“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini, ingin kukenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu….”
Lagu
Iwan Fals ini mungkin akrab di telinga kita. Mungkin karena begitu tepat
liriknya mewakili perasaan kita, maka lagu ini begitu populer dan mudah diingat
di luar kepala. Ya, memang, kita ingin selalu dekat dengan orang yang kita
kasihi.
Inilah
yang juga menjadi kehendak Tuhan Yesus bagi kita umat-Nya yang dikasihi-Nya. Yesus
ingin selalu hadir di tengah kita, dekat dengan kita, bahkan menjadi satu
dengan kita. Kristus menghendaki agar kita selalu mengenang-Nya, dengan
mengingat kasih-Nya yang terbesar yang diberikan kepada kita, saat Ia
memberikan Tubuh dan Darah-Nya untuk menebus dosa-dosa kita. Pengorbanan-Nya
yang tak ternilai harganya ini menjadi tanda cinta-Nya yang tak terbatas kepada
Gereja-Nya, yaitu kita semua, anggota- anggota Tubuh-Nya. Oleh kuasa Roh
Kudus-Nya, Kristus menghadirkan kembali kurban ini di dalam Ekaristi, untuk
maksud yang mulia ini: supaya kita dapat dipersatukan dengan Dia dan mengambil
bagian di dalam kehidupan-Nya sendiri; dan dengan demikian sedikit demi
sedikit, kita diubah untuk menjadi lebih serupa dengan-Nya.
Sakramen Ekaristi adalah sakramen cinta kasih
Maka,
Ekaristi yang mempersatukan kita dengan Kristus, pertama- tama adalah sakramen
cinta kasih Allah. Sebab Ekaristi menyatakan ‘kasih yang lebih besar’ yang
disebutkan dalam Injil Yohanes, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada
kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).[1] Kristus begitu mengasihi kita
sahabat-sahabat-Nya, sehingga Ia rela menyerahkan hidup-Nya sendiri, agar kita
dapat hidup di dalam Dia. Dalam Ekaristi inilah, kita tidak hanya memperingati
kasih pengorbanan Kristus, tetapi juga dapat mengalami kasih-Nya yang tidak
terbatas itu, saat kita menyambut Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya ke
dalam tubuh, darah, jiwa dan kemanusiaan kita. Begitu besar dan dalamnya
anugerah ini, sehingga layaklah kita menyambutnya dengan ucapan syukur kepada
Allah. Dan memang inilah arti kata
‘Ekaristi’, yaitu: ucapan syukur kepada Allah.[2] Betapa kita
sungguh bersyukur, karena kasih-Nya yang mempersatukan kita dengan Dia.
Oleh
karena kasih Allah-lah yang pertama-tama kita rayakan dalam Ekaristi, maka
Gereja mengajarkan bahwa sakramen Ekaristi adalah “sakramen cinta kasih,
lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paska, di mana di dalamnya
Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan.”[3]
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”
Kristus
menggambarkan persatuan antara kita dengan-Nya sebagai persatuan antara
ranting-ranting dengan pokok anggur.
“Tinggallah
di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat bertumbuh
dari dirinya sendiri, demikian juga kamu tidak dapat bertumbuh jika kamu tidak tinggal
di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya. Barang siapa tinggal
di dalam Aku, ia akan berbuah banyak. Sebab di luar Aku kamu tidak dapat
berbuat apa-apa.” (Yoh 15:4-5)
Pernahkah
kita renungkan, apakah yang dimaksud dengan “tinggal di dalam” Tuhan
Yesus? Mungkin banyak orang mengartikannya, kita tinggal dalam Yesus kalau kita
rajin berdoa, membaca Sabda Tuhan, dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ya,
semua itu memang mendekatkan kita kepada Tuhan, dan membuat kita hidup di dalam
ajaran-Nya.
Namun
demikian, secara khusus, Tuhan Yesus menjelaskan secara eksplisit tentang
apakah yang dimaksudkan-Nya dengan “tinggal di dalam”-Nya. Kata asli “tinggal”
menurut bahasa Yunani adalah ฮผฮต́ฮฝฯ, mรฉnō; dan kata
yang sama ini digunakan oleh Yesus sewaktu mengajarkan tentang Roti Hidup. Yesus
bersabda:
“Barangsiapa
makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di
dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa,
demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:56-57)
Melalui
ayat ini Kristus menjelaskan cara yang dikehendaki-Nya, agar Ia dapat tinggal
di dalam kita, yaitu dengan kita makan daging-Nya dan minum darah-Nya. Saat
Yesus mengajarkan hal ini, banyak orang yang tidak percaya, atau lebih
tepatnya, sulit mempercayai ajaran-Nya, sehingga mereka meninggalkan Dia. Namun
Yesus tidak mengubah ajaran-Nya, malah Ia bertanya kepada para rasul-Nya,
kalau-kalau mereka juga mau pergi meninggalkan Dia. Syukurlah, Rasul Petrus
yang mewakili para rasul, menjawab dengan iman, bahwa mereka tetap percaya
kepada-Nya, sebab Kristuslah sang empunya sabda kebenaran (lih. Yoh 6:66-69).
Iman para rasul inilah yang dilestarikan terus oleh Gereja Katolik, secara
khusus dalam perayaan Ekaristi, yang merayakan kehadiran Kristus di dalam
Sabda-Nya dan di dalam perjamuan kudus-Nya.
Komuni Kudus mempersatukan kita dengan Kristus
Sebagaimana
perjamuan mengakrabkan seseorang dengan yang lain, demikianlah saat kita menerima
Kristus dalam Ekaristi, kita menjadi akrab dan digabungkan dengan Kristus. Perjamuan
ini menjadi kenangan yang hidup akan kasih Tuhan Yesus yang demikian besar
kepada kita, sampai Ia mau wafat bagi kita. Kristus memandang kita sebagai
pemberian Allah Bapa kepada-Nya, sehingga Ia mau selalu tinggal bersama-sama
dengan kita (lih. Yoh 17:24). Maka Yesus mengaruniakan Ekaristi kepada kita
Gereja-Nya, untuk mempersatukan kita dengan Dia[4], sampai kepada
akhir zaman (lih. Mat 28:19-20). Karena di dalam Ekaristi terkandunglah
keseluruhan harta rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, maka Ekaristi disebut
sebagai ‘sumber dan puncak kehidupan Kristiani’.[5] Demikian juga, karena di dalam
Kristus dan misteri Paska-Nya, Allah menyatakan puncak karya keselamatan-Nya,
maka perayaan Ekaristi yang menghadirkan kembali misteri Paska Kristus itu
secara sakramental, juga merupakan puncak karya Allah untuk menguduskan dunia
dan puncak penyembahan umat beriman kepada Kristus, dan melalui Kristus, kepada
Allah Bapa di dalam Roh Kudus.[6]
Untuk menangkap kedalaman makna persatuan dan
kebersamaan ini, kita perlu merenungkan kedekatan kita dengan orang- orang yang
kita kasihi di dunia ini; mungkin saat sebagai orang tua, kita mendekap anak
kita, atau kebersamaan antara suami dan istri, atau kedekatan dengan seorang
sahabat. Ekaristi adalah persatuan yang melampaui semuanya ini, sebab Ekaristi
adalah persatuan dengan Kristus dan melalui Kristus, kita disatukan dengan
Allah Bapa dan Roh Kudus. Persatuan kita dengan Kristus inilah yang disebut
sebagai “Komuni kudus”, yang menjadikan kita mengambil bagian di dalam Tubuh
dan Darah-Nya[7]
dan dengan demikian, juga mengambil bagian di dalam hidup ilahi-Nya. St.
Ignatius dari Antiokhia mengatakan dengan indahnya tentang persatuan kita
dengan Kristus ini, “Pada pertemuan-pertemuan ini [perayaan Ekaristi], kamu …
memecah roti yang satu, yang adalah obat kekekalan, dan penawar racun yang
menyingkirkan kematian, namun menghasilkan hidup di dalam kesatuan dengan Yesus
Kristus.”[8] Ya, persekutuan dengan Tubuh dan Darah Kristus,
memperteguh persatuan kita dengan Kristus, mengampuni dosa-dosa ringan yang
kita lakukan, dan melindungi kita dari dosa berat, sebab dengan menerima
sakramen ini, ikatan kasih antara kita dan Kristus diperkuat, dan dengan
demikian kesatuan Gereja juga diperteguh.[9]
Ekaristi mempersatukan kita dengan sesama anggota Kristus
Selain
mempersatukan kita dengan Kristus, Ekaristi juga mempersatukan kita dengan
sesama anggota Tubuh Kristus. Oleh karena kita menerima Kristus yang satu dan
sama, kita dipersatukan di dalam Dia yang adalah Sang Kepala kita (lih. Kol
1:18; Ef 5:23). Rasul Paulus mengajarkan, “Bukankah cawan pengucapan syukur,
yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah
roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena
roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita
semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1Kor 10:15-16). Ekaristi
diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di
dalamnya, kita dapat bersatu dengan Kristus dan dengan sesama anggota-Nya
menjadi satu Tubuh.[10]
Kita manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi
semakin menyerupai Dia, yaitu supaya semakin dapat mengasihi; sebab Tuhan
adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16). Kasih
itu mempersatukan, oleh karena itu sebagai manusia kita menginginkan persatuan,
baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama kita. Kristus- juga mempunyai kerinduan
yang sama: bahwa Ia ingin tinggal bersama semua orang yang percaya kepada-Nya
(lih. Yoh 6:56), namun juga Ia ingin agar semua yang percaya kepada-Nya menjadi
satu, “Aku berdoa ….juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku …. supaya
mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku
di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa
Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:21). Maka, persatuan kita dengan
Kristus, sepantasnya juga membawa persatuan kita dengan semua orang yang
percaya kepada-Nya; sebab hal ini merupakan kehendak Kristus sendiri.
Karena
Kristus hanya satu dan Tubuh-Nya juga hanya satu, maka satu jugalah kita semua
anggota-anggota-Nya, baik Gereja yang masih berziarah di dunia ini, Gereja yang
sudah berjaya di surga, maupun Gereja yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Karena
semua anggota- anggota Kristus dipersatukan oleh kasih Kristus yang melampaui
maut (lih. Rom 8:38-39). Itulah sebabnya di dalam Komuni kudus ini kita
mengingat juga persekutuan dengan para kudus di surga, terutama Bunda Maria;[11] dan kita dapat
mengajukan intensi doa permohonan bagi saudara- saudari kita yang telah
mendahului kita, yaitu mereka yang ‘telah meninggal di dalam Kristus namun yang
belum sepenuhnya dimurnikan’ sehingga mereka dapat memasuki terang dan damai
Kristus[12] yang kekal dalam
kerajaan Surga.
Komuni kudus memelihara hidup ilahi
Persatuan
kita dengan Kristus dalam Komuni kudus, “melindungi, menambah, dan membaharui
pertumbuhan kehidupan rahmat yang diterima dalam Pembaptisan.”[13] Kita mengetahui bahwa satu
berkat tak ternilai dari Pembaptisan adalah: melaluinya kita memperoleh hidup
ilahi dan diangkat menjadi anak-anak Allah.[14] Namun seperti halnya dalam kehidupan jasmani
kita memerlukan makanan untuk dapat bertahan hidup, demikian pula, dalam
kehidupan rohani. Kita memerlukan
makanan rohani agar dapat tetap hidup dan bertumbuh secara rohani. Makanan
rohani ini adalah Sabda Allah (lih. Mat 4:4) dan Ekaristi (Yoh 6:53-58), yang
keduanya kita terima dalam perayaan Ekaristi.
Demikianlah
Sabda Tuhan Yesus:
Tetapi
Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari
setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Mat 4:4)
Maka
kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu
tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup
di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai
hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab
daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Sama
seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga
barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun
dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah
mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:53-58)
Komuni kudus bukti kasih Allah dan pengorbanan-Nya
Maka
di atas segalanya, Komuni kudus merupakan bukti cinta kasih Allah. Mungkin ada
baiknya kita memeriksa diri sendiri, akan apakah yang ada di pikiran kita pada
saat kita melihat hosti yang diangkat oleh imam, saat ia, in persona
Christi, mengucapkan perkataan konsekrasi, “Inilah Tubuhku yang
dikurbankan bagimu….” (lih. Luk 22:19; 1Kor 11:24). Sesungguhnya, tak ada kata
yang mampu melukiskan, betapa dalamnya misteri kasih Allah yang tiada terbatas
ini. Kristus yang adalah Allah, telah mengosongkan diri-Nya dengan mengambil
rupa seorang hamba, dan menjadi manusia. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia
merendahkan diri-Nya, sampai wafat di kayu salib (lih. Flp 2:7-8). Ia
membuktikan kasih-Nya yang terbesar, dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita,
sahabat-sahabat-Nya (lih. Yoh 15:13). Kini setelah kebangkitan-Nya, Ia masih
terus merendahkan diri-Nya, sampai mau hadir di dalam sepotong roti, agar
setiap orang yang tergabung di dalam Gereja-Nya, bahkan seorang anak kecil sekalipun,
dapat menyambut-Nya, tanpa perlu merasa takut.
Selain
kasih dan kerendahan hati, Komuni kudus mengajarkan kepada kita makna
pengorbanan. Dengan melihat teladan pemberian diri Kristus kepada kita, maka
kita juga didorong untuk memberikan diri kita kepada orang lain, terutama
mereka yang kecil, sakit dan miskin. Kitapun dipanggil untuk mengasihi dan
mengampuni sesama kita, karena Kristus lebih dahulu mengasihi dan mengampuni
kita. Korban Kristus menjadi saksi yang nyata bahwa pengampunan adalah sesuatu
yang tidak mustahil dilakukan. Jika kita mau berkorban untuk mengampuni sesama,
kita akan dapat memperoleh buahnya, yaitu kasih yang memulihkan dan
mempersatukan. Itulah sebabnya keluarga Kristiani, termasuk di dalamnya
pasangan suami istri, perlu menimba kekuatan dari Ekaristi; sebab kesatuan
antara mereka dengan Kristus dalam Komuni kudus akan memampukan mereka untuk
terus saling mengasihi dan mengampuni; sehingga kesatuan kasih mereka selalu
dikuatkan.
Komuni kudus = ‘preview‘ persatuan kekal kita dengan Allah di surga kelak
Karena
tujuan akhir kita di Surga kelak adalah persatuan dengan Tuhan, maka Komuni
kudus yang kita terima di dunia ini adalah semacam kenyataan yang akan mencapai
kesempurnaannya di surga kelak. Di Surga memang kita tidak perlu lagi menerima
Komuni dalam rupa hosti; sebab pada saat itu kita telah memandang Allah
sebagaimana adanya Dia (lih. 1 Yoh 3:2), sehingga aneka gambaran ataupun simbol
tidak lagi diperlukan. Di Surgalah tercapai kesempurnaan di mana kita dapat
sepenuhnya bersatu dengan Allah yang telah menciptakan kita manusia dalam
kesatuan dengan keseluruhan umat manusia.
Maka
Ekaristi menuntun kita semua untuk mencapai tujuan akhir, di mana persekutuan
dengan Allah dan sesama mencapai kesatuan yang sempurna, yaitu “keadaan
persatuan dengan Kristus, yang pada saat yang sama membuatnya mungkin untuk
masuk ke dalam kesatuan yang hidup dengan Allah sendiri, sehingga Tuhan dapat
menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28).”[15] Katekismus mengajarkan bahwa dengan
Komuni kudus kita menerima rahmat ilahi, dan dengan demikian Ekaristi merupakan
antisipasi kemuliaan surgawi.[16] Dengan merayakan
Ekaristi, kita menantikan dengan rindu kedatangan Penyelamat kita Yesus
Kristus, untuk mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya[17]. “Setiap kali
misteri ini dirayakan, terlaksanalah karya penebusan kita (LG 3) dan kita
memecahkan “satu roti yang merupakan obat kebakaan, penangkal kematian, dan
santapan yang membuat kita hidup selama-lamanya dalam Yesus Kristus” (Ignasius
dari Antiokia, Eph. 20,2).”[18]
Betapa perlunya kita mengingat hal ini, setiap
kali kita menerima Komuni Kudus: bahwa dengan menerima Komuni ini kita menerima
‘obat rohani’ yang menghantar kita ke Surga.
Bagaimana agar kita dapat semakin menghayati Komuni kudus?
Mengingat
begitu dalamnya makna Komuni kudus, maka kita perlu mengetahui sedikitnya tiga
hal, agar kita dapat semakin menghayatinya:
1. Mempersiapkan diri sebelumnya
Persiapan
diri ini yang dimaksud di sini adalah: membaca dan merenungkan bacaan Kitab
Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang lebih
awal, berpuasa 1 jam sebelum menyambut Ekaristi, memeriksa batin: jika dalam
keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat sebelum
menerima Ekaristi.[19]
Selanjutnya, penting agar kita masuk dalam suasana doa, mempersiapkan batin
untuk masuk dalam hadirat Tuhan dan menyambut kehadiran-Nya dalam Komuni
Kudus. Maka mengimani dengan sungguh akan kehadiran Yesus dalam rupa roti
dan anggur setelah konsekrasi, merupakan prasyarat utama dalam persiapan batin.
Sikap batin yang baik ini juga diwujudkan dengan
tidak ‘ngobrol’, tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM,
baik sebelum ataupun pada saat perayaan Ekaristi berlangsung. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati
kita tidak sepenuhnya terarah kepada Tuhan.
2. Bersikap aktif: tidak hanya menerima tapi juga memberi kepada Tuhan
St.
Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup dua hal,
yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat
ilahi (lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.).
Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar
menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai
Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan
diri kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk
kita persatukan dengan kurban Kristus[20]. Kita membawa segala kurban persembahan
kepada Tuhan terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah menjadi
Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban Yesus.
Kristus, satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan
segala penyembahan kita. Partisipasi kita secara aktif dalam kurban Kristus ini
bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis,
melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan
memuji Tuhan, dan meresapkan di dalam hati, segala perkataan doa yang diucapkan
ataupun dinyanyikan.
3. Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus
Untuk
menghayati makna Komuni kudus, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus,
dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya
kepada kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Dengan
memusatkan hati kepada Kristus, kita dapat melihat bahwa segala pergumulan kita
tidak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun dikuatkan di dalam pengharapan,
karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus dapat pula
membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.
Sungguh,
kasih dan pengorbanan Kristus merupakan sumber kekuatan bagi kita untuk
menjalani kehidupan ini. Karena itulah Gereja mengajarkan dalam The
Enchiridion of Indulgences (Buku ketentuan mengenai Indulgensi) yang
dikeluarkan oleh Vatikan tanggal 29 Juni 1968 (silakan klik), bahwa dengan merenungkan pengorbanan Yesus dan
luka-luka-Nya di kayu salib sebagaimana dijabarkan dalam doa yang sederhana
berikut ini, kita dapat memperoleh indulgensi. Demikianlah doanya yang
mengambil dasar dari kitab Mazmur 22: 17-18:
Lihatlah,
Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, En ego, o bone et dulcissime Iesu.
“Lihatlah,
Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, di hadapan-Mu aku berlutut dan dengan
jiwa yang berkobar aku berdoa dan memohon kepada-Mu agar menanamkan di dalam
hatiku, citarasa yang hidup akan iman, pengharapan dan kasih, pertobatan yang
sungguh dari dosa-dosaku, dan kehendak yang kuat untuk memperbaikinya. Dan
dengan kasih dan dukacita yang mendalam, aku merenungkan kelima luka-luka-Mu,
yang terpampang di hadapanku, yang tentangnya Raja Daud, nabi-Mu, telah
bernubuat tentang Engkau, ya Tuhan Yesus yang baik: “Mereka telah menembusi
tanganku dan kakiku dengan paku; mereka telah menghitung semua tulangku….”
Amin.
Amin.
Indulgensi
Penuh dapat diperoleh dengan mengucapkan doa ini pada hari Jumat di masa
Prapaska dan setiap hari di dalam dua minggu sebelum Paskah (masa Passiontide),
ketika doa ini diucapkan setelah Komuni di hadapan gambar/ image
Kristus yang tersalib. Pendarasan doa ini pada hari-hari lainnya, memperoleh
indulgensi sebagian. Tentang persyaratan agar memperoleh indulgensi penuh
adalah: 1) mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa; 2) menerima Komuni
kudus; 3) berdoa bagi intensi Bapa Paus; 4) tidak ada keterikatan terhadap
dosa, bahkan dosa ringan.
Dengan
mendoakan doa yang singkat di atas, kita diundang untuk meresapkan di dalam
hati, bahwa Kristus telah memilih untuk menderita dan menyerahkan nyawa-Nya
demi kasih-Nya kepada kita. Betapa kita harus bersyukur atas pengorbanan-Nya
itu, yang menyelamatkan kita. Dengan melihat teladan kasih Kristus ini, semoga
kita semakin mampu menghindari dosa, dan semakin terdorong untuk lebih
mengasihi Tuhan dan sesama kita. Dengan melihat pengorbanan-Nya ini kita
dikuatkan untuk juga mau berkorban dalam hidup kita sehari-hari, entah dalam
lingkungan keluarga, pekerjaan maupun pergaulan kita dengan sesama.
Di
samping itu, perhatian dan penghormatan kepada Kristus mendorong kita untuk
berpakaian yang sopan dan layak ke gereja dan untuk sungguh berdoa pada saat
kita mengucapkan doa-doa dalam perayaan Ekaristi. Kita harus mengupayakan agar
jangan sampai kata-kata doa yang kita ucapkan merupakan kata-kata yang kosong,
yang hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh keluar dari hati. Jangan sampai
pikiran kita dipenuhi oleh banyak hal lain kecuali Tuhan sendiri. Kita perlu
memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita harus mengusahakannya, agar
dengan sikap batin yang baik, kita dapat menerima buah-buah sakramen Ekaristi
ini tanpa sia- sia.[21]
Kesimpulan
Ekaristi merupakan bukti nyata kasih Kristus yang
terbesar, sebab melaluinya Kristus memberikan diri-Nya sendiri kepada kita
sahabat-sahabat-Nya. Kasih Kristus ini demikian sempurna, sehingga tidak saja
membawa kita mendekat kepada-Nya, namun lebih dari itu, mempersatukan kita
dengan Dia. Maka pertama-tama,
sakramen Ekaristi adalah sakramen cinta kasih Allah, yang diberikan-Nya agar Ia
dapat bersatu dengan kita dan menyertai kita, Gereja-Nya. Oleh karena persatuan
inilah, Ekaristi juga disebut sebagai Komuni Kudus. Komuni Kudus adalah cara
yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk tinggal di dalam kita dan kita di dalam
Dia. Dengan menyambut Komuni Kudus, kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan
Darah Kristus dan kita disatukan dengan Kristus dan dengan semua anggota-Nya[22]. Sesuai dengan
janji Kristus sendiri, dengan menyambut Tubuh dan Darah Kristus ini, kita
memperoleh hidup yang kekal (Yoh 6:54). Dengan digabungkannya kita dengan
Kristus, kita memperoleh kekuatan baru untuk mengasihi dan mengampuni,
sebagaimana Ia telah lebih dahulu mengasihi dan mengampuni kita. Oleh
rahmat-Nya dalam Ekaristi, kita diubah untuk menjadi semakin serupa dengan Dia
dalam hal mengasihi. Dalam kasih inilah kesatuan kita dengan Kristus
dikukuhkan. Kesatuan antara kita dengan Kristus ini akan mencapai
kesempurnaannya di surga kelak, saat Allah menjadi semua di dalam semua (lih.
1Kor 15:28).
Menyadari makna Komuni Kudus ini, mari kita
tanyakan kepada diri kita masing- masing, sudahkah kita cukup mempersiapkan
diri untuk menyambut-Nya? Mari kita berdoa memohon rahmat Tuhan, agar mata hati
kita dicelikkan dan hati kita dikobarkan dalam setiap perayaan Ekaristi,
sehingga kita dapat mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh kedua
murid Yesus dalam perjalanan ke Emaus: “Mane nobiscum Domine,
Tinggallah bersama dengan kami, ya Tuhan Yesus…” (lih. Luk 24:29).
Pertanyaan Permenungan:
- Bagaimana kita tahu bahwa Kristus memilih Komuni Kudus untuk bersatu dengan umat-Nya?
- Mengapa Ekaristi disebut sebagai ‘sumber dan puncak kehidupan Kristiani’?
- Apakah efek dari Komuni Kudus?
- Bagaimana Komuni Kudus menjadi bukti kasih Allah dan pengorbanan-Nya?
- Bagaimana cara kita untuk semakin menghayati Komuni Kudus?
- Doa seperti apakah yang baik untuk didoakan setelah menerima Komuni Kudus?
- Apakah hubungan antara Komuni Kudus dengan apa yang terjadi di Sorga?
CATATAN KAKI:
- lih. Paus Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis, 1 [↩]
- lih. KGK 1328 [↩]
- KGK 1323 [↩]
- lih. KGK 1391 [↩]
- KGK 1324 [↩]
- lih. KGK 1325 [↩]
- lih. Katekismus Gereja Katolik/ KGK 1331 [↩]
- St. Ignatius of Antioch, Letter to the Ephesians, n.20 [↩]
- lih. KGK 1416 [↩]
- Lih. KGK 1329 [↩]
- KGK 1370 [↩]
- KGK 1371 [↩]
- KGK 1392 [↩]
- lih. KGK 1265: Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi serentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (Bdk. Gal 4:5-7); ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (Bdk. 1 Kor 6:15; 12:27), “ahli waris” bersama Dia (Rm 8:17) dan kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:19). [↩]
- Joseph Cardinal Ratzinger (Pope Benedictus XVI), Called to Communion, (San Francisco: Ignatius Press, 1991), p. 33 [↩]
- lih. KGK 1402 [↩]
- lih. KGK 1040 [↩]
- KGK 1405 [↩]
- lih. KHK kan 919, 1; KGK 1385 [↩]
- lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73 [↩]
- lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 11 [↩]
- lih. KGK 1331 [↩]