[Berikut ini adalah artikel tentang Liturgi, yang ditulis
berdasarkan atas korespondensi/ diskusi dengan Rm. Boli Ujan SVD,
seorang pakar Liturgi di tanah air, dan salah satu pembimbing situs
katolisitas.org. Apa yang tertulis di sini telah disetujui oleh beliau].
Arti
liturgi
Liturgi
(leitourgia) pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah
perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya
keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di
dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya.[1]
Dalam kitab Perjanjian Baru, yaitu Surat kepada Jemaat di Ibrani, kata leitourgia
dan leitourgein disebut 3 kali (lih. Ibr 8:6; 9:21; 10:11) yang mengacu
kepada pelayanan imamat Kristus.
Maka,
liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung, di mana
Kristus menjadi Pengantara satu-satunya antara manusia kepada Allah Bapa,
dengan mengorbankan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya (lih. Ibr 9:12; 1 Tim
2:5). Korban Kristus yang satu-satunya inilah yang dihadirkan kembali oleh
kuasa Roh Kudus, dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, liturgi merupakan
penyembahan Kristus kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, dan dalam melakukan
penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja. Karena itu, liturgi
merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja
yang adalah Tubuh Kristus,[2] sehingga tidak ada kegiatan Gereja yang lebih
tinggi nilainya daripada liturgi karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan
yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan
Tubuh-Nya sendiri.[3]
Jadi
definisi liturgi, menurut Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi
Suci, Mediator Dei, menjabarkankan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi
adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja
kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman
kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi
adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara
keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.”[4]
atau
menurut Rm. Emanuel Martasudjita, Pr, “Liturgi adalah perayaan misteri karya
keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang
Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.”[5]
Partisipasi
aktif dan sadar
Karena
liturgi merupakan perayaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus dalam
kesatuan dengan Gereja-Nya, maka kita yang adalah anggota- anggota-Nya harus
turut mengambil bagian secara aktif di dalam liturgi. Mengapa? Karena liturgi
dimaksudkan sebagai karya Kristus dengan melibatkan kita anggota-
anggota-Nya, yaitu karya keselamatan Allah yang diperoleh melalui Misteri
Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga. Kita
disatukan dalam Misteri Paska Kristus ini, dengan membawa persembahan hidup
kita ke hadapan Allah, dan dengan inilah kita menjalankan martabat Pembaptisan
kita sebagai umat pilihan Allah.
Redemptionis
Sacramentum (RS) 36 Perayaan
Misa, sebagai karya Kristus serta Gereja, merupakan pusat seluruh hidup
Kristiani, baik untuk Gereja universal maupun untuk Gereja partikular, dan
juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang terlibat di dalamnya “pada cara-cara
yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman jenjang, pelayanan dan
partisipasi nyata.” Dengan cara ini umat Kristiani, “bangsa terpilih,
imamat rajawi, bangsa yang kudus, milik Allah sendiri”, menunjukkan
jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih. “Adapun imamat umum
kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda
hakekatnya dan bukan hanya tingkatannya, saling terarahkan. Sebab keduanya
dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.”
RS
37 Maka itu partisipasi kaum beriman awam dalam Ekaristi dan
dalam perayaan-perayaan gerejawi lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran
melulu, apalagi suatu kehadiran pasif, sebaliknya harus sungguh dipandang
sebagai suatu ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.
Partisipasi
secara aktif dan sadar ini terlihat dari keikutsertaan umat dalam
aklamasi-aklamasi yang diserukan oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu
mazmur dan kidung, gerak-gerik penghormatan, menjaga keheningan yang suci pada
saat-saat tertentu, dan adanya rubrik-rubrik untuk peranan umat. Di samping itu
peluang partisipasi umat dapat diwujudkan dalam pemilihan lagu-lagu, doa-doa,
pembacaan teks Kitab Suci, dan dekorasi gereja. Keikutsertaan umat ini
tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan penghayatan akan sabda Allah dan
misteri Paska Kristus yang sedang dirayakan (lih. RS 39). Namun demikian, di
atas semua itu, partisipasi aktif dan sadar ini menyangkut sikap batin, yang
semakin menghayati dan mengagumi makna perayaan Ekaristi:
RS
40 Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi
aktif semua orang beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus
melakukan kegiatan konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum,
seakan-akan setiap orang wajib melakukan satu tugas khusus dalam perayaan
Ekaristi. Sebaliknya, melalui instruksi katekis harus diusahakan dengan tekun
untuk memperbaiki pendapat-pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu,
yang selama beberapa tahun terakhir ini sering terjadi. Katekese yang benar
akan menanam kembali dalam hati seluruh orang Kristiani kekaguman akan
mulianya serta agungnya misteri iman, yakni Ekaristi…. seluruh hidup
Kristiani yang mendapat kekuatan daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya….
Tentang
sikap batin ini, Redemptionis Sacramentum mengajarkan:
“Maka,
haruslah menjadi jelas buat semua, bahwa Tuhan tidak dapat dihormati dengan
layak kecuali pikiran dan hati diarahkan kepada-Nya…. (RS 26) Oleh karena itu,
….. semua umat harus sadar bahwa untuk mengambil bagian di dalam kurban
Ekaristi adalah tugas dan martabat mereka yang utama. Dan maka bahwa bukan
dengan cara yang pasif dan asal-asalan/malas, melantur dan melamun, tetapi
dengan cara penuh perhatian dan konsentrasi, mereka dapat dipersatukan dengan
se-erat mungkin dengan Sang Imam Agung, sesuai dengan perkataan Rasul Paulus,
“Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus
Yesus” (Flp 2:5) Dan bersama dengan Dia dan melalui Dia hendaklah mereka membuat
persembahan, dan di dalam kesatuan dengan Dia, biarlah mereka mempersembahkan
diri mereka sendiri (RS 80). “….menaruh pikiran yang terdapat juga dalam
Kristus Yesus” mensyaratkan bahwa semua orang Kristen harus mempunyai, sedapat
mungkin secara manusiawi, sikap batin yang sama dengan yang telah terdapat
pada Sang Penebus ilahi ketika Ia mempersembahkan Diri-Nya sebagai korban.
Artinya mereka harus mempunyai sikap kerendahan hati, memberikan penyembahan,
hormat, pujian dan syukur kepada Tuhan yang Maha tinggi dan maha besar.
Selanjutnya, artinya mereka harus mengambil sikap seperti halnya sebagai
kurban, [yaitu] bahwa mereka menyangkal diri mereka sendiri sebagaimana
diperintahkan di dalam Injil, bahwa mereka dengan sukarela dan dengan kehendak
sendiri melakukan pertobatan dan tiap-tiap orang membenci dosa-dosanya dan
membayar denda dosanya. Dengan kata lain mereka harus mengalami kematian mistik
dengan Kristus di kayu salib, sehingga kita dapat menerapkan kepada diri kita
sendiri perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” (Gal
2:19) (RS, 81)
“….
Jelaslah penting bahwa ritus kurban persembahan yang diucapkan secara kodrati,
menandai penyembahan yang ada di dalam hati. Kini kurban Hukum yang Baru
menandai bahwa penyembahan tertinggi di mana Sang Kepala yang mempersembahkan
diri-Nya, yaitu Kristus, dan di dalam kesatuan dengan Dia dan melalui Dia,
semua anggota Tubuh Mistik-Nya memberi kepada Tuhan penghormatan dan sembah
sujud yang layak bagi-Nya. (RS 93)…. Agar persembahan di mana umat beriman
mempersembahkan Kurban ilahi di dalam kurban ini kepada Bapa Surgawi memperoleh
hasil yang penuh, adalah penting bahwa orang-orang menambahkan…. persembahan
diri mereka sendiri sebagai kurban (RS 98). Maka semua bagian liturgi, akan
menghasilkan di dalam hati kita keserupaan dengan Sang Penebus ilahi melalui
misteri salib, menurut perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan
Kristus. Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang
hidup di dalam aku.” (Gal 2:19-20) Jadi kita menjadi kurban…. bersama dengan
Kristus, untuk semakin memuliakan Bapa yang kekal.” (RS 102)
Penyesuaian
liturgi bertujuan untuk meningkatkan peran serta para peraya secara aktif
Liturgi,
sebagai karya Gereja (karya Kristus dan anggota-anggota-Nya) mengalami
perkembangan dan penyesuaian; dan hal ini kita lihat dalam sejarah Gereja.
Sebab bagaimanapun, liturgi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja,
dan karena itu segala bentuk penyesuaiannya harus semakin mendorong partisipasi
umat di dalamnya dan mengarahkan umat kepada peningkatan penghayatan akan
maknanya yang luhur.
Romo
Boli Ujan SVD, seorang pakar liturgi di tanah air dan salah seorang narasumber
di situs ini, pernah menulis di artikel tentang Penyesuaian dan Inkulturasi
liturgi, silakan klik, demikian:
“Arah
penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan
tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan
jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih
mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. …. Liturgi adalah
perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota
persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah. Kehadiran Allah dalam
liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain.
Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda
dengan suasana profan…..
[Namun]
Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu
upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu
menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan
pertemuan antara Allah dan manusia, dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi
sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari
pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua
peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah
serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi
terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai
unsur pembentuk liturgi. Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat
perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan
dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat
liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian
liturgi menjadi pincang.”
Beberapa
Pelanggaran Liturgi dalam Perayaan Ekaristi
Setelah
kita mengetahui pengertian tentang liturgi, mari kita lihat bersama adanya
pelanggaran-pelanggaran yang umum terjadi di dalam liturgi Perayaan Ekaristi,
yang biasanya didasari oleh kekurangpahaman ataupun ketidakseimbangan dialog
antara pihak Allah dan pihak peraya. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk
terlalu mengikuti kehendak para peraya, sampai mengesampingkan apa yang
sebenarnya menjadi hal prinsip yang menjadi kehendak Allah, atau yang
selayaknya diberikan kepada Allah sebagai ungkapan penghargaan kita akan
Misteri Paska yang kita rayakan dalam liturgi. Kekurangpahaman ataupun
ketimpangan penyesuaian dalam liturgi ini melahirkan banyak
pelanggaran-pelanggaran, dan berikut ini adalah beberapa contohnya:
Pelanggaran
sehubungan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus:
1.
Tidak berpuasa sedikitnya sejam sebelum menerima Komuni
Seharusnya:
KHK
Kan. 919
§ 1
Yang akan menerima Ekaristi Mahakudus hendaknya berpantang
dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya
satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
Maksud puasa sebelum Komuni tentu adalah untuk semakin menyadarkan
kita bahwa yang akan kita santap dalam Ekaristi adalah bukan makanan biasa,
namun adalah Tuhan sendiri: yaitu Kristus Sang Roti Hidup, yang dapat membawa
kita kepada kehidupan kekal (lih. Yoh 6:56-57)
2.
Menggunakan pakaian yang tidak/ kurang sopan ke gereja, datang terlambat,
ngobrol, berBBM/ SMS di gereja, makan dan minum di dalam gereja, terutama
anak- anak, anggota koor yang minum sebelum/ sesudah bertugas, umat saat
menunggu dimulainya perayaan Ekaristi.
Seharusnya:
KGK
1387 ….Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan,
kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi
tamu kita. (CCC 1387 …. Bodily demeanor (gestures, clothing) ought to convey
the respect, solemnity, and joy of this moment when Christ becomes our guest)
Sudah
sewajarnya dan sepantasnya jika kita memberikan penghormatan kepada Allah yang
kita jumpai di dalam liturgi. Jika sikap seenaknya tidak kita lakukan jika kita
sedang bertemu bapak Presiden, maka selayaknya kita tidak bersikap demikian
kepada Tuhan yang kita jumpai di gereja.
3.
Tidak memeriksa batin, namun tetap menyambut Komuni meskipun dalam keadaan
berdosa berat
Seharusnya:
RS
81 Kebiasaan sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang
harus memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar
telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau tidak
terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat dan
tidak tersedia kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus ingat
bahwa ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan sendirinya
tercantum maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin (lih. KGK 1385, KHK Kan
916, Ecclesia de Eucharistia, 36)
Dosa berat memisahkan kita dari Kristus, dan karena itu untuk
bersatu dengan-Nya kita harus meninggalkan dosa tersebut, dan mengakukannya di
dalam sakramen Tobat. Contoh dosa berat ini misalnya jika hidup dalam
perkawinan yang tidak sah menurut hukum Gereja Katolik, atau hidup dalam
perzinahan/ percabulan, atau dalam keadaan kecanduan obat-obatan, dst.
Kekecualian akan “adanya alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan mengaku
dosa”, contohnya adalah bahaya maut, atau jika tinggal di daerah terpencil di
mana Komuni dibagikan oleh seorang asisten imam dalam waktu sekian minggu
sekali.
Pelanggaran
dalam bagian- bagian Misa Kudus:
1.
Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lainnya
Seharusnya:
Redemptoris
Sacramentum (RS) 62 “Tidak
juga diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci
yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi “mengganti
bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain
yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus
mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1)
diri imamnya; 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur; 3) dalam sabda Allah
(bacaan-bacaan Kitab Suci); 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088). Nah
sabda Allah yang dimaksud di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini
termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
2.
Ordinarium digantikan dengan lagu- lagu lain dengan teks yang berbeda, yang
tidak sama dengan yang sudah disahkan KWI.
RS
59 Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan
bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka
bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan
berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli
liturgi dibengkokkan.
Seharusnya:
PUMR
393 Perlu diperhatikan pentingnya nyanyian dalam Misa sebagai
bagian utuh dari liturgi. Konferensi Uskuplah yang berwenang mengesahkan
lagu-lagu yang serasi, khususnya untuk teks-teks Ordinarium, jawaban dan
aklamasi umat, dan untuk ritus-ritus khusus yang diselenggarakan dalam kurun
tahun liturgi….
Rumusan
Ordinarium merupakan pernyataan iman Gereja yang sifatnya baku, sehingga tidak
selayaknya diubah-ubah atas kehendak pribadi.
3.
Kurangnya saat hening.
Seharusnya:
PUMR
45 Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening.
Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda
menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat
mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati.
Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah
komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan
dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga
seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang
khidmat dan tepat.
PUMR
56 Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa
sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk
ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari.
Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung
pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi
umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk
menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan
sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
4.
Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di dalam
homili (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di misa
requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).
Seharusnya:
RS
64 Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus,
dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh
Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam
konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi
tidak pernah kepada seorang awam….”
RS
66 Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam
Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk
orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh
ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau
perkumpulan apa pun.
RS
74 Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di
dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh
seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada
alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang
demikian disampaikan setelah Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh
menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh
bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada
acara dimaksud.
RS
67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan
misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta
patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta
teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang
bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun
suatu perayaan gerejawi lain…..
5.
Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sampai imam
turun dari panti imam.
Seharusnya:
RS
71 Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus
Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai
dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai
rekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai,
persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi
antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa,
khususnya dalam rumus pertama.
RS
72 “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya
kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh
memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti
imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”
Salam
Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara
eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk
menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara
menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap
bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan dalam dokumen
Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat
itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan,
maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan apakah Salam Damai ini akan
dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.
Pelanggaran
dalam hal penerimaan Komuni:
1.
Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.
Seharusnya:
RS
94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi
meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
RS
104 Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk
mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima
hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya…..
PUMR
160 Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus
atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah
sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…
Pada
hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “Terimalah dan
makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan
minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu
yang dapat diambil sendiri.
2.
Pengantin saling menerimakan Komuni.
Seharusnya,
tidak boleh:
RS
94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi
meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus
ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni
dalam misa perkawinan.
Ekaristi
kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun
petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan
untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.
3.
Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan
sebelum menerimanya.
Seharusnya:
PUMR
160 ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan
agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat
yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah
baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda
penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya.
4.
Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS
93 Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan,
demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.
5.
Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” sebelum
menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR
287 Kalau komuni dua rupa dilaksanakan dengan mencelupkan
hosti ke dalam anggur, tiap penyambut, sambil memegang patena di bawah dagu,
menghadap imam yang memegang piala. Di samping imam berdiri pelayan yang
memegang bejana kudus berisi hosti. Imam mengambil hosti, mencelupkan sebagian
ke dalam piala, memperlihatkannya kepada penyambut sambil berkata: Tubuh dan
Darah Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu menerima hosti dengan
mulut, dan kemudian kembali ke tempat duduk.
6.
Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon)
membagi Komuni, Pastor malah duduk.
Seharusnya:
RS
154 Seperti sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku
pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah Imam yang
ditahbiskan secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan
Ekaristi: hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan
pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup,
Imam dan Diakon….
RS
151 Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan
pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan
yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan,
karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat…..
RS
152 Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan
dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa…..
RS
157 ….Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang,
walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan
tugas ini kepada orang-orang awam.
Pelanggaran
dalam hal musik liturgis:
1.
Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra
le Sollecitudini 1 Musik
liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum
liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik
liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi,
dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks liturgis dengan
melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah untuk
menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih
terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan kepada penerimaan buah-buah
rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-misteri yang paling kudus
tersebut.
Tra
le Sollecitudini 2 Karena
itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak
memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu
sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.
Tra
le Sollecitudini 5 Gereja
telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam hal seni, dan menerima bagi
pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang
ada sepanjang sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah
liturgi. Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik
tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman,
sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik
modern telah timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian
yang khusus harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan
gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan,
menjadi bebas dari sisa-sisa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun
bahkan di dalam bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu
profan.
Harus
dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan
perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).
2.
Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan
dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS
78 … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya
dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain,
termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang
otentik.
Direktorium
tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17 …. Di kalangan sejumlah
suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara
ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin
dan merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan
tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…
Paus
Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius
Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi
“menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin
ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut
pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali
tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi
manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara
total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi
sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena
pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan
tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”
Kardinal
Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu (yaitu di
Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara
penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk
menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam
budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi,
namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana
tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa
dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak
relevan. Untuk mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan
klik.
3.
Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.
Seharusnya:
Tra
le Sollecitudini 19 Penggunaan alat
musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat
musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum,
cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra
le Sollecitudini 20 Dilarang
keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam
kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan
alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana,
sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang
ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan
organ.
Maka
diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika
alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak
serius.
Beberapa
Pertanyaan tentang Liturgi:
1.
Mengenai musik liturgi, apa seharusnya alat musik yang digunakan? Bolehkah
menggunakan organ dengan tambahan suara alat musik lain?
Bila mengacu kepada Sacrosanctum Concilium 120, alat musik yang
sebaiknya digunakan adalah organ pipa. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan penggunaan alat musik lain, sepanjang disetujui oleh pihak otoritas
Gereja, dan asalkan sesuai untuk digunakan dalam musik sakral.
SC
120 “Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung
tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan
upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada
Allah dan ke surga. Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan
pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37
dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh
memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai
pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan
penghayatan Umat beriman.”
Paus
Pius XII mengeluarkan dokumen tentang Musik Liturgis yang berjudul Musicae
Sacrae (MS), dan secara khusus menyebutkan tentang hal ini demikian:
MS
59 “Selain organ, alat-alat musik lain dapat digunakan
untuk memberikan bantuan besar dalam mencapai maksud yang tinggi dari musik
liturgi, asalkan mereka tidak memainkan apapun yang profan, yang berisik
atau hingar bingar dan tidak bertentangan dengan pelayanan sakral atau martabat
tempat kudus. Di antara alat-alat musik ini, biola dan alat-alat musik lainnya
yang menggunakan cekungan (bow) adalah baik sebab ketika dimainkan sendiri atau
dengan alat musik senar lainnya, alat- alat musik ini mengekspresikan perasaan
suka cita dan dukacita dalam jiwa dengan kekuatan yang tak dapat dilukiskan…”
Sedangkan
tentang hal alat musik ini, Rm. Bosco da Cunha dari Komisi Liturgi KWI
mengatakan:
“KWI
masih dalam proses berusaha mengaktualisasi dokumen Sacrosanctum Concilium
Konsili Vatikan II; KWI tidak gegabah. Usaha penelitian dan percobaan alat
musik tradisional aneka suku bangsa sudah mulai dengan “Pusat Musik Liturgi”
Yogyakarta dipimpin Romo Karl Edmund Prier SJ sejak 1980an namun masih
berlangsung”.
Beliau
menyarankan bagi yang berminat mengetahui lebih lanjut untuk mengunjungi PML
Yogyakarta di Jl. Abubakar Ali Kotabaru Yogyakarta untuk mengetahui studio dan
showroom karya-karya musik liturgi inkulturatif.
2.
Bila dikaitkan dengan adaptasi-adaptasi yang muncul di Sacrosanctum
Concilium, bagaimana batasan-batasannya agar tidak mengontradiksi dokumen-dokumen
Gereja lainnya (dalam hal penentuan musik liturgi)?
Musicae
Sacrae 60 “Sebab jika
musik itu tidak profan atau bertentangan dengan kesakralan tempat dan fungsi dan
tidak berasal dari keinginan untuk mencapai efek-efek yang luar biasa dan tidak
lazim, maka gereja-gereja kita harus menerimanya, sebab mereka dapat
menyumbangkan dalam cara yang tidak kecil terhadap keagungan upacara-upacara
sakral, dapat mengangkat pikiran kepada hal-hal yang lebih tinggi dan dapat
menumbuhkan devosi yang sejati dari jiwa.” (lih. MD 193)
Maka,
nampaknya yang perlu dijadikan patokan adalah prinsipnya, yaitu:
1)
Tidak memasukkan unsur profanitas dalam musik liturgis;
2) Musik itu tidak menghasilkan efek suara yang luar biasa dan tak lazim
3) Musik itu dapat membantu mengangkat pikiran kepada hal- hal yang lebih
tinggi:
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration),
syukur (thanksgiving), pertobatan (contrition),
permohonan (supplication).
4) Menggunakan musik-musik yang sudah mendapat persetujuan dari otoritas Gereja
(ada Nihil Obstat dan Imprimatur);
5) Mengacu kepada ketentuan yang sudah pernah secara eksplisit ditentukan oleh
otoritas Gereja.
3.
Bolehkah choir (koor) terdiri dari perempuan?
Walaupun di dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Pius X, Tra le Sollecitudini
13,14 (1903) dikatakan bahwa untuk koor anggotanya harus laki-laki- mungkin
karena hal ini merupakan tradisi Gereja sejak zaman dulu; namun ketentuan ini
kemudian diperbaharui di dokumen berikutnya tentang Musik Liturgi yang dikeluarkan
oleh Paus Pius XII, Musicae Sacrae, demikian:
MS
74 Ketika tidak mungkin diperoleh sekolah paduan suara
(Scholae Cantorum) atau di mana tidak ada cukup anak laki-laki untuk
koor, diperbolehkan bahwa “kelompok pria dan wanita atau anak-anak
perempuan, yang ditempatkan di luar tempat kudus (sanctuary) yang terpisah
untuk penggunaan kelompok ini secara khusus, dapat menyanyikan teks-teks
liturgi pada saat Misa Agung, sepanjang para pria dipisahkan dari para wanita
dan anak- anak perempuan dan segala yang tidak pantas dihindari….
4.
Perlukah kita ikut membungkuk setiap saat seorang imam membungkuk dalam
Perayaan Ekaristi?
Tidak perlu. Yang ditulis dalam Tata Perayaan Ekaristi adalah, umat membungkuk
pada waktu Ritus Pembuka ketika Imam dan Pelayan lain menghormati Altar, dan
pada sesudah kata-kata Konsekrasi atas roti dan anggur, ketika Imam berlutut;
dan pada saat Credo (syahadat) yaitu pada perkataan, “[Yesus Kristus] yang
dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”.
5.
Bolehkah imam menambah hanya beberapa kata atau bagian dalam sebuah Perayaan
Ekaristi?
Jika ada titik-titik (….) boleh disebutkan nama orang yang didoakan (doa bagi
orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal) seperti dalam Doa
Syukur Agung pertama.
RS
51 ….”Tidak ada toleransi terhadap imam-imam yang merasa
berhak menyusun Doa Syukur Agungnya sendiri” atau mengubahkan teks-teks yang
sudah disahkan oleh Gereja atau memperkenalkan teks-teks lain, yang telah
dikarang oleh pribadi-pribadi tertentu.
6.
Bagaimana seharusnya kostum pelayan altar? Apakah betul pelayan altar putri
seharusnya mengenakan alba dan mengapa?
Apakah wanita ideal untuk menjadi pelayan altar walaupun diperbolehkan?
PUMR
339 Akolit, lektor dan pelayan awam lain boleh mengenakan
alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah
gerejawi yang bersangkutan.
RS 47 Sangat dianjurkan untuk mempertahankan kebiasaan yang
luhur yakni pelayanan altar oleh anak laki-laki atau pemuda, biasanya disebut
pelayan Misa, suatu tugas yang dilaksanakannya seturut cara akolit. Hendaknya
mereka diberi katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka.
Perlu diingat bahwa berabad-abad lamanya dari amat banyak anak seperti ini
telah muncul banyak pelayan tertahbis….. Anak perempuan atau ibu-ibu boleh
diterima untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diocesan dan
dengan memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.
7.
Apakah inkulturasi liturgi memperbolehkan penggunaan berbagai macam alat musik
di luar organ pipa?
Hal
ini dimungkinkan. Pimpinan Gereja yang mengambil keputusan untuk menggunakan
alat- alat musik lain, hendaknya dalam proses adaptasi- inkulturasi membuat
penelitian untuk mengetahui apakah alat musik tersebut digunakan dalam ibadat
religius menurut budaya setempat dan sungguh membantu umat beriman mengangkat
hati kepada Tuhan untuk memuji dan menyembahnya? Bisa saja alat musik yang sama
digunakan baik dalam upacara keagamaan dan dalam perayaan profan, tetapi harus
diperhatikan perbedaan dalam cara menggunakannya. Ada nada dan melodi yang khas
dalam upacara keagamaan dan dalam acara profan. Seperti pada alat tifa dalam
budaya orang Papua Selatan, ada bunyi dan cara memukul yang khas dalam ibadat
religius, yang berbeda dengan bunyi dan cara memukul tifa tersebut jika
digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang profan saja.
PUMR
393 …. Demikian pula, Konferensi Uskuplah yang
berwenang memutuskan gaya musik, melodi, dan alat musik yang boleh digunakan
dalam ibadat ilahi; semua itu sejauh serasi, atau dapat diserasikan dengan
penggunaannya yang bersifat kudus.
Kesimpulan:
Mengapa perlu memperhatikan norma-norma Liturgi dan menghindari
penyelewengannya?
Adalah
penting kita ketahui bersama, bahwa “Norma-norma liturgi Ekaristi dimaksudkan
untuk mengungkapkan dan melindungi misteri Ekaristi dan juga menjelaskan bahwa
Gerejalah yang merayakan sakramen dan pengorbanan yang agung. Sebagaimana yang
ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II, “Norma-norma ini adalah ungkapan konkret
dari kodrat gerejawi otentik mengenai Ekaristi; inilah maknanya yang terdalam.
Liturgi tak pernah menjadi milik perorangan, baik dari selebran maupun
komunitas, tempat misteri-misteri dirayakan.”[6] Ini
berarti bahwa “… para imam yang merayakan Misa dengan setia seturut norma-norma
liturgi, dan komunitas-komunitas yang mengikuti norma-norma itu, dengan tenang
namun lantang memperagakan kasih mereka terhadap Gereja.[7]
Adanya
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam liturgi seringkali berhubungan
dengan salah persepsi tentang makna ‘kebebasan’; dan hal ini tidak menuju
kepada pembaharuan sejati yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II. Karena
penyimpangan ini dapat mengakibatkan merosotnya/ hubungan yang perlu antara
hukum doa dengan hukum iman, yaitu bahwa doa harus merupakan ungkapan
iman (lex orandi, lex credendi).
Akhirnya,
marilah kita berpartisipasi secara aktif dan sadar setiap kali kita mengikuti
perayaan liturgi, dan juga dengan memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-
ketentuannya, sebagai tanda bukti bahwa kita mengasihi Kristus dan Gereja-Nya.
CATATAN KAKI:
- lih. Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1069 [↩]
- lih. Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium
7 [↩]
- lih. KGK 1070, SC 7 [↩]
- Paus Pius XII, Mediator Dei 20 [↩]
- Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi,
Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),
p.22 [↩]
- Ecclesia de Eucharistia, 52 [↩]
- Ibid.,
lih. Redemptoris Sacramentum, Lampiran, 2 [↩]
(Sumber : www.katolisitas.org)
Romo RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. adalah Hakim Tribunal Keuskupan Denpasar dan Regio Gerejawi Nusra, Sekretaris Komisi Seminari KWI, BKBLII dan pengurus UNIO Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Gereja di Universitas Pontifikal Urbaniana, Roma 2001.