Latest
Loading...

Website Paroki Santo Stephanus Cilacap

Rm. Carolus OMI Penerima Maarif Award 2012

HIDUPKATOLIK.com - Maarif Award tahun ini dianugerahkan kepada Romo Charles Patrick Edward Burrows OMI dan Pendiri dan Pendiri Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah, Ahmad Bahruddin.

Setelah melalui seleksi sejak Januari 2012, Maarif Institute for Culture and Humanity menetapkan dua orang tersebut sebagai pemenang. Penganugerahan berlangsung di Grand Studio Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu, 26/5. Maarif Award tahun ini adalah yang keempat. Sebelumnya, diberikan pada 2007, 2008, dan 2010.

Maarif Award merupakan bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan memperjuangkan kemanusiaan melalui kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal. Dengan cara ini, mereka ikut berkontribusi terhadap proses pembentukan karakter bangsa di tengah krisis kepemimpinan.

Tujuan penghargaan ini ialah mencari model-model alternatif praktik kepemimpinan lokal yang konsisten menanamkan serta melembagakan nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan keadilan sosial di masyarakat akar rumput serta memperkuat harapan dan optimisme akan masa depan keindonesiaan dan kemanusiaan.

Dalam sambutannya, Romo Carolus berkata, “Saya menyadari bahwa award ini lebih layak diberikan kepada mereka yang tiap hari bekerja keras dan dengan bangga membangun desa masing-masing.”

Selain mendirikan sekolah, Romo Carolus juga membuat jalan agar masyarakat lebih mudah memasarkan hasil pertaniannya ke kota. "Di Eropa, pemerintah yang membuatkan jalan untuk masyarakat. Tetapi, di Indonesia masyarakat sendiri yang mengerjakannya," tukas Romo Carolus.

Ia bercerita, rekan imam di tempatnya berkarya pernah menegurnya saat ia memunculkan ide agar sekolah yang ia dirikan menjadi sekolah inklusif, yaitu menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus. Katanya, "Kamu punya ide bagus, tetapi yang repot dan susah bukan kamu, tetapi para guru. Beban mereka harus ditambah dengan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.”

"Saya adalah inisiator yang 'kurang ajar". Sebab seorang inisiator punya filosofi Tiga D yakni: Decide (memutuskan), Delegate (mendelegasikan), dan Disappear (menghilang),” ujarnya berkelakar, disambut tawa hadirin.

Sementara Bahruddin yang aktif dalam kegiatan pemberdayaan petani dan pendidikan anak-anak melalui lembaga yang didirikannya, Kelompok Belajar Qaryah Thayyibah, di Salatiga, menyampaikan tiga hal. Pertama, hak rakyat adalah hak memperoleh layanan penuh dari negara yang bertanggung jawab untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Kedua, rakyat berhak penuh atas pendidikan. Negara wajib mendukung dan memfasilitasi rakyat untuk mengembangkan imajinasi, kreasi, dan inovasinya sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Ketiga, sungguh tidak tepat jika negara justru mengatur apalagi memaksakan kehendak atas sebuah sistem pendidikan.

Dalam sambutannya, Bahruddin menceritakan bahwa seorang anak asuhannya mampu menyusun sebuah buku cerita komik, sambil menunjukkan buku tersebut. “Saya yakin, jika anak ini masuk sekolah formal, belum tentu dia bisa membuat komik. Sebab di sekolah tidak ada pelajaran komik. Pendidikan harus membantu siswa mengembangkan kreativitasnya. Jika ia mengikuti Ujian Nasional, ia akan menjadi korban. Sebaliknya, jika komik menjadi materi Ujian Nasional, maka akan lebih banyak lagi korban,” ujar Bahruddin disambut tepuk tangan hadirin.

Bahruddin pun menutup sambutannya dengan berkata, "Sudah saatnya Ujian Nasional dihapuskan."

Pendiri Maarif Award, Prof Dr H. Ahmad Syafi’i Ma'arif MA, mengatakan bahwa pilihan terhadap kedua orang ini sangat tepat. "Saya nggak banyak komentar lagi setelah mengetahui mereka menang. Mereka beragama secara otentik. Luar biasa, bahwa Romo Carolus mengatakan: Truk-truk saya lebih Katolik dari saya," katanya.

Stefanus P. Elu

Jakarta (ANTARA News) - Charles Patrick Burrows, OMI dan Ahmad Bahruddin menjadi dua nama penerima penghargaan Maarif Award 2012 yang diumumkan di Studio Metro TV, Jakarta, Sabtu malam.

Charles Patrick Burrrows yang akrab disapa Romo Carolus adalah pastor Paroki St. Stephanus Cilacap, kelahiran Irlandia yang memberdayakan masyarakat Kampung Laut Cilacap sehingga keluar dari jurang kemiskinan.

Sedangkan Ahmad Bahrudin adalah pendiri komunitas petani di Salatiga yang menjadi tempat bertukar ilmu di antara para petani itu.

Pendiri Maarif Award, Syafii Maarif, menyatakan pilihan terhadap kedua orang tersebut sangat tepat dan luar biasa.

"Saya nggak banyak komentar lagi setelah mengetahui mereka pemenang. Mereka beragama secara otentik," kata dia.

Maarif Award adalah ajang penghargaan untuk mencari tokoh lokal yang tidak dimuat media tetapi berkontribusi nyata tanpa melihat latar belakang agama dan sukunya. 

Salah seorang dari lima juri Maarif Award Ahmad Mukhlis Yusuf yang juga Direktur Utama Perum LKBN ANTARA menuturkan bahwa proses penjaringan nomini memakan waktu lima bulan dengan perdebatan panjang. 

"Kedua sosok ini telah berhasil merintis dan membangun karya kemanusiaan yang bersenyawa dengan realitas sosiologis masyarakatnya," kata dia ketika membacakan pemenang Maarif Award.

Juri lainnya adalah Bambang Ismawan (Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya), Clara Joewono (Wakil Ketua Dewan Pembina CSIS), Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah), dan Maria Hartiningsih (Aktivis perempuan dan jurnalis senior).

Maarif Award ini adalah yang keempat setelah 2007, 2008, dan 2010. Adapun tujuannya mencari model alternatif kepemimpinan lokal yang konsisten menanamkan dan melembagakan nilai toleransi, pluralisme, dan keadilan sosial pada masyarakat serta memperkuat optimisme masa depan keindonesiaan.
Editor: Jafar M Sidik

Jakarta (ANTARA News) – Perawakannya besar dan berkulit putih. Rambutnya tipis beruban seperti umumnya orang bule. Dialah Charles Patrick Edward Burrows, OMI.

Akrab disapa Romo Carolus, pria ini adalah pastor Paroki St. Stephanus di Cilacap, Jawa Tengah.  Dia keturunan Irlandia yang telah menjadi WNI sejak 1983.

Sosoknya tidak banyak diangkat oleh media massa tetapi masyarakat Cilacap mulai anak-anak hingga bupati sangat mengenalnya.

Hati Carolus terpaut ketika pada 1973 menginjakkan kakinya di Kampung Laut, sebuah kampung miskin nan terbelakang.

Butuh waktu dua jam berperahu comprang untuk bisa tiba di perkampungan dengan empat desa ini; Ujung Alang, Klaces, Ujung Gagak, dan Penikel. 

Jalan-jalan di kampung ini hanya bisa dilewati dua motor berpapasan.  Di kiri kanannya rawa dan kubangan air laut.

Pria berusia 69 tahun itu bertekad memperbaiki jalan-jalan di Kampung Laut dengan memanfaatkan tanah dan batu-batu cadas di sana.

Romo lalu mendirikan Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) Cilacap untuk lebih mudah mengatur warga yang akan bekerja memperbaiki jalan.

Atas inisiatifnya, seluruh desa di Kampung Laut telah memiliki jalan yang lebar, sekaligus menjadi tanggul air asin dan persawahan. 

Setelah mengajak masyarakat Kampung Laut membuat jalan, dia mulai memikirkan pendapatan warga dengan mengubah rawa-rawa menjadi sawah yang bisa menghasilkan padi.

Carolus juga memperhatikan kesehatan warga kampung itu bersama tenaga medis YSBS yang dipimpinnya.

Tidak hanya itu, hingga sekarang dia  aktif berkarya untuk masyarakat Cilacap. 

Lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya ia dirikan dari Lembaga Pendidikan Yos Sudarso, Yayasan Pembina Pendidikan Kemaritiman, Mikro Kredit Swadaya Wanita Indonesia, Mikro Kredit Swadaya Perempuan Cilacap, sampai BPR Ukibima Cilacap.

Stigma 

Tetapi, di tengah kedermawanannya itu, stigma misionaris terus melekat pada aktivitas Romo Carolus, hingga kini.

Mengenai soal ini, Carolus hanya berujar, “Saya baru 20 persen Katolik. So, mana mungkin saya mengajak masuk Katolik jika saya sendiri belum benar-benar menjadi Katolik?”

Dengan alasan itu, Carolus selalu menolak membaptis warga yang berniat masuk Katolik.

Dia bahkan sempat dicurigai sebuah ormas Islam di Cilacap, yaitu Front Pembela Islam atau FPI.

Tetapi setelah melihat niat Carolus yang murni bermisikan kemanusiaan yang universal, Dewan Pimpinan FPI Cilacap akhirnya menerima dan bahkan mendukung kegiatannya.

“Kami sangat mengapresiasi bantuan Romo kepada sebagian masyarakat Cilacap. Beliau itu murni untuk aksi sosial,” kata Haryanto seperti dikutip dari booklet Maarif Award 2012.

Pluralisme

Dia memang Katolik, tapi Carolus juga banyak berperan dalam meningkatkan kerukunan umat beragama di Cilacap.

Dia mendirikan forum antarumat beragama Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) yang mengajak semua warga bersatu dengan menanggalkan baju agama mereka.

“Dia tidak pernah banyak bicara agama. Yang selalu dibicarakannya adalah mengenai kemanusiaan,” kata salah seorang pengurus FPUB Taufik.

Bahkan Carolus sering diajak mengikuti pengajian warga muslim Kampung Laut.

Sekolah yang didirikan Carolus pun memberikan toleransi besar kepada siswa muslim dengan memberinya materi pelajaran agama Islam. Kelasnya pun dipisah.

“Sekolah kami adalah yang kali pertama mengadakan pelajaran agama Islam untuk pemeluknya,” kata Kepala Sekolah SMK Yos Soedarso Yohanes Parsian.

Kekemanusiannya dan kesalehan sosialnya yang tinggi mengundang decak kagum siapa saja, termasuk tokoh-tokoh nasional.

“Jarang ditemukan orang yang seperti ini. Dimensi kemanusiaannya jauh lebih dalam. Seorang FPI saja hormat kepada dia,” kata Buya Syafii Maarif pendiri Maarif Institute dalam sambutannya pada malam penganugerahan Maarif Award di Metro TV, Jakarta, Sabtu Malam.

Buya Syafii berharap muncul generasi-generasi muda yang meniru dan bertindak seperti Romo Carolus.

Editor: Jafar M Sidik

SHARE THIS
Previous Post
Next Post