam dan raja. Mandat ini merupakan partisipasi di dalam Kristus, tanpa mengurangi peran Kristus sendiri. Inilah sebabnya rasul Paulus mengatakan “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat [=ekklesia/Gereja]” (Kol 1:24).
Kita tahu bahwa tidak ada yang kurang dalam penderitaan Kristus, karena penebusan Kristus adalah sempurna. Namun rasul Paulus mengatakan bahwa dia turut berpartisipasi dalam membangun tubuh Kristus, yaitu Gereja. Bukan karena penebusan Kristus kurang sempurna, namun Kristus sendiri yang menginginkan agar kita semua turut berpartisipasi dalam karya penyelamatan. Tubuh Mistik Kristus atau Gereja adalah Gereja yang satu – yang terdiri dari Gereja yang mengembara di dunia ini, Gereja yang menderita di purgatorium, dan Gereja yang jaya di Surga – dimana semuanya terikat dalam kasih untuk membangun Gereja.[5. Lihat Lumen Gentium, 49] Oleh karena itu, indulgensi yang melepaskan seseorang dari siksa dosa sementara di purgatorium adalah merupakan perbuatan kasih yang begitu nyata. Gereja yang sedang mengembara di dunia ini dan Gereja yang jaya dapat turut mendoakan Gereja yang sedang menderita di Purgatorium, sehingga karena belas kasih Allah, maka mereka dapat diangkat ke Surga.
Bukankah kalau ada salah satu anggota dari keluarga kita ada yang kesulitan, maka seluruh anggota keluarga juga turut membantu?
Keberatan (4): Indulgensi seolah-olah hanya memperhatikan sesuatu yang sifatnya lahiriah.
Mungkin ada yang berkeberatan dengan indulgensi karena dianggap bertentangan dengan Alkitab, dimana rasul Paulus menekankan untuk tidak mempercayai hal-hal yang bersifat lahiriah (Flp 3:1-11). Untuk menjawab keberatan ini, mungkin kita perlu melihat definisi dari indulgensi sendiri yang menekankan akan persyaratan untuk menerima indulgensi, yaitu “untuk dosa-dosa yang sudah diampuni“. Ini berarti bahwa tindakan yang terlihat seperti yang diberikan dalam indulgensi adalah merupakan suatu ekspresi dari apa yang ada di dalam hati. Bukankah kalau seseorang menyanyi dengan sukacita bagi Tuhan, adalah suatu ekspresi apa yang ada di dalam hati, yaitu hati yang ingin memuji Tuhan?
Atau kalau seseorang mempunyai dosa mencuri dan kemudian orang itu tertangkap oleh polisi, maka walaupun orang tersebut telah meminta ampun kepada Tuhan, dia tetap harus menjalankan hukuman, misalkan didenda atau dipenjara. Proses ini sama seperti indulgensi, dimana umat Katolik meminta ampun kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat, dan kemudian indulgensi adalah untuk membayar siksa dosa sementara.
Keberatan (5): Gereja tidak mempunyai kuasa untuk mengampuni siksa dosa sementara.
Ada yang berpendapat bahwa Gereja tidak mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa maupun mengampuni siksa dosa sementara. Namun pendapat ini tidaklah tepat, karena Gereja sebenarnya diberi mandat oleh Kristus sendiri untuk mengampuni dosa (Yoh 20:23), mengikat dan melepaskan dosa (Mt 16:19). Kalau kita memperhatikan, sebenarnya hampir semua gereja beranggapan bahwa dengan dibaptis, maka seseorang menerima pengampunan dosa. Dalam hal ini maka gereja-gereja tersebut sebenarnya mengambil konsep mediasi, dimana Gereja menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengampuni dosa orang yang dibaptis. Kalau kita setuju bahwa Tuhan memberikan kuasa yang lebih besar untuk mengampuni dosa lewat Gereja dan Gereja Katolik diberikan kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa, maka adalah sangat wajar jika ini juga termasuk kuasa yang lebih kecil, yaitu untuk mengampuni akibat dosa lewat indulgensi.

Indulgensi, harta Gereja yang membantu umat Allah untuk bersatu dengan Tuhan.

Dari semua pemaparan di atas, kita melihat bahwa kita sebenarnya harus bersyukur atas harta kekayaan rohani Gereja, yaitu rahmat yang mengalir dari misteri Paskah Kristus kepada anggota-anggota Tubuh-Nya. Dan kita juga mensyukuri rahmat para kudus, yang berpartisipasi dalam penderitaan Kristus, sehingga dapat menambah harta kekayaan rohani Gereja. Pada saat yang bersamaan, kita semua juga dipanggil untuk mengisi pundi-pundi kekayaan rohani Gereja dengan hidup kudus, seperti yang dikehendaki oleh Kristus sendiri. Dan rahmat yang berlimpah ini dipercayakan oleh Kristus kepada Gereja agar dibagikan kepada umat Allah, sehingga dapat membawa umat kepada persatuan abadi dengan Allah di Sorga.  Selanjutnya, Gereja menggunakan wewenang yang dipercayakan oleh Kristus, dengan indulgensi. Mari, kita bersama-sama mensyukuri dan menggunakan indulgensi ini dengan sebaik-baiknya.

CATATAN KAKI:
  1. Reverend Peter M.J. Stravinskas, Ph.D., S.T.L. Our Sunday Visitor’s Catholic Dictionary. Copyright © 1994, Our Sunday Visitor: Guilt (GIHLT): (From Anglo-Saxon gylt: sin or offense) The condition of an individual who has committed some moral wrong and is liable to receiving punishment as a consequence of wrongdoing. []
  2. Pembahasan lengkap tentang topik ini silakan membaca artikel “Masih perlukah sakramen pengakuan dosa bagian 1″ – silakan klik []
  3. Lihat KGK, 1031, 1472, 1861 []
  4. lih. St. Thomas Aquinas, ST, III, q.46, a.2-3 []
  5. Kanon 996: Kan. 996 – § 1. Agar seseorang mampu memperoleh indulgensi haruslah ia sudah dibaptis, tidak terkena ekskomunikasi, dalam keadaan rahmat sekurang-kurangnya pada akhir perbuatan-perbuatan yang diperintahkan. § 2. Namun agar orang yang mampu itu memperolehnya, haruslah ia sekurang-kurangnya mempunyai intensi untuk memperolehnya dan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan, pada waktu yang ditentukan dan dengan cara yang semestinya, menurut petunjuk pemberian itu. []
  6. Lihat Kan 995 []
  7. Konsili Trente, sesi 25, Decree on Indulgences []
  8. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma (Rockford, Illinois: Tan Books & Publishers, 1974), hal. 444 []
  9. St. Thomas Aquinas, Suppl, 71, 10 []
HIDUP DI HADIRAT ALLAH

HIDUP DI HADIRAT ALLAH

(Oleh : Sr. Maria Skolastika, P.Karm) 
"Makan yang enak, ya Nak," ujar seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil.
Ibu itu masih muda, namun kerut merut penderitaan hidup memenuhi wajahnya yang
kelihatan jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Pakaiannya yang kotor kumal
sekali-kali diusapkan ke wajah anaknya yang berkeringat, belaian sayang yang
akan selalu teringat. Mereka makan dengan lahap dan gembira, duduk asyik di
pinggiran jalan kota metropolitan, bagai jutawan makan di hotel berbintang.
Padahal sementara itu, deru debu kendaraan bermotor hingar kotor di sekeliling
mereka. Udara penuh dengan polusinya, polusi suara sampai debu, yang tebal bak
prahara kelabu.


"Habis, Mak!" seru si kecil lucu dengan tatapannya yang lugu. Senyum puas
tersungging di bibirnya, menunjukkan perutnya yang kenyang. Ibu itu pun
tersenyum, gembira melihat sukacita anaknya. Siang semakin panas, mata semakin
berat, akhirnya si kecil pun tertidur pulas dalam pelukan erat ibunya. Wajahnya
damai, walau di sekitarnya begitu ramai, walau hidupnya begitu capai, walau
nanti malam akan makan atau tidak entah tak tahu lagi...

Betapa indahnya saat kita bisa seperti si kecil itu. Menyadari perut rohani
kita yang kenyang, dipenuhi dengan berbagai rahmat dan karunia dari Bapa
tercinta. Dunia yang panas membuat mata kita semakin berat, terpejam bagi
dunia, dan tidur pulas dalam rangkulan ilahi.


1. Menyadari Rahmat Allah

Dunia terus berputar, matahari terus bersinar, dan selama itu pula kasih Allah
terus memancar tanpa pernah pudar. Hari ke hari, waktu ke waktu, kasih dan
rahmat-Nya terus mengalir memenuhi setiap insan manusia di dunia.

Pada saat malam mulai merambat, bumi berselimutkan bintang, dan burung-burung
terlelap nyenyak di sarangnya, alangkah indahnya jika jiwa pun mengheningkan
diri. Pada saat itulah kita mulai merenungkan segala peristiwa yang terjadi
sepanjang hari itu...
"Ketika fajar mulai menyingsing, jemari surya ilahi menyentuh lembut kelopak
mata, membangunkan tidur yang lelap sepanjang malam.
"Ketika burung mulai berkicau, tangan kasih ilahi menabur berkat, di atas meja
pun tersedia sepiring nasi hangat."
"Ketika kesibukan pekerjaan membingungkan diri, Sang Kebijaksanaan setia
mendampingi, dengan sabar menolong setiap hal memberi solusi".
"Ketika tiba-tiba siang terasa lengang, hati menjadi sepi dalam gersang, Sang
Penghibur menatap penuh kasih sayang, menyenandungkan nyanyian cinta yang
membuat hati melayang."
Hingga ketika akhirnya malam semakin larut, bunga-bunga kuncup mengerut, Bapa
yang baik itu pun menidurkan kita dengan lembut, membisikkan kata-kata cinta
yang tak tersahut."

Seandainya saja, semua manusia di dunia ini menyadari, betapa besar kasih Allah
kepadanya, betapa setia Allah kepadanya, dan betapa banyak rahmat Allah
baginya, tentu ia dapat tidur nyenyak dalam gendongan-Nya, menikmati perut
rohaninya yang sudah kenyang. Bukankah seringkali penderitaan itu ada karena
kita lebih memperhatikan yang pahit daripada yang manis? Lebih memikirkan yang
menyedihkan ketimbang mengingat yang menyenangkan? Lebih berputar-putar pada
kelemahan dan ketakberdayaan kita daripada mensyukuri segala rahmat Allah dan
bergantung penuh kepada-Nya?

Apa jadinya jika si kecil dalam cerita di atas, lebih melihat raut tertekan
orang-orang yang macet di jalan daripada senyum hangat ibunya? Lebih melihat
seonggok sampah di pinggiran daripada segenggam nasi di tangannya? Lebih
melihat debu jalanan ketimbang taburan kasih ilahi yang menyelimuti hatinya? Si
kecil itu terpulas damai, karena mulut mungilnya tidak menuntut apa-apa, karena
hati kecilnya tidak menginginkan apa-apa. Ia hanya menerima saja dengan gembira
semua yang diberikan kepadanya.


2. Hidup di hadirat Allah

"VIVIT DOMINUS IN CUIUS CONSPECTU STO," demikian semboyan hidup anggota KTM
yang berarti, "ALLAH HIDUP, DAN AKU BERDIRI DI HADAPAN-NYA." Bagaimana caranya
menghayati keseharian kita dengan hidup di hadirat Allah? Ada begitu banyak
cara untuk itu. Salah satunya adalah dengan menyadari kehadiran Allah sepanjang
hari. Sudahkah itu kita lakukan?

Setiap hari mentari terbit di ufuk timur, bergulir cepat melintasi hari, dan
tiba-tiba kita temukan hari sudah malam. Ketika bumi bermantolkan cakrawala
berhias bintang, embun malam bergayut tenang di ujung dedaunan, dan serangga
malam bernyanyi riang, adakah yang memperhatikan? Ataukah kita tenggelam dalam
keletihan, berkeluh kesah dengan kegagalan, marah jengkel terhadap sesama,
meluap kecewa dengan situasi? Saat hati bergemuruh dengan segala sesuatu yang
bukan Allah, entah sibuk dengan diri sendiri, entah terpancang pikiran ke
pekerjaan, atau apa saja, bagaimana mungkin jiwa dapat tinggal tenang di
hadirat Allah?

Melihat tangan kasih-Nya yang berkarya dalam kehidupan, memandang alam semesta
yang merupakan jejak cinta-Nya, itulah yang akan mengangkat hati kita ke
hadirat Allah. Jika direnungkan, bukankah sepanjang hari dalam kehidupan ini
kita bertaburan siraman cintakasih Allah? Saat terbangun pagi hari dan kita
dapati tubuh yang sehat, udara segar terhirup memenuhi rongga dada, mata yang
dapat melihat warna-warni bunga di taman, itulah mukjizat cinta Allah. Belum
lagi makanan yang selalu tersedia bagi kita, teman-teman, pekerjaan, dan
bagaimana Tuhan menolong dalam setiap kesulitan, semua itu membuka mata hati
kita untuk melihat, bahwa Allah sungguh hidup! Dan lebih dari itu, Ia mengasihi
kita.

Jika setiap waktu kita dapat melihat setiap pemberian Tuhan dalam hidup kita,
betapa hati kita akan meluap dengan syukur. Hati melambung dengan pujian
terhantar ke hadirat Allah. Betapa tidak, karena saat itulah kita sadari jiwa
dipenuhi dengan rahmat dan kasih karunia. Semua itu bagai bunga-bunga yang
bermekaran di taman jiwa, memancarkan keharuman surgawi nan semerbak. Sukacita
pun lahir bukan karena harta, bukan karena tiada derita, melainkan semata
karena Sang Cinta.


3. Berlatih Hidup di Hadirat Allah

Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan hidup di hadirat Allah? Hidup di hadirat
Allah berarti senantiasa menyadari kehadiran Allah, dengan berusaha mengarahkan
hati dan pikiran selalu kepada Dia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Beata
Elisabeth dari Trinitas, hati kita adalah tempat kediaman Allah Tritunggal
Mahakudus, Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Kapan pun dan di mana pun, Ia tidak
pernah meninggalkan kita. Elisabeth dari Trinitas ini mencapai kekudusannya
dengan jalan senantiasa menyadari kehadiran Allah yang bersemayam di hati-Nya.
"Hidup di hadirat Allah berarti hidup dalam kesucian yang besar," demikian
ungkap Br. Lawrence dari Kebangkitan, seorang karmelit yang hidup di sekitar
abad ke-16.

Untuk bisa tinggal di hadirat Allah, kita perlu melatih diri. Doa Yesus
sepanjang hari adalah salah satu cara untuk dapat selalu hidup di hadirat
Allah. Selain itu kita juga bisa membiasakan diri bercakap-cakap dengan rendah
hati namun penuh cintakasih kepada Dia di segala waktu; terlebih saat dalam
godaan, penderitaan, kekeringan, kecemasan, bahkan ketika kita sedang tidak
setia dan berdosa. Dengan hati dan pikiran yang selalu terarah kepada Tuhan,
kita membuat seluruh keberadaan kita menjadi sebuah percakapan kecil dengan
Allah; suatu komunikasi yang lahir dari hati yang murni dan sederhana. Hati
kita pun akan menjadi lebih lepas bebas dan damai, tidak lagi terbeban dengan
berbagai masalah duniawi.

Latihan ini perlu dilakukan dengan setia, agar akhirnya menjadi suatu
kebiasaan. Apabila kita setia melakukan latihan ini, maka hati akan terangkat
kepada Allah, dan jiwa mengalami damai dan sukacita di dalam Allah, bahkan
sekali pun kita tidak sedang berdoa. Segala pekerjaan dilakukan dengan tenang,
lembut, dan penuh cintakasih, sebagai persembahan kepada Allah sebagaimana yang
diteladankan oleh St. Theresia dari Lisieux. Perhatian yang terus menerus
kepada Tuhan ini juga akan dapat memenggal kepala si jahat yang selalu
mengintai dan menanti kelemahan kita.

Setiap kali ada kesempatan, Allah akan senang sekali jika kita menyempatkan
diri untuk menyembah Dia yang hadir di kedalaman hati kita. Ini menunjukkan
bahwa kita menyadari Ia hadir di sepanjang aktivitas kita. Walaupun sebentar
saja, kita dapat masuk ke dalam hati kita, menjumpai Dia yang bersemayam di
sana. Di sanalah jiwa berbicara dari hati ke hati dengan Allah dan menikmati
kemuliaan Allah di lubuk hati yang terdalam.

Memang, latihan ini bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, kita tidak usah
berkecil hati jika mengalami kegagalan. Bila jatuh, bangkit lagi dan coba lagi,
sebab kebiasaan ini akan lahir dari adanya usaha. Apabila sudah berhasil kelak,
kita akan mendapatkan kepuasan ilahi, karena dapat mencintai Allah di atas
segalanya; dapat menyadari kehadiran-Nya dan limpahan kasih-Nya terus menerus.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Elisabeth dari Trinitas, "Jiwa Karmelit adalah
jiwa yang senantiasa menyadari kehadiran Allah di lubuk jiwanya, dan yang
matanya selalu menatap ke surga."


4. Senantiasa Bersyukur

"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di
dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tes.5:18) Mengucap syukur dalam segala hal
akan sangat menolong kita untuk dapat tinggal diam di hadirat Allah. Tanpa kita
sadari, seringkali semakin hari kita semakin jauh dari Allah karena kita kurang
bersyukur.

"Ketika segala sesuatu berhasil dan berjalan sesuai dengan rencana, tanpa rasa
syukur kita akan tenggelam dalam kesombongan dan kebanggaan diri yang sia-sia."
Ketika kita berjumpa dengan kegagalan dan kejatuhan, tanpa rasa syukur kita
akan tenggelam dalam keterpurukan dan penyesalan diri yang berkepanjangan."
Ketika perpisahan yang tak pernah kita inginkan akhirnya terjadi, tanpa rasa
syukur kita akan tenggelam dalam kehilangan dan kesepian diri yang tak
bertepi."
Ketika hari-hari kita lalui begitu saja tanpa rasa syukur, tiba-tiba kita
temukan diri kita sudah tenggelam dalam lingkaran waktu yang tak bermakna."

Bersyukur atas segala peristiwa berarti menerima dengan rela dan gembira setiap
kehendak Allah yang terjadi dalam hati kita, menerima segala sesuatu yang Tuhan
berikan kepada kita. Inilah yang akan menolong kita pula untuk bisa diam di
hadirat Allah. Tanpa pemberontakan tanpa kekuatiran, kita benamkan jiwa kita ke
dalam samudera kasih ilahi.

Tengoklah kembali dua insan ibu dan anak miskin yang duduk di pinggiran jalan
kota metropolitan. Sebuah motor tanpa knalpot menderu keras di depan mereka,
membangunkan si kecil yang sedang terlelap. Matanya sedikit mengejap, lalu ia
pun tertidur kembali dengan enaknya, sambil berkata lirih, "Makanan tadi enak,
ya Mak..."

Sharing :
* Bagaimana pengalaman Anda dalam usaha untuk selalu hidup di hadirat Allah?
Menurut Anda hidup di hadirat Allah itu sulit atau mudah? Sharingkanlah hal
tersebut.
* Pernahkah Anda mengucap syukur untuk sesuatu yang tidak menyenangkan?
Bagaimana pengalaman Anda saat itu?
 
Sumber:  
Majalah Rohani Vacare Deo ( www.holytrinitycarmel.com )
Edisi : April 2006
Profil Paroki Santo Stephanus Cilacap

Profil Paroki Santo Stephanus Cilacap

Tulisan ini diambil dari buku “Sejarah Keuskupan Purwokerto 1927 – 1992, Tim Penyusun, Penerbitan Keuskupan Purwokerto – Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2003”. Dalam buku itu, sejarah Paroki Cilacap dibagi dalam empat masa sebagai berikut : 

I. MISI KRISTUS RAJA PURWOKERTO (1927 – 1932)
Cilacap sebagai bagian dari Karesidenan Banyumas, sampai tahun 1927 menjadi bagian tugas dari para pastor yang bertugas di Paroki Magelang, yang pada saat itu dipimpin oleh Pater B. Th.L. Hagdorn, S.J. Cilacap memperoleh kunjungan 2 – 4 kali setahun. Dengan diserahkannya wilayah gerejani yang mencakup Karesidenan Kedu Selatan, Karesidenan Banyumas dan Karesidenan Pekalongan dari Sarekat Jesus ke Sarekat Hati Kudus Yesus dengan pusat sementara di Purworejo pada tanggal 25 Oktober 1927, maka dengan sendirinya Cilacap tidak lagi menjadi bagian kunjungan dari Paroki Magelang.
Pada tanggal 17 Nopember 1927, Pater B.J.J. Visser, M.S.C. berangkat dari Tegal menuju Kroya, untuk bergabung dengan Pater L.Th. Schutman, S.J. yang datang dari Purworejo menuju Cilacap. Keduanya mengadakan pertemuan dengan Asisten Residen A.R. March dan pemilik hotel Belleview (aktifis setempat). Cilacap sudah mempunyai gereja kecil yang dibangun di atas tanah seluas 4.910 m². Jumlah umat sebanyak 400 orang, terdiri dari golongan Belanda yang tinggal di Cilacap, Kroya dan Maos. Umat pribumi sebanyak 30 orang dan beberapa orang keturunan Cina. Asisten Residen A.R. March me-nyerahkan gereja dan perlengkapannya dan minta penempatan seorang pastor di Cilacap. Sejak bulan Desember 1927 – Juli 1928 diadakan empat kali kunjungan ke Cilacap. Ketika Purwokerto ditetapkan sebagai paroki pada tanggal 3 Desember 1928, Cilacap mendapatkan pelayanan dari Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C.
Ketika A.R. March menjadi Residen Banyumas, perhatiannya terhadap perkembangan misi di Cilacap tetap besar. Ia menghadiri konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 19 April 1929. Pokok pembicaraan adalah karya misi di bidang pendidikan dan kesehatan. A.R. March mengusulkan agar usaha-usaha itu diadakan juga di Cilacap. Selama dua tahun J.J.H. Schenkels, M.S.C. mempersiapkan diri untuk berkarya di kalangan pribumi. Pada tanggal 24 April 1931, Provinsial M.S.C., Z.A. Zandvliet, M.S.C. dan Pater B.J.J. Visser, M.S.C. berkunjung ke Cilacap. Sore harinya datang Ir. Phoa, karyawan perusahaan listrik EMB. Pada pertemuan itu dibahas perkembangan Misi di bidang pendidikan. Ir. Phoa atas nama masyarakat Cina di Cilacap menawarkan sekolah HCS yang sudah ada dan dikelola oleh Masyarakat Cina. Disepakati Misi M.S.C. mempersiapkan diri untuk berkarya di kalangan pribumi.
Pada tanggal 24 April 1931, Provinsial M.S.C., Z.A. Zandvliet, M.S.C. dan Pater B.J.J. Visser, M.S.C. berkunjung ke Cilacap. Sore harinya datang Ir. Phoa, karyawan perusahaan listrik EMB. Pada per-temuan itu dibahas perkembangan Misi di bidang pendidikan. Ir. Phoa atas nama masyarakat Cina di Cilacap menawarkan sekolah HCS yang sudah ada dan dikelola oleh Masyarakat Cina. Disepakati Misi mengambil alih HCS dengan memberi imbalan sebesar ฦ’l. 450 untuk membayar hutang-hutang pengelola. Mulai tanggal 25 Juni 1931 Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C. enetap di Cilacap dan Paroki Cilacap resmi berdiri dengan nama Hati Kudus Yesus. Karya pendidikan mulai di-tangani pada tahun ajaran baru, yaitu bulan Juli 1931. Sekolah HCS dikembangkan menjadi empat kelas, ditambah satu Voorklas. Untuk mengelolanya didatangkan tiga suster PBHK dibantu seorang ibu guru dari Belanda dan seorang lagi suku Jawa. Tahun pertama siswanya sebanyak 137 orang.
Pada tanggal 7 Oktober 1931 Suster-suster PBHK dipindah ke Tegal, diganti tiga Suster Dominikanes, yaitu Priorin Angelina, Hildegardis, Clara. Dan pada tanggal 24 Desember 1931, Cilacap men-dapat tambahan tiga suster lagi, yaitu Alphonsa, Hubertin dan Virginie.
II. PREFEKTUR APOSTOLIK PURWOKERTO (1932-1942)
Gereja
Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. menerimakan Sakramen Penguatan kepada 20 orang di Cilacap pada ahun 1933. Usaha Pater J. Schenkels, M.S.C., di kalangan orang Cina belum menunjukkan hasil, sekalipun sudah fasih berbahasa Melayu dan dibantu umat Cina. Kendala utamanya adalah aktivitas bisnis. Di kalangan orang Jawa per-kembangannya cukup bagus. Dalam hal ini ada dua orang yang mem-punyai andil yang sangat berarti, yaitu Bapak Sadat Hardjosumarto dan Bapak Sarman.
Bapak Sadat Hardjosumarto adalah Mantri Guru kelahiran tahun 1900, lulusan Xaverius Muntilan tahun 1921. Dari Wonosobo ia dipindah ke Standarschool di desa Lebeng, Asistenan Sugihan. Beliau sebagai orang Katolik menarik orang-orang di sekitarnya, sebab ramah dan rendah hati, sehingga orang-orang tidak segan-segan mendekatinya. Bapak Sadat Hardjosumarto mempunyai sawah dan ladang yang cukup luas. Dengan miliknya itu dapat dipakainya untuk memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang di sekitarnya yang pada awalnya bekerja di kebun tebu milik Belanda yang sudah bangkrut. Urusan pertanian ini ditangani adik Bapak Sadat Hardjosumarto yaitu Bapak Y. Saptadi. Selain mengurusi sawah dan kebun, Bapak Sadat Hardjosumarto diserahi tugas sebagai Katekis. Setiap sore anak-anak muda dan para buruh tani memperoleh pelajaran agama dari Bapak Sadat Hardjosumarto. Desa Lebeng jaraknya dari Cilacap kurang lebih 18 km. Kendati demikian Bapak Sadat Hardjo-sumarto dianggap sebagai sesepuh umat Katolik di Cilacap.
Sementara itu ada pendatang baru, yaitu Bapak R.L. Sarman, lulusan RKKS Muntilan tahun 1917 dan melanjutkan ke Middelbare Landbouw (Sekolah Menengah Pertanian) bekerja sebagai Landbouw Konsulent Cilacap (Dinas Pertanian). Kedua orang di atas, yaitu Bapak Sadat Hardjosumarto dan Bapak R.L. Sarman sangat membantu dalam hal pengembangan umat dengan Cara :
  • menciptakan suasana bersahabat antara pimpinan Gereja dengan penguasa setempat.
  • mempersatukan umat: Belanda, Cina dan Jawa.
  • memperkuat ketahanan hidup Gerejani di bidang rohani, sosial, ekonomi dan politik lewat organisasi, yaitu Partai Katolik, Katolik Wandawa dan Wanita Katolik.
Masih berkaitan dengan Bapak Sadat Hardjo-sumarto, dua orang dari 12 puteranya menjadi Suster (Sr. Gabriella PBHK dan Sr. Theodora PBHK) dan seorang iman yang se-lanjutnya menjadi Uskup Purwokerto, yaitu Mgr. Paskalis Hardjosumarto, M.S.C. Sedangkan putera dari Bapak R.L. Sarman, seorang iman, yaitu Ign. Hadi Suprobo, Pr. dan dua orang puterinya menjadi suster. Sehubungan dengan keadaan di Eropa yang genting pada tahun 1939 Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. menganjurkan agar para pengambil prakarsa kegiatan karya Misi dapat menggunakan dana sendiri. Subsidi keuangan Misi diatur seringan-ringannya. Menanggapi anjuran itu Paroki Cilacap menggalakkan partisipasi dari seluruh umat. Kegentingan politik tidak berarti harus menghentikan kegiatan Gereja. Hal ini nampak dari penerimaan Sakramen Penguatan buat 19 orang umat pada tanggal 30 April 1940 di gereja St. Bernardus Kawunganten.
Awal tahun 1942, suasana di Cilacap makin menjadi genting. Untuk menyelamatkan para misionaris dan inventaris Gereja, empat kali Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. datang ke Cilacap. Kepentingan ibadat dan sarana kegiatan makin terdesak oleh kepentingan-kepentingan peperangan. Pada bulan Pebruari Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. kembali lagi ke Cilacap untuk mengatur evakuasi para pater dan suster setelah mendapat informasi bahwa serangan Jepang akan dimulai dari Cilacap.
Sarana
Pada tahun 1932 suster dapat menempati rumah biara sendiri pada tanggal 30 September. Luas tanah biara itu 60 x 100 meter yang dibeli dengan biaya dari Dominikanes yang berpusat di Neerbosch, Nederland seharga ฦ’.12.500,- Neerbosch juga membantu sarana-sarana, termasuk rencana pembangunan kapel yang dikerjakan oleh Ir. van Rijn dari Purworejo. Karena suster belum mempunyai yayasan, maka rumah biara itu masih menggunakan Prefektur Purwokerto. Pada bidang pendidikan suster sudah memiliki satu Voorklas (TK) satu HCS dan satu Meisjes Vakschool. Sementara itu untuk pelaksanaan tugas rutin Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C. telah menempati rumah pastorang baru. Kapel biara susteran diberkati pada tanggal 25 Januari 1933. Pada tanggal 29 Mei 1934 Firma Fermon Cuypers diserahi tugas untuk membangun HIS di halaman susteran Cilacap seharga ฦ’.12.000,-. Sedangkan pada tahun 1938 TK sudah dilengkapi dengan tempat bermain yang tertutup, SD enam kelas lengkap, SKP empat tahun beserta asramanya. Gedung sekolah diperluas dengan membeli tanah milik Tuan Reil, sedang pembangunannya dikerjakan oleh Tuan Abels. Sarana ibadah di Stasi Kawunganten: Gereja St. Bernardus dibangun atas bantuan Mg. Worner dan diberkati pada tanggal 20 Oktober 1938. Di Lebeng di-bangun Gereja St. Dominikus. Di samping itu pada tahun 1938 diadakan Novisiat Suster-suster Dominikanes. Panti Asuhan anak-anak: “Theresia Kindertehnis”. Sarana phisik dan non phisik mencakup: tiga buah gereja, satu asrama dan satu panti asuhan; pastor ada dua orang dan suster ada 12 orang, satu diantaranya adalah orang Jawa, sedang umat ada sebanyak 712 orang (300 orang Belanda, 299 Jawa, 70 Cina dan 38 permandian).
Pimpinan gereja Purwokerto telah membuahkan hasil nyata, seperti pemberkatan bangunan susteran yang baru pada tanggal 19 Maret yang dihadiri Algemene Overste dan Sesia; Sekolah Dasar di Bojong, Kawunganten dan Cileumuh, Majenang diberkati dan diresmikan oleh Pater Th. Tangelder, M.S.C. pada tanggal 1 Agustus. Meletusnya Perang Dunia II di Eropa belum begitu terasa buat kegiatan Gereja se-perti terlihat dari Novisiat Dominikanes melangsungkan kaul profesi dua orang suster Jawa, pada tanggal 10 Nopember, sehingga jumlah Suster menjadi 14 orang dan pada tanggal 2 Desember 1939 pastoran beserta tanahnya dijual seharga ฦ’.2.300,-, dibeli oleh Tuan B.A.M. Karhof. Uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli tanah yang strategis letaknya. Memasuki tahun 1942 kondisi Pemerintah Hindia Belanda makin terdesak oleh tentara Dai Nippon. Karena itu para suster yang semula akan dipindah ke Karanganyar oleh Kantor Pengajaran Daerah dianjurkan untuk mendampingi para siswa yang dipindah ke Perkebunan Kawung, Majenang, sedang sekolah dan rumah biara dipakai untuk keperluan militer. Pastoran digunakan untuk KPM, di halaman gereja dibuat bangunan darurat untuk karyawan KPM. Pater V. Hochtenbach, M.S.C. menempati ruangan HCS, susteran dan kelas digunakan untuk Javasche Bank, ELS, HIS Gubernemen dan HIS Zending.
Sumber Daya Manusia
Partisipasi para Katekis dalam meningkatkan jumlah umat terlihat hasilnya seperti dengan adanya permandian empat orang pada tahun 1932, 9 orang pada tahun 1933, 19 orang pada tahun 1934, 53 orang pada tahun 1935 dan 75 orang pada tahun 1936. Sementara itu terjadi mutasi para pastor paroki. Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C. dipindah ke Paroki Tegal (21 Juni 1934), Pater B. Kockelkoren, M.S.C. dari Kutoarjo. Tugas Pater B. Kockelkoren, M.S.C. adalah membina umat Cina, muda-mudi, sedang Pater H. Dekker, M.S.C. bertugas untuk melayani umat Jawa. Pada tanggal 25 Pebruari 1939 Pater J.V. Rooijen, M.S.C. karena alasan kesehatan kembali ke Negeri Belanda. Selanjutnya pada tanggal 18 April Pater Th. Tangelder, M.S.C. ditugaskan untuk memimpin Sekolah Katekis di Cilacap. Para imam yang baru datang dari Negeri Belanda adalah Pater van Bielsen, M.S.C., Pater Switsar, M.S.C. dan Pater van Langen, M.S.C. dan Pater V. Hochstenbach, M.S.C. yang selanjutnya ditempatkan di Paroki Cilacap. Pater yang baru saja bertugas ini tidak canggung dalam menjalankan tugasnya sebab beliau telah mempelajari bahasa dan budaya Jawa pada Bapak Sadat Hardjosumarto. Kemudian pada tanggal 2 Agustus 1940 Pater V. Hochstenbach, M.S.C. menggantikan Pater Th. Tangelder, M.S.C. sebagai pastor paroki dan sebagai pastor pembantunya adalah Pater Zwitsar, M.S.C.
Menjelang datangnya Jepang umat paroki Cilacap berjumlah 803 orang (248 Belanda, 499 Jawa dan 56 Cina), pastor ada dua orang dan 15 suster.
Persekolahan
Pengembangan karya ilmiah pendidikan ditempuh dengan mendirikan Meisjes Vakschool (SKP) 2 tahun untuk umum pada tanggal 1 Oktober 1932, sehingga pada akhir tahun 1932 suster telah memiliki: Voorklas (TK), HCS dan Meisjes Vakschool. Bapak Sadat Hardjosumarto mengusulkan didirikannya HIS oleh Misi kepada Prefektur Apostolik. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah Katolik cukup positif, karenanya kelengkapannya perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
III. VIKARIS APOSTOLIK KRISTUS RAJA PURWOKERTO (1942 – 1961)
Gereja
Menjelang masuknya Tentara Pendudukan Jepang Cilacap dipenuhi berbagai kesibukan dari pemerintah kolonial Belanda dalam kaitannya dengan usaha evakuasi. Dalam periode antara 1942-1961 perkembangan Paroki Cilacap sempat diwarnai oleh hadirnya Tentara Pendudukan Jepang dan masa-masa menegakkan RI Proklamasi. Karenanya perlu mencermati berbagai perkembangan dari kelangsungan hidup paroki ini.
Setelah menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, Cilacap menjadi tidak aman. Terjadi banyak perampokan. Sarana liturgi gereja banyak yang hilang (stola, piala, tempat lilin, jubah), tetapi barang-barang itu ditemukan oleh Ny. Oei Kim Seng (ibu kandung Oei Peng On = Ongko Kusumo) di pasar dan kemudian dibelinya untuk diamankan di rumahnya. Pada tanggal 18 Maret Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. berkunjung ke Cilacap untuk menemui Pater V. Hochstenbach, M.S.C. yang untuk sementara tinggal di hotel. Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. dapat menemui para tawanan perang keturunan Belanda yang beragama Katolik karena beliau memiliki paspor atas nama Vatikan.
Bruder Yokanetus meninggal dunia pada tanggal 15 Maret 1942 di rumah sakit Cilacap sebagai tawanan perang. Pastor, Bruder dan Suster yang berkebangsaan Belanda ditawan oleh Jepang. Selama pendudukkan Jepang tugas pelayanan umat dilakukan oleh para pastor pribumi. Untuk wilayah Vikariat Purwokerto dilayani oleh Pater Th. Padmowidjojo, M.S.C. Karena gedung gereja dikuasai oleh tentara Jepang, maka Misa Kudus yang diadakan 1-2 bulan sekali diselenggarakan di rumah umat misal di rumah R.L. Sarman, Jl. Martadinata atau di rumah Ny. Oei Kim Seng. Umat yang hadir mengikuti Misa Kudus berkisar antara 20-30 orang, terdiri dari keturunan Cina dan Jawa yang tinggal di kota.
Kondisi para misionaris (pater, bruder, suster) sesudah ke luar dari tahanan sangat buruk, sehingga banyak yang kembali ke negeri Belanda untuk memulihkan kesehatan. Karena itu sekalipun bangunan gereja sudah dibenahi oleh umat, tetapi belum ada pastor yang menetap di Cilacap, sehingga untuk pelayanan umat masih dibantu oleh para pastor dari Purwokerto. Kondisi umat pada tahun 1946 dan 1947, begitu juga keamanan belum stabil, sekalipun pasukan Belanda sudah menduduki Cilacap. Penduduk banyak yang mengungsi, termasuk di dalamnya orang-orang Katolik. Tetapi bagi mereka yang tidak mengungsi, yaitu orang Katolik Belanda, Cina dan Jawa, dilayani oleh Pater P. Bonke, S.J., pastor militer.
Sebelum Belanda kembali untuk menduduki Cilacap banyak bangunan yang dibumihanguskan dengan tujuan agar tidak dapat digunakan lagi oleh Belanda, misalnya sekolah Katolik milik susteran, kendati demikian sebagian besar dari bangunan itu masih utuh. Pada tahun 1949 tentara Belanda di Cilacap membantu penyerangan ke timur sampai Gombong. Setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia dan Republik Indonesia Serikat terbentuk para misionaris Hati Kudus mulai menghimpun kembali tenaga dan mendata milik gereja, sekolah dan peralatannya. Hal itu dilakukan oleh Pater K.J. Veeger, M.S.C. dan Pater C.J. Brouwers, M.S.C. Selanjutnya dalam penyelenggaraan liturgi dibentuk wadah bernama Konggregasi Maria untuk membantu imam. Para pemudi dan ibu-ibu menghimpun diri untuk mengikuti Misa Kudus dengan koor, menyiapkan peralatan Misa Kudus, merangkai bunga.
Sementara itu Pater V. Hochtenbach, M.S.C. kembali ke Cilacap pada tahun 1951. Kegiatan-kegiatan umat tersalur lewat organisasi-organisasi Katolik. Selanjutnya pastoran dipindah dari Tugu Pahlawan No. 5 ke No. 54. Bangunannya terdiri atas pendopo berbentuk limasan, rumah tembok kap bambu dan sebuah pavilyun dengan tiga kamar dan dapur. Bangunan itu digunakan untuk pastoran dan untuk asrama anak-anak laki-laki di bawah asuhan pastor paroki. Untuk asrama yatim piatu putri diasuh suster PBHK di susteran. Adapun kegiatan pastoral mencakup Misa Harian, Pengakuan Dosa, Misa Minggu, Salve (Pujian) pada hari Jumat dan Minggu sore (untuk pengakuan dosa pada hari Sabtu sore); pelayanan agama bagi keluarga yang memerlukan, Misa di Stasi, Lebeng, Jeruklegi, Kawunganten satu kali satu bulan.
Persekolahan
Keadaan gereja dan aktivitasnya masih labil sejalan dengan keadaan pemerintahan yang juga masih labil. Muder Philomena dan beberapa suster menempati SR Pius, sementara rumah biara masih digunakan sebagai Kantor Penerangan Pemerintah. SR Pius mulai difungsikan.
Tokoh-tokoh umat seperti: Bapak Hardjosumarto, Bapak Hardjosubroto dan Bapak Sarman membentuk Madjelis Aksi Katolik (MADJAKKAT) sebagai embrio dari Dewan Paroki. Pada pertengahan tahun 1950 mereka itu mendirikan SMP MADJAKKAT yang diketuai oleh Bapak Hardjosubroto. Sebagian besar dari guru-gurunya diambil dari guru-guru Katolik di sekolah negeri dan berkerja sebagai tenaga honorer.
Organisasi
Suasana politik berpengaruh besar terhadap umat Katolik di Cilacap. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan umat. Para ibu mendirikan organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia. Dalam naungan organisasi itu mereka giat mengadakan pendalaman iman dan membahas masalah rumah tangga pastoran. Untuk kegiatan keluar dibentuk unit Drumband WKRI.
Putra-putri keluarga Katolik dihimpun dalam kegiatan kepanduan dengan nama Pandu Katolik Don Bosco. Sedangkan guru-guru Katolik yang bekerja di berbagai sekolah: Pius, MADJAKKAT dan Negeri, menghimpun diri dalam organisasi “Persatuan Guru Katolik” (PGK).
Guna menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955, umat Katolik membentuk Partai Katolik Cabang Kabupaten Cilacap. Ketuanya Bapak Hardjosubroto dibantu Bapak Ongko Kusumo dan Bapak J. Gondojudrasono. Para pemudanya membentuk Organisasi Pemuda Katolik, sebagai onderbouw Partai Katolik. Dalam Pemilihan Umum tahun 1955, Partai Katolik gagal memperoleh kursi di Parlemen. Patai Komunis Indonesia yang menang pada Pemilihan Umum itu menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan, misalnya posisi Bupati Cilacap, dalam hal ini yang menempati adalah Bapak D.A. Santoso. Meskipun kalah dalam Pemilihan Umum, umat Muda Katolik Indonesia (MKI), Partai Katolik Indonesia, Kepanduan Katolik (Don Bosco) dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) tetap berjalan terus dalam berbagai kegiatan mereka.
Setelah mencermati uraian di atas dapat dikatakan bahwa kehidupan paroki Cilacap pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan terhenti. Setelah adanya Proklamasi perkembangannya diwarnai oleh berbagai usaha untuk pemulihan berbagai sarana peribadatan dan pendidikan. Menghadapi pemilu tahun 1955 umat Katolik Paroki Cilacap terlibat secara aktif terbukti dari berdirinya berbagai organisasi Katolik seperti : Partai Katolik Indonesia, Wanita Katolik Indonesia, Muda Katolik Indonesia.
 
IV. KEUSKUPAN DIOSIS PURWOKERTO (1961 – 1992)
Beberapa hal yang perlu dicatat menjelang tahun 1961 antara lain 1) gangguan gerombolan Darul Islam menyebabkan kegiatankegiatan di Cilacap Barat: Majenang, Sidareja, Gandrungmangu, Kawunganten, Jeruk Legi, Kesugihan/Lebeng menjadi tidak aman; 2) Pater van Bielsen, M.S.C. berusaha meningkatkan kemampuan umat berdasar pada sarana yang ada untuk merenovasi pastoran dan gedung gereja, melengkapi sarana-sarana ibadat dan mencetak buku tuntunan doa dan nyanyian, mengajar agama-agama di sekolah, untuk memenuhi kebutuhan tenaga paroki menyelenggarakan kursus katekis sukarela; 3) Romo Hadisuprobo, Pr. membina Muda Katolik Indonesia (muda-mudi) dengan aktifis seperti: C.H. Wismo Utoyo, Y. Kadara, Y. Saptadi, Y. Sukir, putera-puteri altar dan kunjungan keluarga mendapat prioritas dari Pater J.A. Bosse, M.S.C.; 4) Guna TRIKORA juga terasa di Cilacap.
Jumlah umat mencapai 1.000 jiwa dan baptisan baru setiap mencapai 80-90 orang. Selanjutnya untuk melihat tumbuh dan berkembangnya Paroki Cilacap mengacu pada pergantian-pergantian pastor paroki dengan mempertimbangkan hal-hal khusus yang menjadi ciri khas perkembangannya. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
PERIODE 1961-1974
Gereja
Pater Louis Maria Bertazzi, M.S.C. (asal Brazil) diperbantukan di Cilacap. Dalam melaksanakan tugasnya beliau sangat ramah dan merakyat, rajin mengadakan kunjungan keluarga. Untuk memperlancar tugas-tugas pastoralnya dibentuk:
  • Presidium Legio Maria “Bunda Hati Kudus” sebagai wadah kerasulan awam.
  • Pasukan Ekaristi Kudus sebagai wadah bagi anak-anak Katolik dalam memperdalam iman lewat kegiatan menyanyi, bermain, mengikuti Misa Kudus dan menghormati Ekaristi Kudus.
Pada tahun 1965 Pater J.A. Bosse, M.S.C. menggantikan Pater L.M. Bertazzi, M.S.C. dan Pater P.C. van Bilsen, M.S.C. pulang ke negeri Belanda. Untuk memperlancar tugasnya, Pater J.A. Bosse, M.S.C. membentuk kelompok-kelompok umat di kota menjadi enam kelompok dan menunjuk salah seorang umat untuk memimpin ibadat dalam kelompok-kelompok itu. Begitu juga pelayanan umat di stasistasi ditingkatkan. Pastor Paroki sering bermalam di stasi-stasi untuk memberikan dorongan kepada pimpinan stasi agar lebih besar peranannya.
Peran umat sebagai anggota Persekutuan Umat Allah yang Kudus merupakan perwujudan gereja, Tubuh Mistik Kristus (realisasi hasil Konsili Vatika II). Dampak dari peristiwa G.30 S/PKI adalah pertumbuhan umat yang meningkat, pada tahun 1966 tercatat jumlah permandian 311 orang dan tahun 1967: 262 orang.
Pada tahun 1967 Pater E. Somohardjono, M.S.C. kembali lagi ke Cilacap. Pewartaan dan pelayanan para pendahulunya dilanjutkan. Madjakkat (Dewan Paroki) diketahui Ir. Sarwadi. Peranan umat dalam kelompok-kelompok diintensifkan dikembangkan. Peluang untuk menjadi rasul-rasul awam banyak diberikan kepada umat. Karena jumlah umat di Kota ± 2.000 orang tidak mungkin tertampung di gereja pada Misa hari Minggu, dengan restu dan dukungan Keuskupan, Pater E. Somohardjono, M.S.C. merencanakan membangun gereja di Jl. A. Yani No. 23. Secara teknis pembangunan ini ditangani oleh Petrus Ong Hian Kie, Ketua Kelompok V ketika itu (Lingkungan St. Petrus sekarang), arsitekturnya dirancang oleh seorang petugas suka relawan dari Purwokerto.
Pater P.J.C. Netto, M.S.C. pada awal tahun 1967 menggantikan Pater E. Somohardjono, M.S.C. sebagai pastor Paroki. Pater baru ini berasal dari Brazil. Inisiatifnya adalah dalam kegiatan : Wanita Katolik, olah raga Mudika, Pasukan Ekaristi Kudus, Legio Maria dan Putra Altar. Legio Maria dan Putra Altar merupakan prioritas utamanya. Putra Altar sering diajak rekreasi. Kegembiraan dan keakraban sangat kelihatan antara putra altar, legioner dan pastor paroki. Kegiatan Muda Mudi Katolik (Mudika) cukup dikenal baik di lingkungan gereja maupun di luarnya lewat kesenian Katolik yang dipimpin oleh Narposaroso, karyawan BNI yang masih muda. Drama, tarian, koor Mudika sering diundang untuk pentas di Pendopo Kabupaten atau di tempattempat umum lainnya.
Pembangunan umum gereja yang berkapasitas lebih kurang 6.500 orang dilengkapi pastoran di belakang gereja dilanjutkan. Pembangunan itu selesai pada tahun 1969. Pada tanggal 26 Desember 1969 bangunan baru yang sudah selesai itu diberkati dan diresmikan oleh Mgr. W. Schoemaker, M.S.C. dihadiri oleh Bupati Cilacap, S. Kartabrata dan para pejabat lainnya. Adapun nama pelindung gereja yang baru itu adalah Santo Stephanus.
Awal tahun 1970-an kondisi keamanan di Cilacap sudah stabil dan pemerintah melaksanakan Pelita I. Kondisi yang aman memungkinkan lancarnya pelayanan kepada umat paroki, lebih-lebih ke stasi-stasi. Hal ini dikarenakan sarana jalan mulai dibangun, terutama jalan antara Cilacap dan Majenang. Hubungan antara Gereja dan Pemerintah terjalin dengan baik. Untuk pertama kalinya Pemerintah Orde Baru melaksanakan Pemilihan Umum I pada tahun 1971. Umat Katolik menyalurkan aspirasi politiknya lewat Golkar dan PDI. Paroki Hati Kudus Yesus Cilacap setelah dibangunnya gereja yang baru dan mengambil perlindungan kepada Santo Stephanus, nama parokinya juga dirubah selaras nama pelindung gerejanya, yaitu Paroki Santo Stephanus Cilacap. Saat ini yang menjabat sebagai Pastor Paroki adalah Pater P.J.C. Netto, M.S.C. asal Brazilia. Beliau sangat aktif mengadakan kunjungan keluarga. Mula-mula beliau sendirian di Cilacap, selanjutnya dibantu oleh Pater R. Mortens, O.S.C.. Pertambahan jumlah permandian cukup besar, pada tahun 1970 sebanyak 150, tahun 1971 : 188 dan tahuun 1972: 255 orang. Karena jumlah imam masih terbatas, lagi pula keadaan transportasi yang masih sulit maka pelayanan umat untuk stasi Majenang, Wanareja dan Dayeuhluhur dilayani para imam dari Paroki Tasikmalaya. Para imam dari Cilacap melayani umat di kota dan stasi: Kawunganten, Sidareja dan Lebeng.
Pada tahun 1972 terjadi peralihan penggembalaan Paroki Cilacap dari Misionaris M.S.C. ke Misionaris O.M.I. Peralihan ini diawali oleh adanya kunjungan Mgr. W. Schoemaker, M.S.C. ke Australia. Ketika itu Mgr. W. Schoemaker, M.S.C. bertemu dengan Provinsial O.M.I. untuk wilayah Australia dan mengundang Misionaris O.M.I. untuk berkarya di Indonesia. Disepakati bahwa Bapak Uskup akan mengadakan satu paroki yang terletak di pantai dan paroki lain yang berdekatan.
Pada awal tahun 1972 Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I. menuju ke Purwokerto. Mula-mula ditawari Paroki Tegal, tetapi dengan beberapa pertimbangan akhirnya memilih pantai selatan Jawa, yaitu Paroki Santo Stephanus Cilacap dan Paroki Santo Yosef Purwokerto Timur. Pengalaman awal Pater Yohanes Kelvin Cassey, O.M.I. adalah pastoral dan misioner di Afrika, masa mudanya adalah atlit rugby, tinju dan perenang. Kendati olah raga yang menjadi kesenangannya adalah olah raga keras, tetapi sikapnya lembut, tutur katanya halus dan punya sifat kebapakan. Kotbahnya menarik umat. Frater David Shelton, O.M.I dikirim oleh Provinsial O.M.I. Australia untuk membantu Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I., sebab jumlah umat sudah cukup banyak dan tersebar di wilayah yang cukup luas dan medan yang sulit. Adanya dua imam di Cilacap menyebabkan pelayanan umat di Stasi Majenang tidak dilayani lagi oleh imam dari Paroki Tasikmalaya, tetapi diserahkan kembali kepada para imam di Cilacap.
O.M.I. (Oblate Maria Immaculata) yang didirikan oleh Eugenius de Mazenod di Perancis (1816) bersemboyan: “Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin”. Dengan semboyan Pater O.M.I. pertama di Indonesia, sebab para pater O.M.I. dari Perancis yang berkarya di Kalimantan Barat dan para pater O.M.I. dari Italia yang berkarya di Kalimantan Timur baru mulai pada tahun 1976.
Pada bulan September 1973 Pater Chalie Patrick Burrows, O.M.I. dari Australia asal Selandia datang di Cilacap. Di paroki Pater David Shelton, O.M.I. di Australia, Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. dikenal sebagai seorang misionaris yang kreatif dan bersemangat.
Program-program Paroki Santo Stephanus yang sudah dirintis oleh Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I. dengan adanya tambahan tenaga baru dapat dilaksanakan dengan lancar.
Persekolahan dan Organisasi
Pada tahun 1962 untuk kegiatan ekstrakurikuler SD dan SMP Pius membentuk Gugus Depan Pramuka sebagai wadah kegiatan kepanduan yang baru. Para perintis gerakan ini antara lain Y. Saptadi, Y. Kadara untuk Gugus 10 dan 11.
Pada tahun 1963 dan 1964 kondisi ekonomi memburuk setelah Irian Barat berhasil direbut dari tangan Belanda dan selanjutnya dilancarkan konfrontasi mengganyang Malaysia. Kegiatan politik makin meningkat di kalangan partai-partai : PNI, PKI dan NU. Di kalangan Paratai Katolik yang dipimpin oleh Y. Gondoyudrasono, Ongkokusumo, didukung Pemuda Katolik asuhan Ch. Wismoutoyo, aktif mengadakan kaegiatan intern dan ekstern.
Pada akhir tahun 1964 dibentuk S.S.V. (Serikat Santo Vincentius) yang bertempat di salah satu ruang di samping pastoran. Dalam melaksanakan kegiatan Pater P.C. van Bilsen, M.S.C. dibantu oleh Y. Gondroyudrasono, Ign. Soewignyo dan bidan Karni (puteri pendeta Daruadi). S.S.V. melayani kesehatan, membantu membuat rumah bagi orang yang tidak mampu di atas tanah eigendom yang letaknya ada di belakang pastoran.
Ketika terjadi pemberontakan G.30 S/PKI, situasi di Cilacap menjadi tegang Pemuda Katolik mengadakan piket untuk menjaga keamanan para tokoh Gereja secara bergantian di bawah koordinasi Ch. Wismoutoyo.
 
PERIODE 1974 SAMPAI SEKARANG
Gereja
Pada periode ini perkembangan gereja lebih difokuskan pada usaha-usaha sosial karitatif dan pendidikan. Perkembangan iman ditandai oleh pertumbuhan jumlah stasi. Di Cilacap barat, Stasi Majenang berkembang ke wilayah Wanareja, Mergo dan Dayeuhluhur. Stasi Sidareja berkembang ke Cipari, Kedungreja, Gandrungmangu, Cisumur, Patinan. Stasi Kawunganten berkembang ke daerah Bringkeng, Gregu, Ujungmanik, Kampung Laut, Mentasan dan Stasi Lebeng berkembang ke daerah Maos, Adipala, Doplang dan Adiraja. Bila jumlah umat pada awal tahun 1970 tercatat kurang lebih 3.000 jiwa maka pada awal tahun 1980 tercatat 7.869 jiwa.
Antara tahun 1970-1980 wilayah Kabupaten Cilacap dipimpin oleh Bupati S. Kartabrata, kemudian digantikan oleh R.Y.K. Mukmin. Hubungan gereja dengan pemerintah daerah terjalin cukup baik. Periode ini ditutup dan ditandai dengan digiatkannya gerakan-gerakan kegerejaan. Dan sebagai hadiah buat anggota Dewan Paroki, mereka sebagai pasangan suami isteri dikirim untuk mengikuti Acara Akhir Pekan ME (Week End Marriage Ecounter).
Pada awal tahun 1980 jumlah umat Katolik Paroki Santo Stephanus Cilacap kurang lebih 8.000 orang dengan dua orang imam, yaitu Pater Kelvin Cassey, O.M.I. dan Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. Pada saat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Cilacap dipegang oleh Pudjono Pranyoto hubungan gereja dengan pemerintah daerah sangat baik, usaha-usaha YSBS di bidang pembangunan dengan sistem padat karya dapat berjalan lancar berkat dukungan pemerintah. Pembangunan jalan dari desa Bojong-Bringkang-Gruya-Ujungmanik sampai medekati desa Panikel dapat diselesaikan. Kampung laut mulai tampak menjadi daerah pertanian dan peternakan di samping sebagai daerah perikanan.
Dalam awal periode ini Ketua Dewan Paroki dijabat oleh Slamet, pegawai pertambangan pasir besi, yang kemudian karena pindah ke Jakarta, jabatannya dilanjutkan oleh Anton Soepratomo, karyawan PJKA sampai 1982. Peranan umat Katolik Paroki Stephanus Cilacap mulai tampak dalam keikutsertaan mereka guna mewartakan kabar gembira sesuai dengan hasil Konsili Vatikan II yang memberikan kesempatan yang luas kepada seluruh anggota gereja. Ini kelihatan pada aktivitas umat dalam karya-karya pelayanan gereja. Usaha-usaha inkulturasi Gereja Katolik Indonesia mendapat prioritas dalam mewujudkan persekutuan umat Allah yang Kudus.
Untuk pertama kalinya pada tahun 1982 Paroki Santo Stephanus Cilacap digunakan untuk tahbisan imam. Romo Susanto Adi, Pr. ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. dalam suatu Misa Konselebrasi dengan iringan gending-gending Jawa yang anggun. Romo Susanto Adi, Pr. yang dekat dan akrab dengan Mudika ini, tidak lama kemudian ditugaskan di Paroki Tegal, Purbalingga dan sekarang di Paroki Santo Yosef, Purwokerto Timur.
Pada periode antara tahun 1982-1985 untuk kedua kalinya Ir. Y. Sarwadi menjabat sebagai Ketua Dewan Paroki Santo Stephanus, Cilacap. Pastor parokinya masih Kelvin Johanes Cassey, O.M.I. dibantu oleh Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. Lingkungan/kelompok dikembangkan dari enam menjadi dua belas lingkungan/kelompok.
Pada periode antara tahun 1985-1988 yang menjadi Ketua Dewan Paroki Santo Stephanus Cilacap adalah Ign. Soewignyo, Pastor Parokinya adalah Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. dibantu oleh Pater Pat Mac Anally, O.M.I. karena Pater Kelvin Johanes Casey, O.M.I. pindah ke Paroki Santo Yosef, Purwokerto Timur.
Pada tahun 1985 untuk kedua kalinya Gereja Paroki Santo Stephanus Cilacap digunakan untuk tahbisan tiga imam baru oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. Keistimewaan tahbisan ini adalah salah seorang imam baru yang ditahbiskan itu adalah imam O.M.I. pribumi pertama, yang menyelesaikan pendidikannya di Seminari O.M.I., Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Tahbisannya dengan Misa Konselebrasi dan diikuti para imam dari paroki-paroki di Keuskupan Purwokerto dan para imam O.M.I. di Indonesia serta beberapa imam dari Australia. Selain Pater G. Basir Karimanto, O.M.I. yang ditahbiskan adalah Pater Sugun, M.S.C. dan Pater Yatno Yuwono, M.S.C. Misalnya dengan inkulturasi gaya Jawa yang megah dilanjutkan dengan resepsi meriah di Aula SMA Yos Sudarso, mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraan umat atas tahbisan para imam baru itu, terutama lahirnya seorang imam baru O.M.I. pribumi pertama di Indonesia.
Untuk menampung jumlah umat yang selalu bertambah dibangun tempat ibadah sesuai dengan meningkatnya kebutuhan umat. Pada tahun 1983 jumlah umat Katolik di Paroki Santo Stephanus Cilacap sebanyak 9.430 orang. Dari jumlah itu sekitar 4.500 orang tinggal di kota, sedang gedung gereja yang ada hanya berkapasitas sekitar 650 orang. Karena jumlah imam hanya ada dua orang, yang satu melayani Misa di Paroki pada Sabtu sore dan Minggu pagi dan satu lagi melayani di Stasi-stasi. Gedung gereja kemudian direhab, dengan kapasitas lantai bawah 1.300 orang, dan bila dengan balkon dan teras depan mampu memuat 2.000 orang. Usaha pembangunan dilaksanakan secara bertahap dan sampai saat ini sudah berjalan selama sepuluh tahun dan belum selesai. Dana yang digunakan berasal dari umat lewat sumbangan dan kolekte ke-2 setiap Misa Sabtu dan Minggu, serta bantuan dari para donatur.
Di stasi-stasi juga dibangun gereja-gereja dan kapel-kapel seperti di Kawunganten, Sidareja, dan beberapa stasi kecil lainnya yang membangun kapel secara swadaya. Selain perkembangan kegiatan pelayanan umat dalam hidup menggereja, pembangunan gedung gereja dan karya-karya misioner dari O.M.I. dan PBHK, Paroki Santo Stephanus Cilacap juga mengembangkan wilayahnya. Pada tahun 1986 Stasi Maos, Adipala, Doplang mulai berkembang. Di desa Bunton, Adipala dibangun sebuah kapel untuk stasi itu. Beberapa tahun kemudian wilayah Kroya yang semula merupakan wilayah Paroki Gombong, dijadikan bagian dari wilayah Paroki Santo Stephanus Cilacap, menyusul wilayah Sampang, sehingga wilayah Paroki Santo Stephanus Cilacap meliputi seluruh wilayah Kabupaten Cilacap.
Pada tahun 1988 F.X. Soemarsono menggantikan Ign. Soewignyo menjadi Ketua Dewan Paroki Santo Stephanus Cilacap. Pada tahun 1989/1990 Gema Sinode Diocesan bergema di seluruh Paroki Santo Stephanus Cilacap. Persiapan-persiapan untuk menyongsong Sinode yang akan diselenggarakan oleh Keuskupan Purwokerto telah melibatkan seluruh umat di Paroki Santo Stephanus, baik dalam pertemuan umat lingkungan, sub stasi dan di tingkat paroki.
Masukan yang diperoleh dari berbagai pertemuan untuk Pastor Paroki dan Dewan Paroki dibawa ke Sinode dan hasil dari Sinode itu selanjutnya disampaikan kembali kepada seluruh umat paroki. Pastor dan Dewan Paroki secara bertahap melibatkan umat untuk melaksanakan karya misioner. Pembangkitan semangat misioner di kalangan umat dapat ditempuh dengan menggunakan berbagai wadah yang sudah ada.
Pada pertengahan tahun 1990 Paroki Santo Stephanus digunakan lagi untuk pentahbisan imam dari Kongregasi O.M.I., yaitu Pater Nicolas Setyawijaya, O.M.I., kelahiran Surakarta, dan tempat pentahbisannya di Gereja Santo Bernardus, Kawunganten. Upacara pentahbisan pada perayaan Misa Kudus, dipimpin oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. dihadiri oleh para imam dari Kongregasi O.M.I. dan para imam dari paroki-paroki tetangga di sekitar Cilacap. Umat yang menghadiri pentahbisan itu terdiri dari utusan Dewan Paroki tetangga, umat dari Paroki Santo Stephanus, stasi-stasi, utamanya umat dari Stasi Kawunganten memenuhi gedung dan halaman Gereja Santo Bernardus Kawunganten. Umat Stasi Kawunganten sudah mengenal Pater Nicolas Setyawijaya ketika melaksanakan Tahun Orientasi Pastoralnya di situ. Umat tampak senang pada acara makan bersama Bapak Uskup dan seluruh undangan sebelum upacara resmi berlangsung. Rangkaian acara pentahbisan ini menjadi kebanggaan khusus dan memberikan suatu kenangan indah yang belum pernah dialami sebelumnya, khususnya umat Stasi Kawunganten yang sebagian besar dari mereka hidup secara sederhana.
Mulai tahun 1991 Yon Pw. Ponto’an menjadi Ketua Dewan Paroki. Kemampuannya dalam bidang pastoral, liturgi dan masalah-masalah kegerejaan lainnya sangat baik. Ia berusaha meningkatkan kemampuan umat dan para rasul awam untuk dapat mengikuti perkembangan, memperluas pengetahuan dan wawasan, dan cara kerja menurut Konsili Vatikan II secara benar. Nama-nama para santo dan santa mulai dibudayakan untuk menjadi nama pelindung lingkungan, stasi dan sub-sub stasi agar keteladanan para santo dan santa itu dikenal dan yang lebih penting: dihayati oleh umat. Program kerja Dewan Paroki dan seksi-seksinya dikongkritkan. Dengan gigih Ketua Dewan Paroki memperjuangkan terwujudnya ide-ide, meskipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan ketekunan, waktu dan kerja keras.
Dalam waktu kurang lebih delapan tahun terakhir Kongregasi O.M.I. telah melahirkan para imam pribumi. Berturut-turut setelah Pater Gregorius Basir Karimanto, O.M.I., Pater Franciscus Asisi Rumiyanto Goa Seputra, O.M.I., Pater Franciscus Xaverius Sudirman, O.M.I., Pater Nicolas Setyawijaya, O.M.I. dan pada tanggal 5 Oktober 1992 ditahbiskan tiga orang imam baik di Gereja Santo Stephanus, Cilacap oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. Dua dari tiga imam baru itu kakak beradik, yaitu Pater Blasius Sukardjo, O.M.I. dan Pater Lazarus, O.F.M.. Seorang lagi adalah putra asli Cilacap, Robertus Boedhy Prihatma, O.M.I. (putra dari Bapak dan Ibu Mac. Sutarjono).
Dalam rangkaian yubileum 25 tahun Gereja Santo Stephanus Cilacap, tanggal 26 Desember 1994 dan yubelium 25 Tahun imamat Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I., Dewan Paroki telah melaksanakan kegiatan yang melibatkan seluruh umat, mulai dari kanak-kanak, remaja, mudika, pasangan suami isteri, Santa Monica, Kelompok Persekutuan Doa, umat lingkungan dan stasi-stasi serta penerbitan buku. Untuk keperluan tersebut di muka, usulan yang rinci menyangkut tata pelaksanaan, waktu dan petugasnya lebih dulu sudah disebarluaskan, sehingga pelaksanaannya dapat dikontrol dengan baik. Di dalam usulan itu juga sudah dicantumkan penghayatan akan makna Tahun Keluarga 1994, Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. pada tahun 1994 memberkati dan melantik 72 orang prodiakon Paroki dan stasi di Gereja Stasi Santo Yosef Sidareja.
Pada tahun 1994 terjadi tiga peristiwa yang sangat menggembirakan umat Paroki Santo Stephanus :
1) adanya imam baru, Pater Dominicus Pareta, O.M.I., kelahiran Flores Timur, yang ditahbiskan di Cengkareng Jakarta;
2) Berkat kepausan yang diberikan oleh Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus II, kepada para imam, dewan paroki, dan seluruh keluarga umat Katolik Paroki Santo Stephanus, Cilacap, bertepatan dengan Penutupan Novena Bunda Maria yang diselenggarakan selama sembilan bulan berturut-turut pada setiap tanggal delapan. Novena itu dibuka pada tanggal 8 April 1994 dan ditutup pada tanggal 7 Desember petang dengan Misa Konselebrasi dipimpin oleh Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I. dan diawali dengan prosesi lilin oleh peserta dan SMP Pius ke gereja;
3) Tetap sehari sesudah perayaan Hari Natal 1994, 26 Desember 1994 diselenggarakan Misa Konselebrasi dilanjutkan dengan Resepsi Umat dalam rangka menyambut Yubelium 25 tahun Gereja Santo Stephanus dan sekaligus Yubelium 25 tahun imamat Pater Chalie Patrick Burrows, O.M.I. yang telah berkarya selama 21 tahun di Paroki Santo Stephanus.
Persekolahan
Usaha gereja di bidang pendidikan lewat YSBS (Yayasan Sosial Bina Sejahtera) mulai dikembangkan. Bangunan pastoran lama yang mempunyai halaman luas di Jl. A. Yani No. 54, direhab dan dibangun sebuah SMA dengan nama SMA Yos Sudarso pada tahun 1977, kemudian diperluas dengan membeli tanah di samping dan belakangnya.
Pada tahun 1979 Drs. Budidharmakusuma pindah ke Semarang dan untuk memimpin SMA Yos Sudarso, Cilacap dipercayakan kepada Ir. J. Sarwadi sebagai Kepala Sekolah. Sementara itu Perguruan Pius yang dikelola suster-suster PBHK berjalan makin mantap dan mutunya baik. TK, SD, SMP menjadi sekolah favorit masyarakat, dan tidak sedikit pejabat yang menyekolahkan putera-puterinya di sekolah Pius itu. Perkumpulan Santa Monica adalah wadah kegiatan bagi para janda Katolik yang sudah mulai sejak tahun 1982 diresmikan pada tahun 1985.
Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. juga mengembangkan pendidikan dan kesehatan. Di stasi-stasi mulai didirikan sekolah dan Balai Pengobatan. Di stasi Majenang didirikan Balai Pengobatan, SMP, SMEA, dan kemudaan SMA dengan nama Yos Sudarso. Di Stasi Sidareja didirikan TK, SD, SMP dan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas). Di Stasi Gandrungmangu di desa Cisumur didirikan TK dan SMP. Di Stasi Kawunganten didirikan TK, SMP dan SMEA. Di Jeruk Legi : SMP dan SMA, sedang di Kroya TK. Untuk di kota Cilacap sendiri didirikan TK, SD, SMP dengan nama Maria Immaculata, SMA Yos Sudarso dan Akademik Maritim Nasional (AMN) yang bernaung di bawah Yayasan yang dipimpin oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C.
Organisasi-organisasi Sosial
Tahun 1974 adalah awal keikutsertaan Paroki Santo Stephanus Cilacap dalam membangun daerah-daerah miskin di daerah terisolir dan transportasinya sulit bersama-sama dengan pemerintah. Slogan yang digunakan adalah Promotio Yustitiae (Menegakkan Keadilan).
Benih firman dan iman memang mempunyai bukti nyata dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam bidang sosial ekonomi. Menegakkan keadilan dapat mencakup seluruh aspek kehidupan. Gereja tidak hanya melayani kaum beriman saja, tetapi juga semua dan siapa saja tanpa membedakan agama dan keyakinannya, semua orang berhak memperoleh perlakuan secara adil demi tegaknya keadilan itu sendiri.
Dengan makin luasnya usaha-usaha bantuan gereja kepada masyarakat maka pada tahun 1976 dibentuklah Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) dengan susunan pengurus:
Ketua : Drs. Budidharmakusuma
Ketua I : Ir. J. Sarwadi
Ketua Pelaksana : Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I.
Sekretaris : Y. Saptadi
Bendahara : Ny. Siem Siang Thien
Anggota : Ign. Widi Suwarno
Dengan dibentuknya YSBS hubungan formal dengan pemerintahan dan donatur dari dalam dan luar negeri dapat berjalan lebih lancar. Untuk meningkatkan dan memperlancar pelayanannya, YSBS memperbanyak jumlah sarana yang diperlukan seperti sarana transportasi, gudang, kantor dan sebagainya. Bekas bangunan gereja lama digunakan untuk kantor, dan di belakang gereja dibangun gudang. Banyak tenaga kerja yang diserap oleh YSBS baik dari kalangan orang Katolik maupun bukan Katolik.
Usaha-usaha yang ditangani YSBS makin berkembang, misal pembuatan jalan-jalan untuk membuka daerah terpencil, pembangunan jembatan, sarana air bersih, tambak, tanggul penahan banjir, rumah-rumah untuk membantu orang-orang miskin dan lain-lainnya yang dikerjakan dengan padat karya, dapat berjalan lancar dan hasilnya dapat dirasakan secara langsung.
Di bidang kesehatan juga terjadi perkembangan yang cukup berarti. Poliklinik Santo Yusup yang berdiri sejak tanggal 8 September 1966, pada tahun 1972 dipindah ke ruang tamu susteran dan dikelola oleh Suster Godeliva. Pada tahun 1974 Poliklinik Santo Yusup membuka pos baru di desa Ujunggagak, Kampung Laut.
Klinik bersalin Santa Maria yang berdiri pada tanggal 25 Maret 1969 dan dipimpin oleh Suster Theresia, pada tahun 1976 dipindah ke bangunan baru di sebelah kiri belakang susteran. Bangunan yang cukup bagus itu dikerjakan oleh seorang pejabat Pemda, warga Katolik, Drs. R. Soejoto yang sekarang berdomisili di Yogyakarta. Sebagai pengawas teknis medis, Poliklinik St. Yusuf dan Klinik Bersalin Santa Maria adalah dr. Nugroho yang sekarang berkarya di Rumah Sakit Santo Carolus, Jakarta.
Untuk pelayanan kesehatan sejak tahun 1976 dirintis usaha Keluarga Berencana Alamiah (KBA) yang diprakarsai oleh Pater Petrus, O.M.I. Dengan dibantu oleh tenaga-tenaga yang terdidik secara khusus, propaganda pelayanan KBA yang direstui Vatikan disebarluaskan ke wilayah Cilacap, terutama stasi-stasi termasuk warga bukan Katolik.
Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat YSBS membentuk kelompok-kelompok usaha bersama yang biasa disebut UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga). Bimbingan teknis tentang koperasi diberikan kepada mereka untuk melaksanakan usaha koperasi. Bagi yang memerlukan modal diberi pinjaman oleh YSBS dan dikembalikan secara mengangsur.
Sejak tahun 1980 pengiriman pasangan suami-isteri untuk mengikuti Acara Akhir Pekan (Week End) ke Girisonta-Semarang; Sangkal Putung-Klaten dan Hening Griya-Baturaden selalu meningkat, rata-rata setiap tahunnya tidak kurang dari 50 pasang. Sekembalinya dari mengikuti Week End ME, pada umumnya mereka makin bersemangat untuk menjadi rasul-rasul awam dalam kegiatan kegiatan. Selain lewat Gerakan ME, pembinaan umat di Paroki Santo Stephanus, Cilacap berkembang lewat gerakan-gerakan seperti :
1) Gerakan Choice
Gerakan ini dimulai sejak tahun 1984, untuk membina muda-mudi yang belum menikah/single adulty. Rata-rata setiap tahun diadakan sebanyak empat kali Week End dengan mengambil tempat di SMP/SMA Yos Sudarso Jeruk Legi. Tim pembimbingnya adalah Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. dibina oleh para pesutri, tim dan muda-mudi tim yang telah dipersiapkan. Banyak Pasutri dan muda-mudi Katolik aktif melibatkan diri dalam pelayanan Gerakan Choice ini. Peserta Choice tidak hanya khusus dari Paroki Cilacap saja, tetapi juga mereka yang datang dari berbagai paroki yang berasal di wilayah Keuskupan Purwokerto, bahkan ada juga peserta yang berasal dari Jakarta, Semarang dan Yogyakarta, serta beberapa tempat lainnya. Setiap angkatan peserta Week End Choice di Cilacap berkisar antara 100-200 orang. Ini berbeda dari penyelenggaraan Week End Choice di tempat lain yang pesertanya dibatasi maksimal 45 orang.
2) Persekutuan Doa Kharismatik
Atas dorongan Pastor Paroki dan diprakarsai oleh A.F. Bambang Riyanto dan M. Hardiyanto, pada pertengahan tahn 1984 di Paroki Santo Stephanus Cilacap diadakan retret awal Kharismatik, dibimbing oleh Romo Noto Budyo, Pr. dan anggota tim lainnya dari Semarang. Bersamaan dengan retret awal ini Dewan Paroki mengirimkan tujuh orang tokoh umat lainnya untuk mengikuti retret awal di Ngadiroso, Malang. Sejak saat itu Persekutuan Doa Kharismatik mulai setiap hari Selasa sore di gereja, bagi para umat yang mengikuti retret awal di Malang, Semarang, Klaten, Cilacap dan mengadakan kegiatan pelayanan lainnya.
Selain kegiatan-kegiatan yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa kegiatan pembinaan umat dan kerasulan lain, seperti: Week End Antiokia, pembinaan untuk remaja usia SLTA; Week End Roses, pembinaan bagi remaja usia SLTP; Sehabat Iman, usaha pendampingan oleh muda-mudi bagi anak-anak calon penrima komuni pertama; Perkumpulan Santa Monica, wadah kegiatan bagi para janda Katolik yang sudah dimulai sejak tahun 1982 dan diresmikan pada tahun 1985; Kegiatan Legio Maria kendati mengalami pasang surut tetapi tetap berjalan terus; Organisasi Asosiasi Maria Immaculata (AMMI) mulai dikembangkan pada tahun 1985. Gerakan ini mengadakan kegiatan doa dan mencari dana untuk mendukung usaha-usaha Misionaris O.M.I.
Sementara itu YSBS yang direktur pelaksanaannya adalah Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. terus meningkatkan pelayanannya. Pater yang telah berpengalaman menangani karya-karya misioner lewat usaha peternakan, pertanian, UP2K, Padat Karya dan Perbaikan Gizi, mengembangkan usahanya di bidang pendidikan dan kesehatan.