SIFAT-SIFAT GEREJA KATOLIK
Gereja adalah persekutuan
orang-orang yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah sendiri, oleh karena itu
disadari pula bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman
yang langsung menyusul era rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
- Gereja itu “satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain, dan juga dengan kepala jemaat yang kelihatan, yakni uskup; lagi pula mempersatukan para uskup satu sama lain dengan pusatnya di Roma.
- Gereja itu “kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwaiNya, Gereja bersatu dengan Tuhan, satu-satunya yang dari diriNya sendiri kudus.
- Gereja itu “katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua.
- Gereja itu “apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah” jika bersatu dengan pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta para Rasul (apostoloi), seperti Keuskupan Yerusalem (Yakobus), Antiokhia (Petrus), Roma (Petrus), Konstantinopel (Andreas).
Keempat sifat itu memang kait
mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya
dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya.
Gereja itu Ilahi sekaligus insane, berasal dari Yesus dan berkembang dalam
sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena
itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan.
A. Gereja Kristus yang Satu
1. Arti Gereja yang Satu
Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan
keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja Katolik sendiri
maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam
kekompakan organisasi atau kerukunan social. Yang utama bukan soal struktur
organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan,
dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari.
Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja.
Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman.
Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja.
Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman.
Singkat kata, Gereja yang satu itu
terungkap dalam:
- Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi kesatuan yang dinamis. Iman adala prinsip kesatuan batiniah Gereja.
- Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari Gereja.
- Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental: kebaktian dan sakramen-sakramen merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).
2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa
“pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja adalah kesatuan Allah yang
Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2). Tatapi, bagaimana
kesatuan Ilahi itu diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat
besar.
Kenyataannya, perpecahan dan pemisahan terjadi di dalam Gereja. Memang “Allah telah berkenan menghimpun orang-orng yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah dan membuat mereka menjadi satu Tubuh. Tetapi, bagaimana rencana Allah itu dilaksanakan oleh manusia Kristen? Perpecahan dan keretakan yang terjadi dalam Gereja tentu saja disebabkan oleh perbuatan manusia. Tata susunan sosial Gereja yang tampak melambangkan kesatuannya dengan Kristus (GS 44). Tetapi justru struktur sosial itu sekaligus membedakan (memisahkan) Gereja yang satu dengan yang lain. Umat Kristen kelihatan terpecah belah, justru karena struktur-struktur yang mau menyatakan kesatuan masing-masing kelompok itu. Meski demikian, hamper semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja yang kelihatan, yang sungguh bersifat universal dan diutus ke seluruh dunia (UR1). Di satu pihak, diimani bahwa Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi di pihak laindisadari bahwa perwujudan konkret harus berkembang dan disempurnakan terus-menerus. Oleh karena itu, kesatuan iman mendorong umat Kristen supaya mencari “persekutuan” (communion) dengan semua saudara dalam iman, walaupun bentuk organisasinya mungkin masih jauh dari kesatuan sempurna.
Kenyataannya, perpecahan dan pemisahan terjadi di dalam Gereja. Memang “Allah telah berkenan menghimpun orang-orng yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah dan membuat mereka menjadi satu Tubuh. Tetapi, bagaimana rencana Allah itu dilaksanakan oleh manusia Kristen? Perpecahan dan keretakan yang terjadi dalam Gereja tentu saja disebabkan oleh perbuatan manusia. Tata susunan sosial Gereja yang tampak melambangkan kesatuannya dengan Kristus (GS 44). Tetapi justru struktur sosial itu sekaligus membedakan (memisahkan) Gereja yang satu dengan yang lain. Umat Kristen kelihatan terpecah belah, justru karena struktur-struktur yang mau menyatakan kesatuan masing-masing kelompok itu. Meski demikian, hamper semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja yang kelihatan, yang sungguh bersifat universal dan diutus ke seluruh dunia (UR1). Di satu pihak, diimani bahwa Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi di pihak laindisadari bahwa perwujudan konkret harus berkembang dan disempurnakan terus-menerus. Oleh karena itu, kesatuan iman mendorong umat Kristen supaya mencari “persekutuan” (communion) dengan semua saudara dalam iman, walaupun bentuk organisasinya mungkin masih jauh dari kesatuan sempurna.
Kesatuan Gereja pertama-tama harus
diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang hidup bersama
dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan
masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam
menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh
melampaui batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang yang “berseru
kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Tim 2:22)
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap umat Kristen sendiri. Usaha yang dapat digalakkan untuk memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap umat Kristen sendiri. Usaha yang dapat digalakkan untuk memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:
- aktif dalam kehidupan Gereja,
- setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki, dsb.
Sedangkan untuk menggalakkan
persatuan “antar-Gereja” misalnya
- lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain, lebih melihatkan kesamaan daripada perbedaan,
- mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan bersama, dsb.
Kesatuan Gereja tidak identik dengan
uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili memungkinkan
keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman.
B. Gereja Kristus yang Kudus
1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja
menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk sekarang juga mau
bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya (bdk LG
8,39,41 dan 48).
Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa.
Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang secara definitif pada akhir jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa.
Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang secara definitif pada akhir jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan
ajaran iman bahwa para pendosa itupun anggota Gereja sehingga Gereja tak hanya
ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh warganya dan pemukanya memang para
pendosa yang masih berdosa dan akan berdosa. Itulah mengapa Gereja harus
senantiasa menguduskan diri dengan memperbarui terus menerus (UR 4:6)
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Sebab, Gereja dijamin Tuhan untuk tak sampai kehilangan rahmatNya kendati berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang akan menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan tidak tergantung pada anggota Gereja melainkan pada Roh Kudus yang menjadi sumber kekudusan Gereja. Itulah mengapa St. Paulus berkata “atau tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Sebab, Gereja dijamin Tuhan untuk tak sampai kehilangan rahmatNya kendati berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang akan menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan tidak tergantung pada anggota Gereja melainkan pada Roh Kudus yang menjadi sumber kekudusan Gereja. Itulah mengapa St. Paulus berkata “atau tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Gereja itu kudus karena sumber dari
mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena unsure-unsur
Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
- Sumber dari mana gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja menerima kekudusannya dari Kristus atas doa-doaNya (lih Yoh 17:11).
- Tujuan dan arah Gereja dalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia
- Jiwa Gereja adalah kudus, sebab jiwa gereja adalah Roh Kudus sendiri
- Unsur-unsur Ilahi yang otentik di dalam Gereja adalah kudus, seperti ajaran-ajaran dan sakramen-sakramen
- Anggotanya adalah kudus, karena ditandai oleh Kristus melalui pembabtisan dan diserhakan kepada Kristus serta dipersatukan dalam iman, harapan, dan cinta yang kudus. Semua itu tidak berarti bahwa anggotanya selalu kudus (suci), namun ada juga yang mencapai kekudusan heroik. Semua dipanggil untuk kekudusan.
2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja
Kekudusan Gereja dijelaskan dalam
Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita mengimani bahwa Gereja tidak
akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah, yang bersama dengan
Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi Gereja sebagai
MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja, membuatnya
(anggotanya yang tetap berdosa) kudus.
Kekudusan juga terungkap dengan
“aneka cara pada masing-masing orang”. Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat
yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian
dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan
Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf misteri Ilahi,
Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang
sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini
menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya
Dalam hal kekudusan yang pokok bukan
bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. Kudus diartikan sebagai “yang
dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus” itu menyangkut seluruh bidang
sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang
dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang
lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup
kehidupan Tuhan
Kekudusan tidak datang dari Gereja,
tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan Kristus dalam Roh Kudus.
Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan anggotaNya.
Jadi, kekudusan Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara
teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup hidup Allah. Anggota Gereja
adalah “orang kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah-tengah
dunia yang tidak mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr
2:9) dan karenanya kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh
anggotanya.
Usaha yang dapat diperjuangkan
menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:
- saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra-putri Allah
- memperkenalkan anggota-anggota Gereja yang sudah hidup secara heroic untuk mencapai kekudusan
- merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb
C. Gereja yang Katolik
1. Arti dan Makna Gereja yang
Katolik
Secara harafiah, kata “katolik”
menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”. Memang benar, Gereja
tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat yang tidak ada
Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum. Ignatius
dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di
mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada
Gereja “katolik”. Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang
dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga
selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke
seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja
seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh,
artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat
(paroki, stasi) bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja setempat,
bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal.
Dalam syahadat kata “katolik” masih
mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata “universal” pun mempunyai dua
arti, yang kuantitatif dan kualitatif:
Segi kuantitatif adalah faktor
geografis, yang mana memperoleh warganya dari semua bangsa dan hidup di tengah
segala bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya
pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah
pada dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi
keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh dunia.
Segi kualitatif, karena ajarannya dapat diwartakan kepada segenap bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka, menampung dan memajukan terhadap segenap kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa. Tidak hanya menampung dan menerima saja melainkan juga menjiwai seluruh dunia. Yang hadir di mana-mana serta mengangkat segala kekayaan umat manusia sesungguhnya bukan Gereja melainkan Roh yang berkarya dalam dan melalui Gereja. Dalam hal ini tidak ada sesuatu pun yang tidak diterima Gereja.
Segi kualitatif, karena ajarannya dapat diwartakan kepada segenap bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka, menampung dan memajukan terhadap segenap kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa. Tidak hanya menampung dan menerima saja melainkan juga menjiwai seluruh dunia. Yang hadir di mana-mana serta mengangkat segala kekayaan umat manusia sesungguhnya bukan Gereja melainkan Roh yang berkarya dalam dan melalui Gereja. Dalam hal ini tidak ada sesuatu pun yang tidak diterima Gereja.
Singkatnya, Gereja bersifat katolik
karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa dan
kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja
tampak dalam:
- rahmat dan keselamatan yang ditawarkan,
- iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun)
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan
terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain
Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat manusia.
Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani
diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan
masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka
untuk apa saja yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik.
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri kedalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan identitas yang bersifat dinamis, yang selalu di mana-mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri (lih. Mrk 16:16; Luk 10:16)
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri kedalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan identitas yang bersifat dinamis, yang selalu di mana-mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri (lih. Mrk 16:16; Luk 10:16)
D. Gereja yang Apostolik
1. Arti Gereja yang apostolik
Apostolik berasal dari kata Yunani,
“ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang berate utusan, suruhan, wakil resmi
yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian dipaki untuk menyebut
para rasul. Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para
rasul, dan tetao berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa
Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah
ada sejak jaman Gereja perdana.
Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan, memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya.
Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan, memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya.
Gereja bersifat apostolik berarti
Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para rasul.
Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang, melainkan
segala kelangsungan iman dan pengakuan.
Sifat apostolik juga tidak berarti
bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak dahulu diajarkan dan
dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup,
tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul
sebagai norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat
apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam
hal ini, seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja,
tetapi juga dalam pelayanannya.
Singkatnya, Gereja disebut apostolic
karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus Kristus. Hubungan itu
tampak dalam:
- Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul. Fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul.
- Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
- Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.
2. Mewujudkan keapostolikan Gereja
Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja
sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para rasul. Gereja sekrang hanya
terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan imannya. Karena
pewartaan para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci,
maka sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada
Injil. Kesatuan dengan Gereja purba adalah kesatuan hidup, yang pusatnya adaah
Kitab Suci dan Tradisi. Secara konkret, tradisi selalu merupakan konfrontasi
terus-menerus antara situasi gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci.
Gereja harus senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret berpangkal
pada sikap iman Gereja para rasul.
Jadi usaha untuk keapostolikan
Gereja, antara lain:
- Setia dan mempelajari Injil, sebab Injil merupakan iman Gereja para rasul.
- Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret dengan iman Gereja para rasul
- Setia dan loyal kepada hiararki sebagai pengganti para rasul
Sumber:
1. Iman Katolik
2. Seri Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman
1. Iman Katolik
2. Seri Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman
Sumber tulisan
http://www.widiagung.co.cc/2009/03/sifat-sifat-gereja.html