Secara umum Gereja Katolik selalu memandang perkawinan sebagai
perkawinan yang sah, kecuali dapat dibuktikan kebalikannya. Menurut
Gereja Katolik, ada tiga hal yang membatalkan perkawinan: I) halangan menikah; II) cacat konsensus; dan III) cacat forma kanonika. Jika ada satu atau lebih halangan/
cacat ini, yang terjadi sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan
diteguhkan, maka sebenarnya perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi
syarat untuk dapat disebut sebagai perkawinan yang sah sejak awal mula,
sehingga jika yang bersangkutan memohon kepada pihak Tribunal Keuskupan,
maka setelah melakukan penyelidikan seksama, atas dasar kesaksian para
saksi dan bukti- bukti yang diajukan, pihak Tribunal dapat mengabulkan
permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pasangan tersebut.
Sebaliknya, jika perkawinan tersebut sudah sah, maka perkawinan itu tidak dapat dibatalkan ataupun diceraikan, sebab demikianlah yang diajarkan oleh Sabda Tuhan (lih. Mat 19:5-6).
Berikut ini adalah penjabaran ketiga hal yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik Gereja Katolik:
I. Macam- macam halangan menikah adalah (lih. Kitab Hukum Kanonik kann. 1083-1094)
(Relevansi kann. 1083-1094)
Ada bermacam-macam halangan yang menggagalkan perkawinan
Kurangnya umur (bdk. kan 1083):
Syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur
16 tahun dan perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah.
Tetapi hukum kodrati menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan
mengadakan penilaian secukupnya dan “corpus suo tempore habile ad
matrimonium”. Hukum sipil sering mempunyai tuntutan umur lebih tinggi
untuk perkawinan dari pada yang dituntut hukum Gereja. Jika salah satu
pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum sipil, Ordinaris wilayah
harus diminta nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum perkawinan itu
bisa dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, §1, no.3). Izin semacam itu
juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di mana orang
tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak mengetahui atau
secara masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1, no.6).
Impotensi (bdk kan. 1084):
Impotensi itu adalah halangan yang
menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam perkawinan. Sebab impotensi itu
mencegah suami dan istri mewujudkan kepenuhan persatuan hetero seksual
dari seluruh hidup, badan dan jiwa yang menjadi ciri khas perkawinan.
Yang membuat khas persatuan hidup suami istri adalah penyempurnaan
hubungan itu lewat tindakan mengadakan hubungan seksual dalam cara yang
wajar. Impotensi yang menggagalkan perkawinan, haruslah sudah ada
sebelum perkawinan dan bersifat tetap. Pada waktu perkawinan
sudah ada, bersifat tetap maksudnya impotensi itu terus menerus dan
bukan berkala, serta tidak dapat diobati kecuali dengan operasi tidak
berbahaya. Impotensi ada dua jenis: bersifat absolut dan relatif.
Impotensi absolut jika laki-laki atau perempuan sama sekali impotens.
Impotensi relatif jika laki-laki atau perempuan tertentu ini tidak dapat
melaksanakan hubungan seksual. Dalam hal absolut orang itu tidak dapat
menikah sama sekali, dalam impotensi relatif pasangan tertentu juga
tidak dapat menikah secara sah.
Adanya ikatan perkawinan (bdk. kan 1085):
Ikatan perkawinan terdahulu menjadi halangan
yang menggagalkan karena hukum ilahi. Kan 1085, §1: menghilangkan
ungkapan “kecuali dalam hal privilegi iman” (Jika dibandingkan dengan
kodeks 1917). Ungkapan ini berarti jika seorang yang dibaptis
menggunakan privilegi iman walau masih terikat oleh ikatan perkawinan
terdahulu, dia bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan ketika
perkawinan baru itu dilaksanakan ikatan perkawinan lama diputuskan.
Disparitas cultus (bdk. kan 1086):
Perkawinan antara dua orang yang
diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di
dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan
yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. Perlu dicermati ungkapan
“meninggalkan Gereja secara formal” berarti melakukan suatu tindakan
yang jelas menunjukkan etikat untuk tidak menjadi anggota Gereja lagi.
Tindakan itu seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau agama
Kristen, membuat suatu pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi
Katolik. Namun demikian janganlah disamakan tindakan itu dengan orang
yang tidak pergi ke Gereja Katolik lagi tidak berarti meninggalkan
Gereja. Ada dua alasan tentang norma ini: pertama karena tujuan halangan
ini adalah untuk menjaga iman katolik, tidak ada alasan mengapa orang yang sudah meninggalkan Gereja harus diikat dengan halangan itu. Kedua, Gereja tidak mau membatasi hak orang untuk menikah.
Perkawinan yang melibatkan disparitas cultus (beda
agama) ini, sesungguhnya tetap dapat dianggap sah, asalkan: 1)
sebelumnya pasangan memohon dispensasi kepada pihak Ordinaris wilayah/
keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan. Dengan dispensasi ini,
maka perkawinan pasangan yang satu Katolik dan yang lainnya bukan
Katolik dan bukan Kristen tersebut tetap dapat dikatakan sah dan tak
terceraikan; setelah pihak yang Katolik berjanji untuk tetap setia dalam
iman Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik; dan janji ini harus
diketahui oleh pihak yang non- Katolik
(lih. kan 1125). 2) Atau, jika pada saat sebelum menikah pasangan tidak
mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke pihak Ordinaris, maka
sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Convalidatio (lih. kann.
1156-1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di mata Gereja Katolik.
Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):
Adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Kaul kemurnian dalam suatu tarekat religius (bdk. kan. 1088):
Kaul kekal kemurnian secara publik yang dilaksanakan dalam suatu tarekat religius dapat menggagalkan perkawinan yang mereka lakukan.
Penculikan dan penahanan (bdk. kan. 1089):
Antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya
ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan,
kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya
serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri
memilih perkawinan itu. Bahkan jika perempuan sepakat menikah, perkawinan
itu tetap tidak sah, bukan karena kesepakatannya tetapi karena
keadaannya yakni diculik dan tidak dipisahkan dari si penculik atau
ditahan bertentangan dengan kehendaknya.
Kejahatan (bdk. kan. 1090):
Tidak sahlah perkawinan yang dicoba
dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang
tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap
pasangannya sendiri.
Persaudaraan (konsanguinitas (bdk. kan. 1091):
Alasan untuk halangan ini adalah
bahwa perkawinan antara mereka yang berhubungan dalam tingkat ke satu
garis lurus bertentangan dengan hukum kodrati. Hukum Gereja merang
perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab melakukan perkawinan
di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu bertentangan dengan
kebahagiaan sosial dan moral suami-isteri itu sendiri dan kesehatan
fisik dan mental anak-anak mereka.
Hubungan semenda (bdk. kan. 1092):
Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam
tingkat manapun. Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari
perkawinan sah entah hanya ratum atau ratum consummatum. Kesemendaan
yang timbul dari perkawinan sah antara dia orang tidak dibaptis akan menjadi halangan
pada hukum Gereja bagi pihak yang mempunyai hubungan kesemendaan
setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu. Menurut hukum
Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara suami dengan
saudara-saaudari dari isteri dan antara isteri dengan saudara-saaudara
suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai kesemendaan dengan
saudara-saudara isteri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru 1983 hubungan
kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis lurus dalam semua tingkat.
Halangan kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan
yang dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi
menjadi tidak sah karena alasan tertentu, misalanya cacat dalam tata
peneguhan. Halangan ini muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan
atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan
persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. Konkubinat
dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak orang.
Adopsi (bdk. kan. 1094):
Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai
pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis
menyamping tingkat kedua. Menurut norma ini pihak yang mengadopsi
dihalangi untuk menikah dengan anak yang diadopsi, dan anak yang
diadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak-anak yang dilahirkan dari
orang tua yang mengadopsi dia. Alasannya karena adopsi mereka menjadi
saudara-saudari se keturunan.
II. Cacat konsensus
Adalah (lih. Kitab Hukum Kanonik kann. kann 1095-1107): 1) Kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat, 2) Cacat yang parah dalam hal pertimbangan (grave defect of discretion of judgement), 3) Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan, 4) Ketidaktahuan (ignorance) akan hakekat perkawinan, 5) Salah orang, 6) Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama, 7) Penipuan/ dolus,
8) Simulasi total/ hanya sandiwara untuk keperluan tertentu seperti
untuk mendapat ijin tinggal/ kewarganegaraan tertentu, 9) Simulasi
sebagian, seperti: Contra bonum polis: dengan maksud dari awal untuk tidak mau mempunyai keturunan; Contra bonum fidei: tidak bersedia setia/ mempertahankan hubungan perkawinan yang eksklusif hanya untuk pasangan; Contra bonum sacramenti: tidak menghendaki hubungan yang permanen/ selamanya; Contra bonum coniugum:
tidak menginginkan kebaikan pasangan, contoh menikahi agar pasangan
dijadikan pelacur, dst, 10) Menikah dengan syarat kondisi tertentu, 11)
Menikah karena paksaan, 12) Menikah karena ketakutan yang sangat akan ancaman tertentu
III. Cacat forma kanonika
Adalah
(lih. Kann 1108-1123): Pada dasarnya pernikahan diadakan berdasarkan
cara kanonik Katolik, di depan otoritas Gereja Katolik dan dua orang
saksi. Maka Pernikahan antara dua pihak yang dibaptis, yaitu satu pihak
Katolik dan yang lain Kristen non- Katolik, memerlukan izin dari pihak
Ordinaris Gereja Katolik (pihak keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan). Sedangkan pernikahan antara pihak yang dibaptis Katolik dengan pihak yang tidak dibaptis (non Katolik dan non- Kristen) memerlukan dispensasi dari pihak Ordinaris.
Kasus-Kasus Pembatalan Perkawinan Kanonik
Dalam konteks studi hukum gereja, kasus pembatalan perkawinan kanonik
adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan itu tidak sah sehingga tidak tercipta sebuah
perkawinan. Jika pasangan suami – isteri telah menikah secara kanonik
telah berpisah dan berdamai kembali menjadi tidak mungkin, kasus-kasus
itu disampaikan pada kuasa Gereja untuk diselidiki. Kuasa Gereja yang
dimaksudkan adalah Tribunal Perkawinan Keuskupan (memang tidak semua
keuskupan memiliki Tribunal karena keterbatasan tenaga ahli). Dalam
proses anulasi perkawinan itu jika terbukti dan perjanjian perkawinan
itu dinyatakan batal maka pihak-pihak yang berperkara bebas membangun
kehidupan perkawinan yang baru.
Jenis-jenis kasus pembatalan perkawinan
Kanon 1057, KHK 1983, menyatakan ada tiga syarat dasar supaya sebuah
perkawinan sah kanonik. Tiga syarat itu adalah: (1) adanya saling
kesepakatan tanpa cacat mendasar untuk perkawinan, (2) dilaksanakan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai kemampuan
legitim untuk melaksanakan perkawinan itu, yakni tidak terhalang oleh
halangan yang menggagalkan dari hukum ilahi atau hukum positif (gerejawi
dan sipil); (3) secara publik dilaksanakan dengan tata peneguhan yang
diwajibkan hukum, yakni sebagaimana dituntut oleh hukum gereja atau
negara. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa ada 3 hal yang dapat
membatalkan perkawinan:
a. Kasus karena cacat dalam kesepakatan perkawinan,
b. Kasus karena halangan yang menggagalkan,
c. Kasus karena cacat atau ketiadaan tata peneguhan kanonik.
Perkawinan yang dapat dinyatakan batal oleh Tribunal perkawinan
Kanon 1671 dan 1476 menegaskan bahwa perkara-perkara perkawinan
orang-orang yang telah dibaptis dari haknya sendiri merupakan wewenang
hakim gerejawi dan siapapun baik dibaptis maupun tidak, dapat menggugat
di pengadilan. Adapun pihak tergugat secara legitim harus menjawabnya.
Dengan demikian perkawinan apa saja, di mana salah satu pihak sudah
dibaptis dapat dinyatakan batal oleh tribunal perkawinan gerejawi.
Siapa saja yang dapat meminta pembatalan perkawinan?
Kanon 1674 menyatakan: yang dapat menggugat perkawinan adalah (1)
pasangan suami-isteri; (2) promotor iustitiae, jika nullitasnya sudah
tersiar apabila perkawinan itu tidak dapat atau tidak selayaknya
disahkan. Dengan demikian entah pihak manapun yang berperkara bahkan
pihak yang tidak terbaptis dapat membawa perkaranya ke Tribunal
perkawinan Gerejawi untuk memohon pembatalan perkawinan (bahkan jika ia
yang menyebabkan batalnya perkawinan). Namun demikian usaha untuk rujuk
kembali perlu diusahakan pihak-pihak yang bersengketa. Ini adalah tugas
pastoral kristiani dan utama bagi Pastor dan umat beriman. Di beberapa
negara hukum sipil menuntut bahwa sebelum pasangan suami isteri memulai
proses perceraian, mereka harus terlebih dahulu menghadap panitia rujuk
kembali (di Indonesia belum ada), badan yang didirikan oleh Pemerintah
(Gereja). Sebenarnya tiap keuskupan bahkan paroki bisa mendirikan
sendiri semacam komisi rujuk (perdamaian), baru setelah badan itu
menyatakan tidak mampu mendamaikan pasangan itu, mereka bisa meminta
untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Sebagai catatan penting: sebuah
tribunal gerejawi hanya akan memulai sidang-sidang perkara perkawinan
jika usaha rujuk kembali praktis sudah tidak mungkin lagi.
Bagaimana kasus pembatalan perkawinan ditangani?
Perkara pembatalan perkawinan dapat ditangani melalui peradilan
gereja (Tribunal perkawinan) atau di luar pengadilan maksudnya
diputuskan oleh Ordinaris wilayah. Ada dua macam proses peradilan yakni:
proses biasa sebagaimana dalam proses peradilan Gereja (bdk kann
1671-1685) dan proses dokumental (bdk, kann. 1686-1688). Proses biasa
digunakan untuk semua kasus, kecuali untuk perkara yang penyebabnya
adalah halangan yang menggagalkan, atau cacat dalam tata peneguhan yang
sah atau perwakilan secara tidak sah dan ada bukti-bukti dokumental.
Sedangkan perkara tidak adanya sama sekali tata-peneguhan yang sah di
luar pengadilan.
Pernyataan pembatalan perkawinan (Surat bebas untuk melangsungkan perkawinan baru)
Sebuah dekret pernyataan pembatalan perkawinan adalah sebuah
pengakuan yang dibuat oleh Hakim gerejawi dalam sebuah kalimat
peradilan. Pernyataan itu diperkuat oleh hakim pengadilan gerejawi lain
bahwa pengakuan itu telah terbukti dengan kepastian moral bahwa ketika
perkawinan dilangsungkan ada suatu penyebab pembatalan. Dalam ranah
hukum kanonik, [artinya salah satu atau keduanya (yaitu suami dan istri)
tersebut adalah Katolik], jika perkawinan mereka sama sekali tidak
diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik, maka persatuan itu bukanlah
sebuah perkawinan. Karena dilaksanakan secara tidak sah, maka tidak bisa
disebut sama sekali sebagai sebuah perkawinan. Persatuan semacam itu
tidak bisa dinyatakan batal, tetapi bila mau diadakan sebuah
penyelidikan, seperti misalnya penyelidikan pertunangan biasa yang
menyatakan tidak adanya tata peneguhan kanonik dan bisa dibuktikan, lalu
bisa diberikan surat bebas untuk menikah kembali kepada pihak yang
bersangkutan oleh Ordinaris wilayah. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
kasus ini diurus secara luar peradilan maksudnya tanpa formalitas
peradilan (proses dokumental kann. 1686-1688).
Sumber : www.Katolisitas.org
SHARE THIS
Romo RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. adalah Hakim Tribunal Keuskupan Denpasar dan Regio Gerejawi Nusra, Sekretaris Komisi Seminari KWI, BKBLII dan pengurus UNIO Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Gereja di Universitas Pontifikal Urbaniana, Roma 2001.