Ekaristi adalah Komuni Kudus


“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini, ingin kukenang selalu

Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu….”

Lagu Iwan Fals ini mungkin akrab di telinga kita. Mungkin karena begitu tepat liriknya mewakili perasaan kita, maka lagu ini begitu populer dan mudah diingat di luar kepala. Ya, memang, kita ingin selalu dekat dengan orang yang kita kasihi.
Inilah yang juga menjadi kehendak Tuhan Yesus bagi kita umat-Nya yang dikasihi-Nya. Yesus ingin selalu hadir di tengah kita, dekat dengan kita, bahkan menjadi satu dengan kita. Kristus menghendaki agar kita selalu mengenang-Nya, dengan mengingat kasih-Nya yang terbesar yang diberikan kepada kita, saat Ia memberikan Tubuh dan Darah-Nya untuk menebus dosa-dosa kita. Pengorbanan-Nya yang tak ternilai harganya ini menjadi tanda cinta-Nya yang tak terbatas kepada Gereja-Nya, yaitu kita semua, anggota- anggota Tubuh-Nya. Oleh kuasa Roh Kudus-Nya, Kristus menghadirkan kembali kurban ini di dalam Ekaristi, untuk maksud yang mulia ini: supaya kita dapat dipersatukan dengan Dia dan mengambil bagian di dalam kehidupan-Nya sendiri; dan dengan demikian sedikit demi sedikit, kita diubah untuk menjadi lebih serupa dengan-Nya.

Sakramen Ekaristi adalah sakramen cinta kasih

Maka, Ekaristi yang mempersatukan kita dengan Kristus, pertama- tama adalah sakramen cinta kasih Allah. Sebab Ekaristi menyatakan ‘kasih yang lebih besar’ yang disebutkan dalam Injil Yohanes, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).[1] Kristus begitu mengasihi kita sahabat-sahabat-Nya, sehingga Ia rela menyerahkan hidup-Nya sendiri, agar kita dapat hidup di dalam Dia. Dalam Ekaristi inilah, kita tidak hanya memperingati kasih pengorbanan Kristus, tetapi juga dapat mengalami kasih-Nya yang tidak terbatas itu, saat kita menyambut Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya ke dalam tubuh, darah, jiwa dan kemanusiaan kita. Begitu besar dan dalamnya anugerah ini, sehingga layaklah kita menyambutnya dengan ucapan syukur kepada Allah. Dan memang inilah arti kata ‘Ekaristi’, yaitu: ucapan syukur kepada Allah.[2] Betapa kita sungguh bersyukur, karena kasih-Nya yang mempersatukan kita dengan Dia.
Oleh karena kasih Allah-lah yang pertama-tama kita rayakan dalam Ekaristi, maka Gereja mengajarkan bahwa sakramen Ekaristi adalah “sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paska, di mana di dalamnya Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan.”[3]

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”

Kristus menggambarkan persatuan antara kita dengan-Nya sebagai persatuan antara ranting-ranting dengan pokok anggur.
Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat bertumbuh dari dirinya sendiri, demikian juga kamu tidak dapat bertumbuh jika kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya. Barang siapa tinggal di dalam Aku, ia akan berbuah banyak. Sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:4-5)
Pernahkah kita renungkan, apakah yang dimaksud dengan “tinggal di dalam” Tuhan Yesus? Mungkin banyak orang mengartikannya, kita tinggal dalam Yesus kalau kita rajin berdoa, membaca Sabda Tuhan, dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ya, semua itu memang mendekatkan kita kepada Tuhan, dan membuat kita hidup di dalam ajaran-Nya.
Namun demikian, secara khusus, Tuhan Yesus menjelaskan secara eksplisit tentang apakah yang dimaksudkan-Nya dengan “tinggal di dalam”-Nya. Kata asli “tinggal” menurut bahasa Yunani adalah ฮผฮต́ฮฝฯ‰, mรฉnō; dan kata yang sama ini digunakan oleh Yesus sewaktu mengajarkan tentang Roti Hidup. Yesus bersabda:
“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:56-57)
Melalui ayat ini Kristus menjelaskan cara yang dikehendaki-Nya, agar Ia dapat tinggal di dalam kita, yaitu dengan kita makan daging-Nya dan minum darah-Nya. Saat Yesus mengajarkan hal ini, banyak orang yang tidak percaya, atau lebih tepatnya, sulit mempercayai ajaran-Nya, sehingga mereka meninggalkan Dia. Namun Yesus tidak mengubah ajaran-Nya, malah Ia bertanya kepada para rasul-Nya, kalau-kalau mereka juga mau pergi meninggalkan Dia. Syukurlah, Rasul Petrus yang mewakili para rasul, menjawab dengan iman, bahwa mereka tetap percaya kepada-Nya, sebab Kristuslah sang empunya sabda kebenaran (lih. Yoh 6:66-69). Iman para rasul inilah yang dilestarikan terus oleh Gereja Katolik,  secara khusus dalam perayaan Ekaristi, yang merayakan kehadiran Kristus di dalam Sabda-Nya dan di dalam perjamuan kudus-Nya.

Komuni Kudus mempersatukan kita dengan Kristus

Sebagaimana perjamuan mengakrabkan seseorang dengan yang lain, demikianlah saat kita menerima Kristus dalam Ekaristi, kita menjadi akrab dan digabungkan dengan Kristus. Perjamuan ini menjadi kenangan yang hidup akan kasih Tuhan Yesus yang demikian besar kepada kita, sampai Ia mau wafat bagi kita. Kristus memandang kita sebagai pemberian Allah Bapa kepada-Nya, sehingga Ia mau selalu tinggal bersama-sama dengan kita (lih. Yoh 17:24). Maka Yesus mengaruniakan Ekaristi kepada kita Gereja-Nya, untuk mempersatukan kita dengan Dia[4], sampai kepada akhir zaman (lih. Mat 28:19-20). Karena di dalam Ekaristi terkandunglah keseluruhan harta rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, maka Ekaristi disebut sebagai ‘sumber dan puncak kehidupan Kristiani’.[5] Demikian juga, karena di dalam Kristus dan misteri Paska-Nya, Allah menyatakan puncak karya keselamatan-Nya, maka perayaan Ekaristi yang menghadirkan kembali misteri Paska Kristus itu secara sakramental, juga merupakan puncak karya Allah untuk menguduskan dunia dan puncak penyembahan umat beriman kepada Kristus, dan melalui Kristus, kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus.[6]
Untuk menangkap kedalaman makna persatuan dan kebersamaan ini, kita perlu merenungkan kedekatan kita dengan orang- orang yang kita kasihi di dunia ini; mungkin saat sebagai orang tua, kita mendekap anak kita, atau kebersamaan antara suami dan istri, atau kedekatan dengan seorang sahabat. Ekaristi adalah persatuan yang melampaui semuanya ini, sebab Ekaristi adalah persatuan dengan Kristus dan melalui Kristus, kita disatukan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Persatuan kita dengan Kristus inilah yang disebut sebagai “Komuni kudus”, yang menjadikan kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya[7] dan dengan demikian, juga mengambil bagian di dalam hidup ilahi-Nya. St. Ignatius dari Antiokhia mengatakan dengan indahnya tentang persatuan kita dengan Kristus ini, “Pada pertemuan-pertemuan ini [perayaan Ekaristi], kamu … memecah roti yang satu, yang adalah obat kekekalan, dan penawar racun yang menyingkirkan kematian, namun menghasilkan hidup di dalam kesatuan dengan Yesus Kristus.”[8] Ya, persekutuan dengan Tubuh dan Darah Kristus, memperteguh persatuan kita dengan Kristus, mengampuni dosa-dosa ringan yang kita lakukan, dan melindungi kita dari dosa berat, sebab dengan menerima sakramen ini, ikatan kasih antara kita dan Kristus diperkuat, dan dengan demikian kesatuan Gereja juga diperteguh.[9]

Ekaristi mempersatukan kita dengan sesama anggota Kristus

Selain mempersatukan kita dengan Kristus, Ekaristi juga mempersatukan kita dengan sesama anggota Tubuh Kristus. Oleh karena kita menerima Kristus yang satu dan sama, kita dipersatukan di dalam Dia yang adalah Sang Kepala kita (lih. Kol 1:18; Ef 5:23). Rasul Paulus mengajarkan, “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1Kor 10:15-16). Ekaristi diberikan sebagai kurban Tubuh dan Darah-Nya, agar dengan mengambil bagian di dalamnya, kita dapat bersatu dengan Kristus dan dengan sesama anggota-Nya menjadi satu Tubuh.[10]
Kita manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi semakin menyerupai Dia, yaitu supaya semakin dapat mengasihi; sebab Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16). Kasih itu mempersatukan, oleh karena itu sebagai manusia kita menginginkan persatuan, baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama kita. Kristus- juga mempunyai kerinduan yang sama: bahwa Ia ingin tinggal bersama semua orang yang percaya kepada-Nya (lih. Yoh 6:56), namun juga Ia ingin agar semua yang percaya kepada-Nya menjadi satu, “Aku berdoa ….juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku …. supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:21). Maka, persatuan kita dengan Kristus, sepantasnya juga membawa persatuan kita dengan semua orang yang percaya kepada-Nya; sebab hal ini merupakan kehendak Kristus sendiri.
Karena Kristus hanya satu dan Tubuh-Nya juga hanya satu, maka satu jugalah kita semua anggota-anggota-Nya, baik Gereja yang masih berziarah di dunia ini, Gereja yang sudah berjaya di surga, maupun Gereja yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Karena semua anggota- anggota Kristus dipersatukan oleh kasih Kristus yang melampaui maut (lih. Rom 8:38-39). Itulah sebabnya di dalam Komuni kudus ini kita mengingat juga persekutuan dengan para kudus di surga, terutama Bunda Maria;[11] dan kita dapat mengajukan intensi doa permohonan bagi saudara- saudari kita yang telah mendahului kita, yaitu mereka yang ‘telah meninggal di dalam Kristus namun yang belum sepenuhnya dimurnikan’ sehingga mereka dapat memasuki terang dan damai Kristus[12] yang kekal dalam kerajaan Surga.

Komuni kudus memelihara hidup ilahi

Persatuan kita dengan Kristus dalam Komuni kudus, “melindungi, menambah, dan membaharui pertumbuhan kehidupan rahmat yang diterima dalam Pembaptisan.”[13] Kita mengetahui bahwa satu berkat tak ternilai dari Pembaptisan adalah: melaluinya kita memperoleh hidup ilahi dan diangkat menjadi anak-anak Allah.[14] Namun seperti halnya dalam kehidupan jasmani kita memerlukan makanan untuk dapat bertahan hidup, demikian pula, dalam kehidupan rohani. Kita memerlukan makanan rohani agar dapat tetap hidup dan bertumbuh secara rohani. Makanan rohani ini adalah Sabda Allah (lih. Mat 4:4) dan Ekaristi (Yoh 6:53-58), yang keduanya kita terima dalam perayaan Ekaristi.
Demikianlah Sabda Tuhan Yesus:
Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Mat 4:4)
Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:53-58)

Komuni kudus bukti kasih Allah dan pengorbanan-Nya

Maka di atas segalanya, Komuni kudus merupakan bukti cinta kasih Allah. Mungkin ada baiknya kita memeriksa diri sendiri, akan apakah yang ada di pikiran kita pada saat kita melihat hosti yang diangkat oleh imam, saat ia, in persona Christi, mengucapkan perkataan konsekrasi, “Inilah Tubuhku yang dikurbankan bagimu….” (lih. Luk 22:19; 1Kor 11:24). Sesungguhnya, tak ada kata yang mampu melukiskan, betapa dalamnya misteri kasih Allah yang tiada terbatas ini. Kristus yang adalah Allah, telah mengosongkan diri-Nya dengan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi manusia. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya, sampai wafat di kayu salib (lih. Flp 2:7-8). Ia membuktikan kasih-Nya yang terbesar, dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita, sahabat-sahabat-Nya (lih. Yoh 15:13). Kini setelah kebangkitan-Nya, Ia masih terus merendahkan diri-Nya, sampai mau hadir di dalam sepotong roti, agar setiap orang yang tergabung di dalam Gereja-Nya, bahkan seorang anak kecil sekalipun, dapat menyambut-Nya, tanpa perlu merasa takut.
Selain kasih dan kerendahan hati, Komuni kudus mengajarkan kepada kita makna pengorbanan. Dengan melihat teladan pemberian diri Kristus kepada kita, maka kita juga didorong untuk memberikan diri kita kepada orang lain, terutama mereka yang kecil, sakit dan miskin. Kitapun dipanggil untuk mengasihi dan mengampuni sesama kita, karena Kristus lebih dahulu mengasihi dan mengampuni kita. Korban Kristus menjadi saksi yang nyata bahwa pengampunan adalah sesuatu yang tidak mustahil dilakukan. Jika kita mau berkorban untuk mengampuni sesama, kita akan dapat memperoleh buahnya, yaitu kasih yang memulihkan dan mempersatukan. Itulah sebabnya keluarga Kristiani, termasuk di dalamnya pasangan suami istri, perlu menimba kekuatan dari Ekaristi; sebab kesatuan antara mereka dengan Kristus dalam Komuni kudus akan memampukan mereka untuk terus saling mengasihi dan mengampuni; sehingga kesatuan kasih mereka selalu dikuatkan.

Komuni kudus = ‘preview‘ persatuan kekal kita dengan Allah di surga kelak

Karena tujuan akhir kita di Surga kelak adalah persatuan dengan Tuhan, maka Komuni kudus yang kita terima di dunia ini adalah semacam kenyataan yang akan mencapai kesempurnaannya di surga kelak. Di Surga memang kita tidak perlu lagi menerima Komuni dalam rupa hosti; sebab pada saat itu kita telah memandang Allah sebagaimana adanya Dia (lih. 1 Yoh 3:2), sehingga aneka gambaran ataupun simbol tidak lagi diperlukan. Di Surgalah tercapai kesempurnaan di mana kita dapat sepenuhnya bersatu dengan Allah yang telah menciptakan kita manusia dalam kesatuan dengan keseluruhan umat manusia.
Maka Ekaristi menuntun kita semua untuk mencapai tujuan akhir, di mana persekutuan dengan Allah dan sesama mencapai kesatuan yang sempurna, yaitu “keadaan persatuan dengan Kristus, yang pada saat yang sama membuatnya mungkin untuk masuk ke dalam kesatuan yang hidup dengan Allah sendiri, sehingga Tuhan dapat menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28).”[15] Katekismus mengajarkan bahwa dengan Komuni kudus kita menerima rahmat ilahi, dan dengan demikian Ekaristi merupakan antisipasi kemuliaan surgawi.[16] Dengan merayakan Ekaristi, kita menantikan dengan rindu kedatangan Penyelamat kita Yesus Kristus, untuk mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya[17]. “Setiap kali misteri ini dirayakan, terlaksanalah karya penebusan kita (LG 3) dan kita memecahkan “satu roti yang merupakan obat kebakaan, penangkal kematian, dan santapan yang membuat kita hidup selama-lamanya dalam Yesus Kristus” (Ignasius dari Antiokia, Eph. 20,2).”[18]
Betapa perlunya kita mengingat hal ini, setiap kali kita menerima Komuni Kudus: bahwa dengan menerima Komuni ini kita menerima ‘obat rohani’ yang menghantar kita ke Surga.

Bagaimana agar kita dapat semakin menghayati Komuni kudus?

Mengingat begitu dalamnya makna Komuni kudus, maka kita perlu mengetahui sedikitnya tiga hal, agar kita dapat semakin menghayatinya:

1. Mempersiapkan diri sebelumnya

Persiapan diri ini yang dimaksud di sini adalah: membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang lebih awal, berpuasa 1 jam sebelum menyambut Ekaristi, memeriksa batin: jika dalam keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima Ekaristi.[19] Selanjutnya, penting agar kita masuk dalam suasana doa, mempersiapkan batin untuk masuk dalam hadirat Tuhan dan menyambut kehadiran-Nya dalam Komuni Kudus.  Maka mengimani dengan sungguh akan kehadiran Yesus dalam rupa roti dan anggur setelah konsekrasi, merupakan prasyarat utama dalam persiapan batin.
Sikap batin yang baik ini juga diwujudkan dengan tidak ‘ngobrol’, tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM, baik sebelum ataupun pada saat perayaan Ekaristi berlangsung. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah kepada Tuhan.

2. Bersikap aktif: tidak hanya menerima tapi juga memberi kepada Tuhan

St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi (lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.). Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban Kristus[20]. Kita membawa segala kurban persembahan kepada Tuhan terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban Yesus. Kristus, satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Partisipasi kita secara aktif dalam kurban Kristus ini bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan di dalam hati, segala perkataan doa yang diucapkan ataupun dinyanyikan.

3. Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus

Untuk menghayati makna Komuni kudus, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus, dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya kepada kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Dengan memusatkan hati kepada Kristus, kita dapat melihat bahwa segala pergumulan kita tidak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun dikuatkan di dalam pengharapan, karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus dapat pula membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.
Sungguh, kasih dan pengorbanan Kristus merupakan sumber kekuatan bagi kita untuk menjalani kehidupan ini. Karena itulah Gereja mengajarkan dalam The Enchiridion of Indulgences (Buku ketentuan mengenai Indulgensi) yang dikeluarkan oleh Vatikan tanggal 29 Juni 1968 (silakan klik), bahwa dengan merenungkan pengorbanan Yesus dan luka-luka-Nya di kayu salib sebagaimana dijabarkan dalam doa yang sederhana berikut ini, kita dapat memperoleh indulgensi. Demikianlah doanya yang mengambil dasar dari kitab Mazmur 22: 17-18:
Lihatlah,  Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, En ego, o bone et dulcissime Iesu.
“Lihatlah, Tuhan Yesus yang baik dan lemah lembut, di hadapan-Mu aku berlutut dan dengan jiwa yang berkobar aku berdoa dan memohon kepada-Mu agar menanamkan di dalam hatiku, citarasa yang hidup akan iman, pengharapan dan kasih, pertobatan yang sungguh dari dosa-dosaku, dan kehendak yang kuat untuk memperbaikinya. Dan dengan kasih dan dukacita yang mendalam, aku merenungkan kelima luka-luka-Mu, yang terpampang di hadapanku, yang tentangnya Raja Daud, nabi-Mu, telah bernubuat tentang Engkau, ya Tuhan Yesus yang baik: “Mereka telah menembusi tanganku dan kakiku dengan paku; mereka telah menghitung semua tulangku….”
Amin.
Indulgensi Penuh dapat diperoleh dengan mengucapkan doa ini pada hari Jumat di masa Prapaska dan setiap hari di dalam dua minggu sebelum Paskah (masa Passiontide), ketika doa ini diucapkan setelah Komuni di hadapan gambar/ image Kristus yang tersalib. Pendarasan doa ini pada hari-hari lainnya, memperoleh indulgensi sebagian. Tentang persyaratan agar memperoleh indulgensi penuh adalah: 1) mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa; 2) menerima Komuni kudus; 3) berdoa bagi intensi Bapa Paus; 4) tidak ada keterikatan terhadap dosa, bahkan dosa ringan.
Dengan mendoakan doa yang singkat di atas, kita diundang untuk meresapkan di dalam hati, bahwa Kristus telah memilih untuk menderita dan menyerahkan nyawa-Nya demi kasih-Nya kepada kita. Betapa kita harus bersyukur atas pengorbanan-Nya itu, yang menyelamatkan kita. Dengan melihat teladan kasih Kristus ini, semoga kita semakin mampu menghindari dosa, dan semakin terdorong untuk lebih mengasihi Tuhan dan sesama kita. Dengan melihat pengorbanan-Nya ini kita dikuatkan untuk juga mau berkorban dalam hidup kita sehari-hari, entah dalam lingkungan keluarga, pekerjaan maupun pergaulan kita dengan sesama.
Di samping itu, perhatian dan penghormatan kepada Kristus mendorong kita untuk berpakaian yang sopan dan layak ke gereja dan untuk sungguh berdoa pada saat kita mengucapkan doa-doa dalam perayaan Ekaristi. Kita harus mengupayakan agar jangan sampai kata-kata doa yang kita ucapkan merupakan kata-kata yang kosong, yang hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh keluar dari hati. Jangan sampai pikiran kita dipenuhi oleh banyak hal lain kecuali Tuhan sendiri. Kita perlu memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita harus mengusahakannya, agar dengan sikap batin yang baik, kita dapat menerima buah-buah sakramen Ekaristi ini tanpa sia- sia.[21]

Kesimpulan

Ekaristi merupakan bukti nyata kasih Kristus yang terbesar, sebab melaluinya Kristus memberikan diri-Nya sendiri kepada kita sahabat-sahabat-Nya. Kasih Kristus ini demikian sempurna, sehingga tidak saja membawa kita mendekat kepada-Nya, namun lebih dari itu, mempersatukan kita dengan Dia. Maka pertama-tama, sakramen Ekaristi adalah sakramen cinta kasih Allah, yang diberikan-Nya agar Ia dapat bersatu dengan kita dan menyertai kita, Gereja-Nya. Oleh karena persatuan inilah, Ekaristi juga disebut sebagai Komuni Kudus. Komuni Kudus adalah cara yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk tinggal di dalam kita dan kita di dalam Dia. Dengan menyambut Komuni Kudus, kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah Kristus dan kita disatukan dengan Kristus dan dengan semua anggota-Nya[22]. Sesuai dengan janji Kristus sendiri, dengan menyambut Tubuh dan Darah Kristus ini, kita memperoleh hidup yang kekal (Yoh 6:54). Dengan digabungkannya kita dengan Kristus, kita memperoleh kekuatan baru untuk mengasihi dan mengampuni, sebagaimana Ia telah lebih dahulu mengasihi dan mengampuni kita. Oleh rahmat-Nya dalam Ekaristi, kita diubah untuk menjadi semakin serupa dengan Dia dalam hal mengasihi. Dalam kasih inilah kesatuan kita dengan Kristus dikukuhkan. Kesatuan antara kita dengan Kristus ini akan mencapai kesempurnaannya di surga kelak, saat Allah menjadi semua di dalam semua (lih. 1Kor 15:28).
Menyadari makna Komuni Kudus ini, mari kita tanyakan kepada diri kita masing- masing, sudahkah kita cukup mempersiapkan diri untuk menyambut-Nya? Mari kita berdoa memohon rahmat Tuhan, agar mata hati kita dicelikkan dan hati kita dikobarkan dalam setiap perayaan Ekaristi, sehingga kita dapat mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh kedua murid Yesus dalam perjalanan ke Emaus: “Mane nobiscum Domine, Tinggallah bersama dengan kami, ya Tuhan Yesus…” (lih. Luk 24:29).

Pertanyaan Permenungan:

  1. Bagaimana kita tahu bahwa Kristus memilih Komuni Kudus untuk bersatu dengan umat-Nya?
  2. Mengapa Ekaristi disebut sebagai ‘sumber dan puncak kehidupan Kristiani’?
  3. Apakah efek dari Komuni Kudus?
  4. Bagaimana Komuni Kudus menjadi bukti kasih Allah dan pengorbanan-Nya?
  5. Bagaimana cara kita untuk semakin menghayati Komuni Kudus?
  6. Doa seperti apakah yang baik untuk didoakan setelah menerima Komuni Kudus?
  7. Apakah hubungan antara Komuni Kudus dengan apa yang terjadi di Sorga?

CATATAN KAKI:
  1. lih. Paus Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis, 1 []
  2. lih. KGK 1328 []
  3. KGK 1323 []
  4. lih. KGK 1391 []
  5. KGK 1324 []
  6. lih. KGK 1325 []
  7. lih. Katekismus Gereja Katolik/ KGK 1331 []
  8. St. Ignatius of Antioch, Letter to the Ephesians, n.20 []
  9. lih. KGK 1416 []
  10. Lih. KGK 1329 []
  11. KGK 1370 []
  12. KGK 1371 []
  13. KGK 1392 []
  14. lih. KGK 1265:  Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi serentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (Bdk. Gal 4:5-7); ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (Bdk. 1 Kor 6:15; 12:27), “ahli waris” bersama Dia (Rm 8:17) dan kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:19). []
  15. Joseph Cardinal Ratzinger (Pope Benedictus XVI), Called to Communion, (San Francisco: Ignatius Press, 1991), p. 33 []
  16. lih. KGK 1402 []
  17. lih. KGK 1040 []
  18. KGK 1405 []
  19. lih. KHK kan 919, 1; KGK 1385 []
  20. lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73 []
  21. lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 11 []
  22. lih. KGK 1331 []


SHARE THIS
Previous Post
Next Post