Percaya atau tidak, Api Penyucian itu ada
Sewaktu saya tinggal di Filipina, saya pernah menonton sebuah talk-show dari saluran EWTN (Eternal Word Television Network),
yang topiknya adalah Api Penyucian. Saya masih ingat, waktu itu
pembicaranya yang bernama Mother Angelica, menerima pertanyaan dari
pemirsa, yang rupanya tidak percaya akan adanya Api Penyucian, karena
tidak ada kata “Api Penyucian” disebut di dalam Alkitab. Mother Angelica
menjawab bahwa, memang kata “Api Penyucian” tidak secara eksplisit
tercantum di dalam Alkitab, seperti juga kata ‘Trinitas’, atau
‘Inkarnasi’, namun kita percaya akan maksud dari kata-kata tersebut.
Yang terpenting adalah ajarannya, bukan istilahnya. Dengan senyumnya
yang khas Mother Angelica berkata dengan bijak, “Although you do not believe it, dear, it does not mean that it does not exist.” (Meskipun kamu tidak percaya, itu tidak berarti Api Penyucian tidak ada).
Apa itu Api Penyucian
Api Penyucian atau ‘purgatorium’ adalah ‘tempat’/ proses
kita disucikan. Catatan: ‘Disucikan’ bukan ‘dicuci’, oleh sebab itu
disebut Api Penyucian (bukan Api Pencucian). Gereja Katolik mengajarkan
hal ini di dalam Katekismus Gereja Katolik # 1030-1032, yang dapat
disarikan sebagai berikut:
1) Api Penyucian adalah suatu kondisi
yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan
dalam persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga
memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian.
2) Pemurnian di dalam Api Penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka.
3) Kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada
di Api Penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan
ujud Misa Kudus bagi mereka.
Api Penyucian ada karena keadilan Allah: Dosa selalu membawa konsekuensi
Ada orang-orang yang berpikir bahwa jika Allah mengampuni, maka tidak
ada lagi yang harus dipikirkan mengenai ‘akibat dosa’ sebagai
konsekuensinya. Namun kenyataannya, hampir seluruh bagian Kitab Suci
menceriterakan sebaliknya. Selalu saja ada konsekuensi yang ditanggung
oleh manusia, jika ia berdosa terhadap Allah, meskipun Allah telah
memberikan pengampunan. Kita melihat hal demikian, misalnya, pada Adam
dan Hawa, setelah diampuni dosanya, diusir dari taman Eden (Kej
3:23-24). Raja Daud yang diampuni oleh Allah atas dosanya berzinah
dengan Betsheba dan membunuh Uria, tetap dihukum oleh Tuhan dengan
kematian anaknya (lihat 2 Sam 12:13-14). Nabi Musa dan Harun yang
berdosa karena tidak percaya dan tidak menghormati Tuhan di hadapan umat
Israel akhirnya tidak dapat masuk ke tanah terjanji (Bil 20:12). Nabi
Zakharia, yang tidak percaya akan berita malaikat Gabriel, menjadi bisu
(Luk 1:20). Dan masih banyak contoh lain, yang menunjukkan bahwa, selalu
ada konsekuensi dari perbuatan kita.
Keponakan saya yang berumur 4 1/2 tahun mempunyai ‘problem’ kebiasaan (maaf) ‘pipis dan pupu’
di celana, dan tampaknya sering dilakukannya dengan sengaja. Sampai
akhirnya sepupu saya mendidiknya demikian: setelah celananya kotor,
keponakan saya itu disuruh mencuci sendiri celananya. Dengan hukuman
ini, maka ia belajar bertanggung jawab, agar kelak ia tidak mengulangi
perbuatan itu. Jika kita yang manusia saja mendidik anak-anak dengan
mengajarkan adanya ‘konsekuensi’ demi kebaikan mereka, maka Allah yang
jauh lebih bijaksana, juga mendidik kita dengan cara demikian, namun
tentu saja dengan derajat keadilan yang sempurna. Sebab pada akhirnya,
yang diinginkan Allah adalah kita menjadi benar-benar kudus, sehingga
siap untuk bersatu dengan Dia yang Kudus di surga. Kekudusan ini harus
menjadi milik jiwa kita sendiri dan bukan seolah-olah kita hanya
‘diselubungi’ oleh kekudusan Kristus, padahal di balik selubung itu jiwa
kita masih penuh dosa. Allah menginginkan kita agar kita menjadi kudus
dan sempurna (lih. Im 19:2; Mat 5:48). Maka, jika kita belum sepenuhnya
kudus, pada saat kita meninggal, kita masih harus disucikan terlebih
dahulu di Api Penyucian, sebelum dapat bersatu dengan Tuhan di surga.
Pengingkaran akan adanya Api Penyucian sama dengan pengingkaran akan
keadilan Tuhan. Padahal Keadilan –sama seperti Kasih dan Kesetiaan-
adalah hakekat Tuhan, yang tidak dapat disangkal oleh Tuhan sendiri
(lih. 2 Tim 2:13).
Api Penyucian ada karena keadilan Allah: Ada perbedaan antara dosa berat dan dosa ringan
Selain masalah konsekuensi dosa, ada pula pengertian dasar mengenai
dosa berat dan dosa ringan yang penting kita ketahui untuk memahami
pengajaran mengenai Api Penyucian ini. Ada orang berpendapat bahwa semua
dosa sama saja, namun Alkitab tidak mengatakan demikian. Pembedaan dosa
berat dan dosa ringan disebutkan di dalam surat Rasul Yohanes. Dosa
ringan dikatakan sebagai dosa yang tidak mendatangkan maut, sedangkan
dosa berat, yang mendatangkan maut (1 Yoh 5: 16-17). Rasul Yakobus juga
membedakan kedua jenis dosa; dengan membedakan dosa yang awal dan dosa
yang matang (Yak 1:14-15). Untuk pembahasan lengkap tentang dosa berat
dan dosa ringan, silakan membaca artikel ini (silakan klik).
Konsekuensi dari pengajaran ini adalah jika kita meninggal dalam
keadaan sempurna dalam rahmat Allah, maka kita dapat langsung masuk
surga. Namun, jika kita meninggal dalam keadaan berdosa berat dan tidak
bertobat, maka kita masuk neraka. Jika kita dalam keadaan di
tengah-tengah: meninggal dalam rahmat, namun masih mempunyai dosa ringan
atau masih menanggung konsekuensi dari dosa-dosa yang sudah diampuni,
maka kita masuk ke ‘tempat’ yang lain, yaitu, Api Penyucian.
Api penyucian ada karena keadilan Allah: Kita diselamatkan bukan hanya karena iman saja, tetapi oleh kasih karunia Allah, yang harus diwujudkan dalam perbuatan kasih.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena kasih
karunia Allah oleh iman (lih. Ef 2:8, Tit 2:11; 3:7). Dan iman ini harus
dinyatakan dan disertai dengan perbuatan, sebab jika tidak demikian,
maka iman kita itu mati (lih. Yak 2:17, 24, 26). Perbuatan kasih yang
didasari iman inilah yang menjadi ukuran pada hari Penghakiman, apakah
kasih kita sudah sempurna sehingga kita dapat masuk surga atau
sebaliknya, ke neraka. Ataukah karena kasih kita belum sempurna, maka
kita perlu disempurnakan dahulu di dalam suatu tempat/ kondisi yang
ketiga, yaitu yang kita kenal sebagai Api Penyucian.
Sedangkan pada saat kita masih hidup, perbuatan kasih ini dapat
dinyatakan dalam bentuk tindakan langsung, kata-kata atau dengan doa.
Doa syafaat yang dipanjatkan dapat dinyatakan dengan mendoakan sesama
yang masih hidup di dunia, maupun mendoakan mereka yang telah meninggal
dunia. Oleh karena itu, maka Gereja Katolik mengajarkan akan adanya Api
Penyucian, dan bahwa kita boleh, atau bahkan harus mendoakan jiwa-jiwa
yang masih berada di dalamnya, agar mereka dapat segera masuk dalam
kebahagiaan surgawi.
Dasar dari Kitab Suci
Keberadaaan Api Penyucian bersumber dari ajaran Kitab Suci, yaitu dalam beberapa ayat berikut ini:
1. “Tidak akan masuk ke dalamnya [surga] sesuatu yang najis”
(Why 21:27) sebab Allah adalah kudus (Is 6:3). Maka kita semua
dipanggil kepada kekudusan yang sama (Mat 5:48; 1 Pet 1:15-16), sebab
tanpa kekudusan tak seorangpun dapat melihat Allah (Ibr 12:14). Melihat
bahwa memang tidak mungkin orang yang ‘setengah kudus’ langsung masuk
surga, maka sungguh patut kita syukuri jika Allah memberikan kesempatan
pemurnian di dalam Api Penyucian.
2. Keberadaan Api Penyucian diungkapkan oleh Yesus secara tidak langsung pada
saat Ia mengajarkan tentang dosa yang menentang Roh Kudus, “…tetapi
jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak,
dan di dunia yang akan datang pun tidak.” (Mat 12:32) Di sini Yesus
mengajarkan bahwa ada dosa yang dapat diampuni pada kehidupan yang akan
datang. Padahal kita tahu bahwa di neraka, dosa tidak dapat diampuni,
sedangkan di surga tidak ada dosa yang perlu diampuni. Maka pengampunan
dosa yang ada setelah kematian terjadi di Api Penyucian, walaupun Yesus
tidak menyebutkan secara eksplisit istilah ‘Api Penyucian’ ini.
3. Rasul Paulus mengajarkan bahwa pada akhirnya segala pekerjaan kita akan diuji oleh Tuhan. “Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.”
(1 Kor 3:15) Api ini tidak mungkin merupakan api neraka, sebab dari api
neraka tidak ada yang dapat diselamatkan. Api ini juga bukan surga,
sebab di surga tidak ada yang ‘menderita kerugian’. Sehingga ‘api’ di
sini menunjukkan adanya kondisi tengah-tengah, di mana jiwa-jiwa
mengalami kerugian sementara untuk mencapai surga.
4. Rasul Petrus juga mengajarkan bahwa
pada akhir hidup kita, iman kita akan diuji, “…untuk membuktikan
kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang
fana, yang diuji kemurniannya dengan api- sehingga kamu memperoleh
puji-pujian dan kemuliaan… pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya
(1 Pet 1:7). Rasul Petrus juga mengajarkan,
“Kristus telah mati untuk kita … Ia, yang
yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah
dibangkitkan oleh Roh, dan di dalam Roh itu pergi memberitakan
Injil kepada roh-roh yang ada di dalam penjara, yaitu roh-roh mereka
yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah…” (1 Pet 3:
18-20). Roh-roh yang ada di dalam penjara ini adalah jiwa-jiwa yang
masih terbelenggu di dalam ‘tempat’ sementara, yang juga dikenal dengan
nama ‘limbo of the fathers’ (‘limbo of the just‘). Selanjutnya Rasul Petrus juga mengatakan bahwa “Injil diberitakan juga kepada orang-orang mati
supaya oleh roh, mereka dapat hidup menurut kehendak Allah” (1 Pet
4:6). Di sini Rasul Petrus mengajarkan adanya tempat ketiga selain surga
dan neraka, yaitu yang kini disebut sebagai Api Penyucian.
5. Kitab 2 Makabe 12: 38-45 adalah
yang paling jelas menceritakan dasar pengajaran mengenai Api Penyucian
ini. Ketika Yudas Makabe dan anak buahnya hendak menguburkan jenazah
pasukan yang gugur di pertempuran, mereka menemukan adanya jimat dan
berhala kota Yamnia pada tiap jenazah itu. Maka Yudas mengumpulkan uang
untuk dikirimkan ke Yerusalem, untuk mempersembahkan korban penghapus
dosa. Perbuatan ini dipuji sebagai “perbuatan yang sangat baik dan
tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan” (ay.43); sebab
perbuatan ini didasari oleh pengharapan akan kebangkitan orang-orang
mati. Korban penebus salah ini ditujukan agar mereka yang sudah mati itu dilepaskan dari dosa mereka (ay. 45).
Memang saudara-saudari kita yang Protestan tidak mengakui adanya Kitab Makabe ini, namun ini tidak mengubah tiga kenyataan penting: Pertama, bahwa penghapusan Kitab Makabe ini sejalan dengan doktrin Protestan yang mengatakan bahwa keselamatan hanya diperoleh dengan iman saja atau “Sola Fide, Salvation by faith alone”, walaupun Alkitab tidak menyatakan hal itu. Sebab kata ‘faith alone’/ ‘hanya iman’ yang ada di Alkitab malah menyebutkan sebaliknya, yaitu “…bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman”/ not by faith alone (Yak 2:24). Maka, berdoa bagi orang meninggal yang termasuk sebagai perbuatan kasih, menurut Luther tidak mempengaruhi keselamatan, sedangkan menurut Gereja Katolik itu merupakan hal yang mulia, yang jika dilakukan di dalam iman, akan membawa kita dan orang-orang yang kita doakan kepada keselamatan oleh karena kasih karunia Tuhan Yesus.
Kedua, tradisi berdoa bagi jiwa orang-orang yang sudah meninggal merupakan tradisi Yahudi, yang dimulai pada abad ke-1 sebelum Masehi, sampai sekarang. Maka, tradisi ini juga bukan tradisi yang asing bagi Yesus. Ketiga, Kitab Makabe ini bukan rekayasa Gereja Katolik, sebab menurut sejarah, kitab ini sudah selesai ditulis antara tahun 104-63 sebelum masehi. Karena itu kita dapat meyakini keaslian isi ajarannya. Lebih lanjut tentang hal ini, silakan klik di sini.
Memang saudara-saudari kita yang Protestan tidak mengakui adanya Kitab Makabe ini, namun ini tidak mengubah tiga kenyataan penting: Pertama, bahwa penghapusan Kitab Makabe ini sejalan dengan doktrin Protestan yang mengatakan bahwa keselamatan hanya diperoleh dengan iman saja atau “Sola Fide, Salvation by faith alone”, walaupun Alkitab tidak menyatakan hal itu. Sebab kata ‘faith alone’/ ‘hanya iman’ yang ada di Alkitab malah menyebutkan sebaliknya, yaitu “…bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman”/ not by faith alone (Yak 2:24). Maka, berdoa bagi orang meninggal yang termasuk sebagai perbuatan kasih, menurut Luther tidak mempengaruhi keselamatan, sedangkan menurut Gereja Katolik itu merupakan hal yang mulia, yang jika dilakukan di dalam iman, akan membawa kita dan orang-orang yang kita doakan kepada keselamatan oleh karena kasih karunia Tuhan Yesus.
Kedua, tradisi berdoa bagi jiwa orang-orang yang sudah meninggal merupakan tradisi Yahudi, yang dimulai pada abad ke-1 sebelum Masehi, sampai sekarang. Maka, tradisi ini juga bukan tradisi yang asing bagi Yesus. Ketiga, Kitab Makabe ini bukan rekayasa Gereja Katolik, sebab menurut sejarah, kitab ini sudah selesai ditulis antara tahun 104-63 sebelum masehi. Karena itu kita dapat meyakini keaslian isi ajarannya. Lebih lanjut tentang hal ini, silakan klik di sini.
6. Rasul Paulus mendoakan sahabatnya Onesiforus yang rajin mengunjunginya sewaktu ia dipenjara, agar Tuhan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada sahabatnya itu ‘pada hari penghakiman’ (lihat 2 Tim 1:16-18). Rasul Paulus berdoa agar Tuhan berbelas kasihan kepada jiwa sahabatnya itu pada saat kematiannya.[1]
Hal ini tentu tidak masuk akal jika doa yang dipanjatkan untuk orang
yang meninggal tidak ada gunanya. Sebaliknya, ini merupakan contoh bahwa
doa-doa berguna bagi orang-orang yang hidup dan yang mati. Tradisi para
rasul mengajarkan demikian. Selanjutnya tentang Onesiforus (bahwa ia
sudah wafat) sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Selanjutnya, keberadaan Api Penyucian berkaitan dengan Gereja Katolik tentang dua macam ‘hari penghakiman’.[2] Yang pertama, ‘particular judgment’ (pengadilan
khusus), yaitu sesaat setelah kita meninggal, saat kita masing-masing
diadili secara pribadi oleh Yesus Kristus; dan kedua adalah ‘general/ last judgment’ (pengadilan umum/ terakhir), yaitu pada akhir zaman, saat kita diadili oleh Yesus Kristus di hadapan semua manusia:
1. Segera setelah kita meninggal, kita akan diadili, dan ini dikenal sebagai ‘pengadilan khusus’.
“…manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu
dihakimi.” (Ibr 9:27) Kisah orang kaya dan Lazarus juga menggambarkan
akibat penghakiman yang diadakan segera setelah kematian (Luk 16:19-31).
Setelah diadili secara pribadi, jiwa-jiwa ditentukan untuk masuk Surga,
Api Penyucian atau Neraka sesuai dengan perbuatan manusia tersebut.
Jika kita didapati oleh Tuhan dalam keadaan kudus, maka jiwa kita dapat
segera masuk surga. Jika belum sepenuhnya kudus, karena masih ada faktor
‘cinta diri’ yang menghalangi persatuan sepenuhnya dengan Tuhan, maupun
masih ada akibat dosa yang harus kita tanggung, maka jiwa kita
disucikan dulu di Api Penyucian. Jika kita didapati oleh Tuhan dalam
keadaan berdosa berat dan tidak bertobat maka keadaan ini membawa jiwa
kita ke neraka.
2. Pada akhir jaman, setelah kebangkitan badan, kita (jiwa dan badan) akan diadili dalam Pengadilan Umum/ Terakhir.
Pada saat inilah segala perbuatan baik dan jahat dipermaklumkan di
hadapan semua mahluk, “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang
tidak akan dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak
diketahui dan diumumkan.”(Luk 8: 17). Pada saat itu, seluruh bangsa akan
dikumpulkan di hadapan tahta Kristus, dan Dia akan mengadili semua
orang: yang baik akan dipisahkan dengan yang jahat seperti memisahkan
domba dan kambing (lih. Mat 25: 32-33). Hasil Pengadilan itu akan
membawa penghargaan ataupun penghukuman, bagi jiwa dan badan. Tubuh dan
jiwa manusia bersatu di Surga, apabila ia memang layak menerima
‘penghargaan’ tersebut; inilah yang disebut sebagai kebahagiaan sempurna
dan kekal di dalam Tuhan. Atau sebaliknya, tubuh dan jiwa manusia masuk
ke neraka, jika keadilan Tuhan menentukan demikian, sesuai dengan
perbuatan manusia itu sendiri; inilah yang disebut sebagai siksa kekal.
Setelah akhir jaman, yang ada tinggal Surga dan Neraka, tidak ada
lagi Api Penyucian, sebab semua yang ada di dalam Api Penyucian akan
beralih ke Surga.
Dasar dari Pengajaran Bapa Gereja dan Tradisi Suci Gereja
1. Tertullian (160-220),
mengajarkan agar para istri mendoakan suaminya yang meninggal dan
mendoakannya dengan Misa Kudus, setiap memperingati hari wafat suaminya.[3]
2. St. Cyril dari Yerusalem (315-386)
mengajarkan agar kita mempersembahkan permohonan bagi orang-orang yang
telah meninggal, dan mempersembahkan kurban Kristus [dalam Misa Kudus]
yang menghapus dosa-dosa kita dan mohon belas kasihan Allah kepada
mereka dan kita sendiri.[4]
3. St. Yohanes Krisostomus
(347-407) mengajarkan agar kita rajin mendoakan jiwa sesama yang sudah
meninggal.”Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau
anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh
Bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa
hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu
orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.[5]
4. St. Agustinus (354-430)
mengajarkan, bahwa hukuman sementara sebagai konsekuensi dari dosa,
telah dialami oleh sebagian orang selama masih hidup di dunia ini, namun
bagi sebagian orang yang lain, dialami di masa hidup maupun di hidup
yang akan datang; namun semua itu dialami sebelum Penghakiman Terakhir.
Namun, yang mengalami hukuman sementara setelah kematian, tidak akan
mengalami hukuman abadi setelah Penghakiman terakhir tersebut.[6]
5. St. Gregorius Agung
(540-604),“Kita harus percaya bahwa sebelum Pengadilan [Terakhir] masih
ada api penyucian untuk dosa-dosa ringan tertentu, karena kebenaran
abadi mengatakan bahwa, kalau seorang menentang Roh Kudus, ia tidak akan
diampuni, ‘di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak
(Mat 12:32). Dari ungkapan ini nyatalah bahwa beberapa dosa dapat
diampuni di dunia ini, [sedangkan dosa] yang lain di dunia lain.”[7]
6. Konsili Firenze (1439) dan Trente (1563), menjabarkan doktrin tentang Api Penyucian ini.[8]
Konsili Firenze menyebutkan, “Dan jika mereka bertobat dan meninggal
dalam kasih Tuhan sebelum melunasi penitensi dosa mereka…, jiwa mereka
dimurnikan setelah kematian dalam Api Penyucian. Untuk membebaskan
mereka, tindakan-tindakan silih (suffragia) dari para beriman
yang masih hidup dapat membantu mereka, yaitu: Kurban Misa, doa-doa,
derma, dan perbuatan kudus lainnya yang diberikan untuk umat beriman
yang lain, sesuai dengan praktek Gereja. Hal demikian dinyatakan kembali
dalam
Konsili Trente, yang menegaskan keberadaan Api Penyucian, perlunya tindakan-tindakan silih (suffragia) dari para beriman untuk mendoakan jiwa-jiwa yang ada di dalamnya, terutama dengan Misa Kudus.
Konsili Trente, yang menegaskan keberadaan Api Penyucian, perlunya tindakan-tindakan silih (suffragia) dari para beriman untuk mendoakan jiwa-jiwa yang ada di dalamnya, terutama dengan Misa Kudus.
Terlihat di sini bahwa pengajaran tentang Api Penyucian bukanlah
‘karangan’ manusia, melainkan berdasar pada Kitab suci dan diturun
temurunkan dengan setia oleh Gereja. Jika kita manusia harus memilih,
tentu lebih ‘enak’ jika tidak ada konsekuensi yang harus kita bayar.
Misalnya, pada anggapan: ‘Pokoknya sudah beriman pasti langsung masuk
surga. Sekali selamat, pasti selamat.’ Gereja Katolik, yang setia pada
pengajaran para rasul, tidak mengajarkan demikian. Walau kita telah
menerima rahmat keselamatan melalui Pembaptisan, kita harus menjaga
rahmat itu dengan setia menjalani segala perintah Tuhan sampai akhir
hidup kita. Jika kenyataannya kita belum sempurna, namun kita sudah
‘keburu’ dipanggil Tuhan, maka ada kesempatan bagi kita untuk disucikan
di Api Penyucian, sebelum kita dapat masuk ke surga. Bukankah kita perlu
bersyukur untuk hal ini? Sebab jika tidak ada Api Penyucian, betapa
sedikitnya orang yang dapat masuk surga!
Jadi, ingatlah ketiga hal ini tentang Api Penyucian
- Hanya orang yang belum sempurna dalam rahmat yang dapat masuk ke dalam Api Penyucian. Api Penyucian bukan merupakan kesempatan kedua bagi mereka yang meninggal dalam keadaan tidak bertobat dari dosa berat.
- Api Penyucian ada untuk memurnikan dan memperbaiki. Akibat dari dosa dibersihkan, dan hukuman/ konsekuensi dosa ‘dilunasi’.
- Api Penyucian itu hanya sementara. Setelah disucikan di sini, jiwa-jiwa dapat masuk surga. Semua yang masuk Api Penyucian ini akan masuk surga. Api Penyucian tidak ada lagi pada akhir jaman, sebab setelah itu yang ada hanya tinggal Surga dan neraka.
Jangan ragu mendoakan jiwa-jiwa yang ada di dalam Api Penyucian
Ayah saya meninggal pada tahun 2003 yang lalu. Saya selalu
mengenangnya, terutama akan segala teladan iman dan kasihnya semasa
hidupnya. Saya bersyukur bahwa sebelum wafatnya, ia sempat menerima
sakramen Pengurapan orang sakit dan menerima Komuni Suci. Sejak saat
meninggalnya sampai sekarang, saya mengingatnya dalam doa-doa saya, saat
saya mengikuti Misa kudus, dan secara khusus saya mempersembahkan ujud
Misa baginya, yaitu pada saat memperingati hari wafatnya, hari arwah,
dan hari ulang tahunnya. Saya percaya, bahwa sebagai anggota Tubuh
Kristus, maka tidak ada yang dapat memisahkan kami, sebab kami
dipersatukan di dalam kasih Kristus. Tentu saya berharap agar ayah saya
sudah dibebaskan dari Api Penyucian, dan dengan demikian, Tuhan dapat
mengarahkan doa saya untuk menolong jiwa- jiwa yang lain.
Dengan mendoakan mereka yang sudah meninggal, saya diingatkan bahwa
suatu saat akan tiba bagi saya sendiri untuk dipanggil Tuhan. Dan saat
itu sayapun membutuhkan doa-doa dari saudara/i seiman. Semoga mereka
yang telah saya doakan juga akan mendoakan jiwa saya, jika tiba saatnya
nanti. Demikianlah, indahnya kesatuan kasih antara umat beriman. Kita
saling mendoakan, bukan karena menganggap kuasa Tuhan kurang ‘ampuh’
untuk membawa kita kepada keselamatan. Melainkan karena kita menjalankan
perintah-Nya, yaitu agar kita saling mendoakan dan saling menanggung
beban, untuk memenuhi hukum Kristus (Gal 6:2); dan dengan demikian kita
mengambil bagian dalam karya keselamatan Tuhan. Sebab di dalam Kristus,
kita semua memiliki pengharapan akan kasih Tuhan yang mengatasi segala
sesuatu. Maka kita dapat berkata bersama Rasul Paulus, “Sebab aku yakin,
bahwa baik maut, maupun hidup… tidak akan dapat memisahkan kita dari
kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rom 8:38-39).
[1] Dom Bernard Orchard MA, A Catholic Commentary on Holy Scripture, general editor, (Thomas Nelson and Sons, New York, 1953), p. 1148, ayat ini menunjuk kepada kematian Onesiforus.
[2] Spirago-Clarke, The Catechism Explained, an Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, TAN Books and Publishers, Inc.,1921, reprint 1993, p. 256, 270.
[3] Tertullian, “On Monogamy”, Chap 10, seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, The Teaching of the Church Fathers (Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, original print by Herder and Herder, 1966) p. 457.
[4] Lihat St. Cyril dari Yerusalem, Catecheses, 23:10, seperti dikutip oleh John R. Willis, Ibid., p. 418.
[5] St. Yohanes Krisostomus, Homili 1 Kor 4:1,5, seperti dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik 1032.
[6] Lihat St. Agustinus, The City of God, Bk 21, Chap. 13, seperti dikutip oleh John R. Willis, SJ, Ibid., p. 456-457.
[7] St. Gregorius Agung, Dial 4, 39, seperti dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik 1031.
[8] J. Neuner, SJ- J. Dupuis, SJ, The Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church, (Theological Publications in India, Bangalore, 7th revised and enlarged edition, 2001), p. 1020-1021.
Sumber : http://katolisitas.org/624/bersyukurlah-ada-api-penyucian