(Oleh : Sr. Maria Skolastika, P.Karm)
"Makan yang enak, ya Nak," ujar seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil.
Ibu itu masih muda, namun kerut merut penderitaan hidup memenuhi wajahnya yang
kelihatan jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Pakaiannya yang kotor kumal
sekali-kali diusapkan ke wajah anaknya yang berkeringat, belaian sayang yang
akan selalu teringat. Mereka makan dengan lahap dan gembira, duduk asyik di
pinggiran jalan kota metropolitan, bagai jutawan makan di hotel berbintang.
Padahal sementara itu, deru debu kendaraan bermotor hingar kotor di sekeliling
mereka. Udara penuh dengan polusinya, polusi suara sampai debu, yang tebal bak
prahara kelabu.
"Habis, Mak!" seru si kecil lucu dengan tatapannya yang lugu. Senyum puas
tersungging di bibirnya, menunjukkan perutnya yang kenyang. Ibu itu pun
tersenyum, gembira melihat sukacita anaknya. Siang semakin panas, mata semakin
berat, akhirnya si kecil pun tertidur pulas dalam pelukan erat ibunya. Wajahnya
damai, walau di sekitarnya begitu ramai, walau hidupnya begitu capai, walau
nanti malam akan makan atau tidak entah tak tahu lagi...
Betapa indahnya saat kita bisa seperti si kecil itu. Menyadari perut rohani
kita yang kenyang, dipenuhi dengan berbagai rahmat dan karunia dari Bapa
tercinta. Dunia yang panas membuat mata kita semakin berat, terpejam bagi
dunia, dan tidur pulas dalam rangkulan ilahi.
1. Menyadari Rahmat Allah
Dunia terus berputar, matahari terus bersinar, dan selama itu pula kasih Allah
terus memancar tanpa pernah pudar. Hari ke hari, waktu ke waktu, kasih dan
rahmat-Nya terus mengalir memenuhi setiap insan manusia di dunia.
Pada saat malam mulai merambat, bumi berselimutkan bintang, dan burung-burung
terlelap nyenyak di sarangnya, alangkah indahnya jika jiwa pun mengheningkan
diri. Pada saat itulah kita mulai merenungkan segala peristiwa yang terjadi
sepanjang hari itu...
"Ketika fajar mulai menyingsing, jemari surya ilahi menyentuh lembut kelopak
mata, membangunkan tidur yang lelap sepanjang malam.
"Ketika burung mulai berkicau, tangan kasih ilahi menabur berkat, di atas meja
pun tersedia sepiring nasi hangat."
"Ketika kesibukan pekerjaan membingungkan diri, Sang Kebijaksanaan setia
mendampingi, dengan sabar menolong setiap hal memberi solusi".
"Ketika tiba-tiba siang terasa lengang, hati menjadi sepi dalam gersang, Sang
Penghibur menatap penuh kasih sayang, menyenandungkan nyanyian cinta yang
membuat hati melayang."
Hingga ketika akhirnya malam semakin larut, bunga-bunga kuncup mengerut, Bapa
yang baik itu pun menidurkan kita dengan lembut, membisikkan kata-kata cinta
yang tak tersahut."
Seandainya saja, semua manusia di dunia ini menyadari, betapa besar kasih Allah
kepadanya, betapa setia Allah kepadanya, dan betapa banyak rahmat Allah
baginya, tentu ia dapat tidur nyenyak dalam gendongan-Nya, menikmati perut
rohaninya yang sudah kenyang. Bukankah seringkali penderitaan itu ada karena
kita lebih memperhatikan yang pahit daripada yang manis? Lebih memikirkan yang
menyedihkan ketimbang mengingat yang menyenangkan? Lebih berputar-putar pada
kelemahan dan ketakberdayaan kita daripada mensyukuri segala rahmat Allah dan
bergantung penuh kepada-Nya?
Apa jadinya jika si kecil dalam cerita di atas, lebih melihat raut tertekan
orang-orang yang macet di jalan daripada senyum hangat ibunya? Lebih melihat
seonggok sampah di pinggiran daripada segenggam nasi di tangannya? Lebih
melihat debu jalanan ketimbang taburan kasih ilahi yang menyelimuti hatinya? Si
kecil itu terpulas damai, karena mulut mungilnya tidak menuntut apa-apa, karena
hati kecilnya tidak menginginkan apa-apa. Ia hanya menerima saja dengan gembira
semua yang diberikan kepadanya.
2. Hidup di hadirat Allah
"VIVIT DOMINUS IN CUIUS CONSPECTU STO," demikian semboyan hidup anggota KTM
yang berarti, "ALLAH HIDUP, DAN AKU BERDIRI DI HADAPAN-NYA." Bagaimana caranya
menghayati keseharian kita dengan hidup di hadirat Allah? Ada begitu banyak
cara untuk itu. Salah satunya adalah dengan menyadari kehadiran Allah sepanjang
hari. Sudahkah itu kita lakukan?
Setiap hari mentari terbit di ufuk timur, bergulir cepat melintasi hari, dan
tiba-tiba kita temukan hari sudah malam. Ketika bumi bermantolkan cakrawala
berhias bintang, embun malam bergayut tenang di ujung dedaunan, dan serangga
malam bernyanyi riang, adakah yang memperhatikan? Ataukah kita tenggelam dalam
keletihan, berkeluh kesah dengan kegagalan, marah jengkel terhadap sesama,
meluap kecewa dengan situasi? Saat hati bergemuruh dengan segala sesuatu yang
bukan Allah, entah sibuk dengan diri sendiri, entah terpancang pikiran ke
pekerjaan, atau apa saja, bagaimana mungkin jiwa dapat tinggal tenang di
hadirat Allah?
Melihat tangan kasih-Nya yang berkarya dalam kehidupan, memandang alam semesta
yang merupakan jejak cinta-Nya, itulah yang akan mengangkat hati kita ke
hadirat Allah. Jika direnungkan, bukankah sepanjang hari dalam kehidupan ini
kita bertaburan siraman cintakasih Allah? Saat terbangun pagi hari dan kita
dapati tubuh yang sehat, udara segar terhirup memenuhi rongga dada, mata yang
dapat melihat warna-warni bunga di taman, itulah mukjizat cinta Allah. Belum
lagi makanan yang selalu tersedia bagi kita, teman-teman, pekerjaan, dan
bagaimana Tuhan menolong dalam setiap kesulitan, semua itu membuka mata hati
kita untuk melihat, bahwa Allah sungguh hidup! Dan lebih dari itu, Ia mengasihi
kita.
Jika setiap waktu kita dapat melihat setiap pemberian Tuhan dalam hidup kita,
betapa hati kita akan meluap dengan syukur. Hati melambung dengan pujian
terhantar ke hadirat Allah. Betapa tidak, karena saat itulah kita sadari jiwa
dipenuhi dengan rahmat dan kasih karunia. Semua itu bagai bunga-bunga yang
bermekaran di taman jiwa, memancarkan keharuman surgawi nan semerbak. Sukacita
pun lahir bukan karena harta, bukan karena tiada derita, melainkan semata
karena Sang Cinta.
3. Berlatih Hidup di Hadirat Allah
Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan hidup di hadirat Allah? Hidup di hadirat
Allah berarti senantiasa menyadari kehadiran Allah, dengan berusaha mengarahkan
hati dan pikiran selalu kepada Dia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Beata
Elisabeth dari Trinitas, hati kita adalah tempat kediaman Allah Tritunggal
Mahakudus, Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Kapan pun dan di mana pun, Ia tidak
pernah meninggalkan kita. Elisabeth dari Trinitas ini mencapai kekudusannya
dengan jalan senantiasa menyadari kehadiran Allah yang bersemayam di hati-Nya.
"Hidup di hadirat Allah berarti hidup dalam kesucian yang besar," demikian
ungkap Br. Lawrence dari Kebangkitan, seorang karmelit yang hidup di sekitar
abad ke-16.
Untuk bisa tinggal di hadirat Allah, kita perlu melatih diri. Doa Yesus
sepanjang hari adalah salah satu cara untuk dapat selalu hidup di hadirat
Allah. Selain itu kita juga bisa membiasakan diri bercakap-cakap dengan rendah
hati namun penuh cintakasih kepada Dia di segala waktu; terlebih saat dalam
godaan, penderitaan, kekeringan, kecemasan, bahkan ketika kita sedang tidak
setia dan berdosa. Dengan hati dan pikiran yang selalu terarah kepada Tuhan,
kita membuat seluruh keberadaan kita menjadi sebuah percakapan kecil dengan
Allah; suatu komunikasi yang lahir dari hati yang murni dan sederhana. Hati
kita pun akan menjadi lebih lepas bebas dan damai, tidak lagi terbeban dengan
berbagai masalah duniawi.
Latihan ini perlu dilakukan dengan setia, agar akhirnya menjadi suatu
kebiasaan. Apabila kita setia melakukan latihan ini, maka hati akan terangkat
kepada Allah, dan jiwa mengalami damai dan sukacita di dalam Allah, bahkan
sekali pun kita tidak sedang berdoa. Segala pekerjaan dilakukan dengan tenang,
lembut, dan penuh cintakasih, sebagai persembahan kepada Allah sebagaimana yang
diteladankan oleh St. Theresia dari Lisieux. Perhatian yang terus menerus
kepada Tuhan ini juga akan dapat memenggal kepala si jahat yang selalu
mengintai dan menanti kelemahan kita.
Setiap kali ada kesempatan, Allah akan senang sekali jika kita menyempatkan
diri untuk menyembah Dia yang hadir di kedalaman hati kita. Ini menunjukkan
bahwa kita menyadari Ia hadir di sepanjang aktivitas kita. Walaupun sebentar
saja, kita dapat masuk ke dalam hati kita, menjumpai Dia yang bersemayam di
sana. Di sanalah jiwa berbicara dari hati ke hati dengan Allah dan menikmati
kemuliaan Allah di lubuk hati yang terdalam.
Memang, latihan ini bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, kita tidak usah
berkecil hati jika mengalami kegagalan. Bila jatuh, bangkit lagi dan coba lagi,
sebab kebiasaan ini akan lahir dari adanya usaha. Apabila sudah berhasil kelak,
kita akan mendapatkan kepuasan ilahi, karena dapat mencintai Allah di atas
segalanya; dapat menyadari kehadiran-Nya dan limpahan kasih-Nya terus menerus.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Elisabeth dari Trinitas, "Jiwa Karmelit adalah
jiwa yang senantiasa menyadari kehadiran Allah di lubuk jiwanya, dan yang
matanya selalu menatap ke surga."
4. Senantiasa Bersyukur
"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di
dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tes.5:18) Mengucap syukur dalam segala hal
akan sangat menolong kita untuk dapat tinggal diam di hadirat Allah. Tanpa kita
sadari, seringkali semakin hari kita semakin jauh dari Allah karena kita kurang
bersyukur.
"Ketika segala sesuatu berhasil dan berjalan sesuai dengan rencana, tanpa rasa
syukur kita akan tenggelam dalam kesombongan dan kebanggaan diri yang sia-sia."
Ketika kita berjumpa dengan kegagalan dan kejatuhan, tanpa rasa syukur kita
akan tenggelam dalam keterpurukan dan penyesalan diri yang berkepanjangan."
Ketika perpisahan yang tak pernah kita inginkan akhirnya terjadi, tanpa rasa
syukur kita akan tenggelam dalam kehilangan dan kesepian diri yang tak
bertepi."
Ketika hari-hari kita lalui begitu saja tanpa rasa syukur, tiba-tiba kita
temukan diri kita sudah tenggelam dalam lingkaran waktu yang tak bermakna."
Bersyukur atas segala peristiwa berarti menerima dengan rela dan gembira setiap
kehendak Allah yang terjadi dalam hati kita, menerima segala sesuatu yang Tuhan
berikan kepada kita. Inilah yang akan menolong kita pula untuk bisa diam di
hadirat Allah. Tanpa pemberontakan tanpa kekuatiran, kita benamkan jiwa kita ke
dalam samudera kasih ilahi.
Tengoklah kembali dua insan ibu dan anak miskin yang duduk di pinggiran jalan
kota metropolitan. Sebuah motor tanpa knalpot menderu keras di depan mereka,
membangunkan si kecil yang sedang terlelap. Matanya sedikit mengejap, lalu ia
pun tertidur kembali dengan enaknya, sambil berkata lirih, "Makanan tadi enak,
ya Mak..."
Sharing :
* Bagaimana pengalaman Anda dalam usaha untuk selalu hidup di hadirat Allah?
Menurut Anda hidup di hadirat Allah itu sulit atau mudah? Sharingkanlah hal
tersebut.
* Pernahkah Anda mengucap syukur untuk sesuatu yang tidak menyenangkan?
Bagaimana pengalaman Anda saat itu?
Ibu itu masih muda, namun kerut merut penderitaan hidup memenuhi wajahnya yang
kelihatan jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Pakaiannya yang kotor kumal
sekali-kali diusapkan ke wajah anaknya yang berkeringat, belaian sayang yang
akan selalu teringat. Mereka makan dengan lahap dan gembira, duduk asyik di
pinggiran jalan kota metropolitan, bagai jutawan makan di hotel berbintang.
Padahal sementara itu, deru debu kendaraan bermotor hingar kotor di sekeliling
mereka. Udara penuh dengan polusinya, polusi suara sampai debu, yang tebal bak
prahara kelabu.
"Habis, Mak!" seru si kecil lucu dengan tatapannya yang lugu. Senyum puas
tersungging di bibirnya, menunjukkan perutnya yang kenyang. Ibu itu pun
tersenyum, gembira melihat sukacita anaknya. Siang semakin panas, mata semakin
berat, akhirnya si kecil pun tertidur pulas dalam pelukan erat ibunya. Wajahnya
damai, walau di sekitarnya begitu ramai, walau hidupnya begitu capai, walau
nanti malam akan makan atau tidak entah tak tahu lagi...
Betapa indahnya saat kita bisa seperti si kecil itu. Menyadari perut rohani
kita yang kenyang, dipenuhi dengan berbagai rahmat dan karunia dari Bapa
tercinta. Dunia yang panas membuat mata kita semakin berat, terpejam bagi
dunia, dan tidur pulas dalam rangkulan ilahi.
1. Menyadari Rahmat Allah
Dunia terus berputar, matahari terus bersinar, dan selama itu pula kasih Allah
terus memancar tanpa pernah pudar. Hari ke hari, waktu ke waktu, kasih dan
rahmat-Nya terus mengalir memenuhi setiap insan manusia di dunia.
Pada saat malam mulai merambat, bumi berselimutkan bintang, dan burung-burung
terlelap nyenyak di sarangnya, alangkah indahnya jika jiwa pun mengheningkan
diri. Pada saat itulah kita mulai merenungkan segala peristiwa yang terjadi
sepanjang hari itu...
"Ketika fajar mulai menyingsing, jemari surya ilahi menyentuh lembut kelopak
mata, membangunkan tidur yang lelap sepanjang malam.
"Ketika burung mulai berkicau, tangan kasih ilahi menabur berkat, di atas meja
pun tersedia sepiring nasi hangat."
"Ketika kesibukan pekerjaan membingungkan diri, Sang Kebijaksanaan setia
mendampingi, dengan sabar menolong setiap hal memberi solusi".
"Ketika tiba-tiba siang terasa lengang, hati menjadi sepi dalam gersang, Sang
Penghibur menatap penuh kasih sayang, menyenandungkan nyanyian cinta yang
membuat hati melayang."
Hingga ketika akhirnya malam semakin larut, bunga-bunga kuncup mengerut, Bapa
yang baik itu pun menidurkan kita dengan lembut, membisikkan kata-kata cinta
yang tak tersahut."
Seandainya saja, semua manusia di dunia ini menyadari, betapa besar kasih Allah
kepadanya, betapa setia Allah kepadanya, dan betapa banyak rahmat Allah
baginya, tentu ia dapat tidur nyenyak dalam gendongan-Nya, menikmati perut
rohaninya yang sudah kenyang. Bukankah seringkali penderitaan itu ada karena
kita lebih memperhatikan yang pahit daripada yang manis? Lebih memikirkan yang
menyedihkan ketimbang mengingat yang menyenangkan? Lebih berputar-putar pada
kelemahan dan ketakberdayaan kita daripada mensyukuri segala rahmat Allah dan
bergantung penuh kepada-Nya?
Apa jadinya jika si kecil dalam cerita di atas, lebih melihat raut tertekan
orang-orang yang macet di jalan daripada senyum hangat ibunya? Lebih melihat
seonggok sampah di pinggiran daripada segenggam nasi di tangannya? Lebih
melihat debu jalanan ketimbang taburan kasih ilahi yang menyelimuti hatinya? Si
kecil itu terpulas damai, karena mulut mungilnya tidak menuntut apa-apa, karena
hati kecilnya tidak menginginkan apa-apa. Ia hanya menerima saja dengan gembira
semua yang diberikan kepadanya.
2. Hidup di hadirat Allah
"VIVIT DOMINUS IN CUIUS CONSPECTU STO," demikian semboyan hidup anggota KTM
yang berarti, "ALLAH HIDUP, DAN AKU BERDIRI DI HADAPAN-NYA." Bagaimana caranya
menghayati keseharian kita dengan hidup di hadirat Allah? Ada begitu banyak
cara untuk itu. Salah satunya adalah dengan menyadari kehadiran Allah sepanjang
hari. Sudahkah itu kita lakukan?
Setiap hari mentari terbit di ufuk timur, bergulir cepat melintasi hari, dan
tiba-tiba kita temukan hari sudah malam. Ketika bumi bermantolkan cakrawala
berhias bintang, embun malam bergayut tenang di ujung dedaunan, dan serangga
malam bernyanyi riang, adakah yang memperhatikan? Ataukah kita tenggelam dalam
keletihan, berkeluh kesah dengan kegagalan, marah jengkel terhadap sesama,
meluap kecewa dengan situasi? Saat hati bergemuruh dengan segala sesuatu yang
bukan Allah, entah sibuk dengan diri sendiri, entah terpancang pikiran ke
pekerjaan, atau apa saja, bagaimana mungkin jiwa dapat tinggal tenang di
hadirat Allah?
Melihat tangan kasih-Nya yang berkarya dalam kehidupan, memandang alam semesta
yang merupakan jejak cinta-Nya, itulah yang akan mengangkat hati kita ke
hadirat Allah. Jika direnungkan, bukankah sepanjang hari dalam kehidupan ini
kita bertaburan siraman cintakasih Allah? Saat terbangun pagi hari dan kita
dapati tubuh yang sehat, udara segar terhirup memenuhi rongga dada, mata yang
dapat melihat warna-warni bunga di taman, itulah mukjizat cinta Allah. Belum
lagi makanan yang selalu tersedia bagi kita, teman-teman, pekerjaan, dan
bagaimana Tuhan menolong dalam setiap kesulitan, semua itu membuka mata hati
kita untuk melihat, bahwa Allah sungguh hidup! Dan lebih dari itu, Ia mengasihi
kita.
Jika setiap waktu kita dapat melihat setiap pemberian Tuhan dalam hidup kita,
betapa hati kita akan meluap dengan syukur. Hati melambung dengan pujian
terhantar ke hadirat Allah. Betapa tidak, karena saat itulah kita sadari jiwa
dipenuhi dengan rahmat dan kasih karunia. Semua itu bagai bunga-bunga yang
bermekaran di taman jiwa, memancarkan keharuman surgawi nan semerbak. Sukacita
pun lahir bukan karena harta, bukan karena tiada derita, melainkan semata
karena Sang Cinta.
3. Berlatih Hidup di Hadirat Allah
Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan hidup di hadirat Allah? Hidup di hadirat
Allah berarti senantiasa menyadari kehadiran Allah, dengan berusaha mengarahkan
hati dan pikiran selalu kepada Dia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Beata
Elisabeth dari Trinitas, hati kita adalah tempat kediaman Allah Tritunggal
Mahakudus, Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Kapan pun dan di mana pun, Ia tidak
pernah meninggalkan kita. Elisabeth dari Trinitas ini mencapai kekudusannya
dengan jalan senantiasa menyadari kehadiran Allah yang bersemayam di hati-Nya.
"Hidup di hadirat Allah berarti hidup dalam kesucian yang besar," demikian
ungkap Br. Lawrence dari Kebangkitan, seorang karmelit yang hidup di sekitar
abad ke-16.
Untuk bisa tinggal di hadirat Allah, kita perlu melatih diri. Doa Yesus
sepanjang hari adalah salah satu cara untuk dapat selalu hidup di hadirat
Allah. Selain itu kita juga bisa membiasakan diri bercakap-cakap dengan rendah
hati namun penuh cintakasih kepada Dia di segala waktu; terlebih saat dalam
godaan, penderitaan, kekeringan, kecemasan, bahkan ketika kita sedang tidak
setia dan berdosa. Dengan hati dan pikiran yang selalu terarah kepada Tuhan,
kita membuat seluruh keberadaan kita menjadi sebuah percakapan kecil dengan
Allah; suatu komunikasi yang lahir dari hati yang murni dan sederhana. Hati
kita pun akan menjadi lebih lepas bebas dan damai, tidak lagi terbeban dengan
berbagai masalah duniawi.
Latihan ini perlu dilakukan dengan setia, agar akhirnya menjadi suatu
kebiasaan. Apabila kita setia melakukan latihan ini, maka hati akan terangkat
kepada Allah, dan jiwa mengalami damai dan sukacita di dalam Allah, bahkan
sekali pun kita tidak sedang berdoa. Segala pekerjaan dilakukan dengan tenang,
lembut, dan penuh cintakasih, sebagai persembahan kepada Allah sebagaimana yang
diteladankan oleh St. Theresia dari Lisieux. Perhatian yang terus menerus
kepada Tuhan ini juga akan dapat memenggal kepala si jahat yang selalu
mengintai dan menanti kelemahan kita.
Setiap kali ada kesempatan, Allah akan senang sekali jika kita menyempatkan
diri untuk menyembah Dia yang hadir di kedalaman hati kita. Ini menunjukkan
bahwa kita menyadari Ia hadir di sepanjang aktivitas kita. Walaupun sebentar
saja, kita dapat masuk ke dalam hati kita, menjumpai Dia yang bersemayam di
sana. Di sanalah jiwa berbicara dari hati ke hati dengan Allah dan menikmati
kemuliaan Allah di lubuk hati yang terdalam.
Memang, latihan ini bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, kita tidak usah
berkecil hati jika mengalami kegagalan. Bila jatuh, bangkit lagi dan coba lagi,
sebab kebiasaan ini akan lahir dari adanya usaha. Apabila sudah berhasil kelak,
kita akan mendapatkan kepuasan ilahi, karena dapat mencintai Allah di atas
segalanya; dapat menyadari kehadiran-Nya dan limpahan kasih-Nya terus menerus.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Elisabeth dari Trinitas, "Jiwa Karmelit adalah
jiwa yang senantiasa menyadari kehadiran Allah di lubuk jiwanya, dan yang
matanya selalu menatap ke surga."
4. Senantiasa Bersyukur
"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di
dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tes.5:18) Mengucap syukur dalam segala hal
akan sangat menolong kita untuk dapat tinggal diam di hadirat Allah. Tanpa kita
sadari, seringkali semakin hari kita semakin jauh dari Allah karena kita kurang
bersyukur.
"Ketika segala sesuatu berhasil dan berjalan sesuai dengan rencana, tanpa rasa
syukur kita akan tenggelam dalam kesombongan dan kebanggaan diri yang sia-sia."
Ketika kita berjumpa dengan kegagalan dan kejatuhan, tanpa rasa syukur kita
akan tenggelam dalam keterpurukan dan penyesalan diri yang berkepanjangan."
Ketika perpisahan yang tak pernah kita inginkan akhirnya terjadi, tanpa rasa
syukur kita akan tenggelam dalam kehilangan dan kesepian diri yang tak
bertepi."
Ketika hari-hari kita lalui begitu saja tanpa rasa syukur, tiba-tiba kita
temukan diri kita sudah tenggelam dalam lingkaran waktu yang tak bermakna."
Bersyukur atas segala peristiwa berarti menerima dengan rela dan gembira setiap
kehendak Allah yang terjadi dalam hati kita, menerima segala sesuatu yang Tuhan
berikan kepada kita. Inilah yang akan menolong kita pula untuk bisa diam di
hadirat Allah. Tanpa pemberontakan tanpa kekuatiran, kita benamkan jiwa kita ke
dalam samudera kasih ilahi.
Tengoklah kembali dua insan ibu dan anak miskin yang duduk di pinggiran jalan
kota metropolitan. Sebuah motor tanpa knalpot menderu keras di depan mereka,
membangunkan si kecil yang sedang terlelap. Matanya sedikit mengejap, lalu ia
pun tertidur kembali dengan enaknya, sambil berkata lirih, "Makanan tadi enak,
ya Mak..."
Sharing :
* Bagaimana pengalaman Anda dalam usaha untuk selalu hidup di hadirat Allah?
Menurut Anda hidup di hadirat Allah itu sulit atau mudah? Sharingkanlah hal
tersebut.
* Pernahkah Anda mengucap syukur untuk sesuatu yang tidak menyenangkan?
Bagaimana pengalaman Anda saat itu?
Sumber: Majalah Rohani Vacare Deo ( www.holytrinitycarmel.com ) Edisi : April 2006