Sifat-Sifat Gereja Katolik ( Bahan Adven 2 )

Sifat-Sifat Gereja Katolik ( Bahan Adven 2 )

SIFAT-SIFAT GEREJA KATOLIK

Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah sendiri, oleh karena itu disadari pula bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman yang langsung menyusul era rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
  • Gereja itu “satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain, dan juga dengan kepala jemaat yang kelihatan, yakni uskup; lagi pula mempersatukan para uskup satu sama lain dengan pusatnya di Roma.
  • Gereja itu “kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwaiNya, Gereja bersatu dengan Tuhan, satu-satunya yang dari diriNya sendiri kudus.
  • Gereja itu “katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua.
  • Gereja itu “apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah” jika bersatu dengan pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta para Rasul (apostoloi), seperti Keuskupan Yerusalem (Yakobus), Antiokhia (Petrus), Roma (Petrus), Konstantinopel (Andreas).
Keempat sifat itu memang kait mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu Ilahi sekaligus insane, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan.
A. Gereja Kristus yang Satu
1. Arti Gereja yang Satu
Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja Katolik sendiri maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam kekompakan organisasi atau kerukunan social. Yang utama bukan soal struktur organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari.
Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja.
Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman.
Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:
  • Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi kesatuan yang dinamis. Iman adala prinsip kesatuan batiniah Gereja.
  • Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari Gereja.
  • Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental: kebaktian dan sakramen-sakramen merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).
2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja adalah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2). Tatapi, bagaimana kesatuan Ilahi itu diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat besar.
Kenyataannya, perpecahan dan pemisahan terjadi di dalam Gereja. Memang “Allah telah berkenan menghimpun orang-orng yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah dan membuat mereka menjadi satu Tubuh. Tetapi, bagaimana rencana Allah itu dilaksanakan oleh manusia Kristen? Perpecahan dan keretakan yang terjadi dalam Gereja tentu saja disebabkan oleh perbuatan manusia. Tata susunan sosial Gereja yang tampak melambangkan kesatuannya dengan Kristus (GS 44). Tetapi justru struktur sosial itu sekaligus membedakan (memisahkan) Gereja yang satu dengan yang lain. Umat Kristen kelihatan terpecah belah, justru karena struktur-struktur yang mau menyatakan kesatuan masing-masing kelompok itu. Meski demikian, hamper semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja yang kelihatan, yang sungguh bersifat universal dan diutus ke seluruh dunia (UR1). Di satu pihak, diimani bahwa Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi di pihak laindisadari bahwa perwujudan konkret harus berkembang dan disempurnakan terus-menerus. Oleh karena itu, kesatuan iman mendorong umat Kristen supaya mencari “persekutuan” (communion) dengan semua saudara dalam iman, walaupun bentuk organisasinya mungkin masih jauh dari kesatuan sempurna.
Kesatuan Gereja pertama-tama harus diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang hidup bersama dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh melampaui batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang yang “berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Tim 2:22)
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap umat Kristen sendiri. Usaha yang dapat digalakkan untuk memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:
  • aktif dalam kehidupan Gereja,
  • setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki, dsb.
Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya
  • lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain, lebih melihatkan kesamaan daripada perbedaan,
  • mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan bersama, dsb.
Kesatuan Gereja tidak identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili memungkinkan keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman.
B. Gereja Kristus yang Kudus
1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya (bdk LG 8,39,41 dan 48).
Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa.
Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang secara definitif pada akhir jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa para pendosa itupun anggota Gereja sehingga Gereja tak hanya ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh warganya dan pemukanya memang para pendosa yang masih berdosa dan akan berdosa. Itulah mengapa Gereja harus senantiasa menguduskan diri dengan memperbarui terus menerus (UR 4:6)
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Sebab, Gereja dijamin Tuhan untuk tak sampai kehilangan rahmatNya kendati berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang akan menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan tidak tergantung pada anggota Gereja melainkan pada Roh Kudus yang menjadi sumber kekudusan Gereja. Itulah mengapa St. Paulus berkata “atau tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena unsure-unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
  • Sumber dari mana gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja menerima kekudusannya dari Kristus atas doa-doaNya (lih Yoh 17:11).
  • Tujuan dan arah Gereja dalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia
  • Jiwa Gereja adalah kudus, sebab jiwa gereja adalah Roh Kudus sendiri
  • Unsur-unsur Ilahi yang otentik di dalam Gereja adalah kudus, seperti ajaran-ajaran dan sakramen-sakramen
  • Anggotanya adalah kudus, karena ditandai oleh Kristus melalui pembabtisan dan diserhakan kepada Kristus serta dipersatukan dalam iman, harapan, dan cinta yang kudus. Semua itu tidak berarti bahwa anggotanya selalu kudus (suci), namun ada juga yang mencapai kekudusan heroik. Semua dipanggil untuk kekudusan.
2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja
Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita mengimani bahwa Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja, membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus.
Kekudusan juga terungkap dengan “aneka cara pada masing-masing orang”. Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya
Dalam hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. Kudus diartikan sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus” itu menyangkut seluruh bidang sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan
Kekudusan tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan Kristus dalam Roh Kudus. Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan anggotaNya. Jadi, kekudusan Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup hidup Allah. Anggota Gereja adalah “orang kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah-tengah dunia yang tidak mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr 2:9) dan karenanya kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh anggotanya.
Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:
  • saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra-putri Allah
  • memperkenalkan anggota-anggota Gereja yang sudah hidup secara heroic untuk mencapai kekudusan
  • merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb
C. Gereja yang Katolik
1. Arti dan Makna Gereja yang Katolik
Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”. Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum. Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada Gereja “katolik”. Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat (paroki, stasi) bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal.
Dalam syahadat kata “katolik” masih mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata “universal” pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif:
Segi kuantitatif adalah faktor geografis, yang mana memperoleh warganya dari semua bangsa dan hidup di tengah segala bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah pada dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh dunia.
Segi kualitatif, karena ajarannya dapat diwartakan kepada segenap bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka, menampung dan memajukan terhadap segenap kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa. Tidak hanya menampung dan menerima saja melainkan juga menjiwai seluruh dunia. Yang hadir di mana-mana serta mengangkat segala kekayaan umat manusia sesungguhnya bukan Gereja melainkan Roh yang berkarya dalam dan melalui Gereja. Dalam hal ini tidak ada sesuatu pun yang tidak diterima Gereja.
Singkatnya, Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam:
  • rahmat dan keselamatan yang ditawarkan,
  • iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun)
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain
Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik.
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri kedalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan identitas yang bersifat dinamis, yang selalu di mana-mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri (lih. Mrk 16:16; Luk 10:16)
D. Gereja yang Apostolik
1. Arti Gereja yang apostolik
Apostolik berasal dari kata Yunani, “ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang berate utusan, suruhan, wakil resmi yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian dipaki untuk menyebut para rasul. Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para rasul, dan tetao berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah ada sejak jaman Gereja perdana.
Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan, memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya.
Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang, melainkan segala kelangsungan iman dan pengakuan.
Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak dahulu diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam hal ini, seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam pelayanannya.
Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus Kristus. Hubungan itu tampak dalam:
  • Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul. Fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul.
  • Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
  • Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.
2. Mewujudkan keapostolikan Gereja
Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para rasul. Gereja sekrang hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan imannya. Karena pewartaan para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci, maka sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Kesatuan dengan Gereja purba adalah kesatuan hidup, yang pusatnya adaah Kitab Suci dan Tradisi. Secara konkret, tradisi selalu merupakan konfrontasi terus-menerus antara situasi gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci. Gereja harus senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret berpangkal pada sikap iman Gereja para rasul.
Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:
  • Setia dan mempelajari Injil, sebab Injil merupakan iman Gereja para rasul.
  • Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret dengan iman Gereja para rasul
  • Setia dan loyal kepada hiararki sebagai pengganti para rasul
Sumber:
1. Iman Katolik
2. Seri Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman


Seputar Adven dan Natal

Seputar Adven dan Natal

Mengerti apa yang terjadi di seputar Natal
Setiap tahun umat Kristiani merayakan Natal. Bagi umat Katolik, perayaan Natal didahului dengan persiapan masa Natal, yaitu Masa Adven yang merupakan masa persiapan kedatangan Kristus. Bagi banyak orang, Natal dan Adven identik dengan pohon natal, kandang natal, dan hadiah natal. Namun, lebih daripada itu, hal yang terpenting dilakukan adalah persiapan rohani untuk menyambut Kristus. Namun sayangnya, banyak orang kurang mengetahui alasan dan makna di balik semua persiapan rohani yang dilakukan. Artikel ini bertujuan untuk mengupas tradisi di seputar Natal dan persiapan yang dilakukan selama masa Adven, sehingga kita yang merayakan akan semakin menghargai apa yang biasa kita lakukan.
Seputar Natal
1. Kedatangan Yesus menjadi Anno Domini
Secara tidak sadar, sebenarnya dunia mengakui kedatangan Kristus sebagai satu hal yang begitu istimewa, karena perhitungan kalendar internasional menggunakan acuan kedatangan Kristus, yaitu yang dinamakan Anno Domini (AD), artinya tahun Tuhan, untuk menandai tahun-tahun sesudah kelahiran Kristus; dan BC, yaitu singkatan dari Before Christ untuk tahun- tahun sebelum kelahiran Kristus. Dengan demikian, kedatangan Kristus membagi sejarah manusia menjadi dua, dan titik pusatnya adalah Kristus sendiri. Ini adalah kenyataan yang terjadi berabad-abad dan patokan AD dan BC akan terus berlaku sampai akhir zaman.
Namun, kalau kita mengadakan perhitungan, sebenarnya kedatangan Kristus bukanlah permulaan tahun AD, namun sekitar 7BC – 5BC. Dionysius Exiguus (470-544) adalah seorang anggota Scythian monks, yang akhirnya tinggal di Roma sekitar tahun 500. Dionysius adalah orang yang pertama kali memperkenalkan AD (Anno Domini / the year of the Lord) pada waktu dia membuat kalendar Paskah (Easter). Sistem penanggalan ini menggantikan sistem penanggalan Diocletian, karena Dionysius tidak ingin menggunakan perhitungan Diocletian, seorang Kaisar yang menganiaya jemaat Kristen di abad ke-3. Dionysius mengatakan bahwa Anno Domini dimulai 754 tahun dari pondasi Roma (A.U.C) atau tahun 1 AD, yaitu tahun dimana Yesus lahir (dalam perhitungan Dionysius). Namun berdasarkan perhitungan para ahli, terutama berdasarkan bukti sejarah dari Josephus, maka perhitungan ini tidaklah benar.
Kitab Matius mengatakan “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem” (Mt 2:1). Josephus, seorang ahli sejarah mengatakan bahwa Raja Herodes meninggal setelah berkuasa selama 34 tahun (de facto) dari meninggalnya Antigonus dan 37 tahun (de jure) sejak Roma mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa dia adalah raja (Josephus, Antiquities, 17,8,1). Antigonus meninggal pada saat Marcus Agrippa dan Lucius Caninius Gallus menjadi konsulat, yaitu pada tahun 37 BC.[1]. Herodes menjadi raja pada saat Caius Domitias Calvinus dan Caius Asinius Pollio menjadi konsulat pada tahun 40 BC. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Dihitung dari meninggalnya Antigonus: 37 BC – 34 = 3 BC atau dihitung dari Raja Herodes menjadi raja: 40 BC – 37 = 3 BC.
Oleh karena itu, raja Herodes dipercaya meninggal sekitar 3 BC – 5 BC, atau kemungkinan sekitar 4 BC. Hal ini dikarenakan Josephus mengatakan bahwa pada saat tahun itu juga terjadi gerhana bulan (Josephus, Antiquities, 17,6, 4). Dan gerhana bulan ini terjadi pada tahun 4 BC. Karena Herodes meninggal tahun 4 BC, maka Kristus harus lahir sebelum tahun 4 BC. Dan diperkirakan Yesus lahir beberapa tahun sebelum kematian raja Herodes. Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, para ahli percaya bahwa kelahiran Yesus adalah sekitar tahun 7 BC – 6 BC.
2. Mengapa merayakan Natal tanggal 25 Desember
Setiap tahun kita merayakan hari Natal, yaitu Hari Kelahiran Yesus Kristus. Namun mungkin banyak di antara kita yang mempunyai pertanyaan- pertanyaan sehubungan dengan perayaan Natal, setidak-tidaknya seperti tiga buah pertanyaan berikut ini. Pertama, tentang asal-usul perayaan Natal. Kedua, apa perlunya merayakan Natal, mengingat kata Natal tidak disebut dalam Kitab Suci. Ketiga, bolehkah merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember?[2]
Memang ada beberapa teori tentang asal mula hari Natal dan Tahun Baru. Menurut Catholic Encyclopedia, pesta Natal pertama kali disebut dalam “Depositio Martyrum” dalam Roman Chronograph 354 (edisi Valentini-Zucchetti (Vatican City, 1942) 2:17).[3] Dan karena Depositio Martyrum ditulis sekitar tahun 336, maka disimpulkan bahwa perayaan Natal dimulai sekitar pertengahan abad ke-4.
Kita juga tidak tahu secara persis tanggal kelahiran Kristus, namun para ahli memperkirakan sekitar 8-6 BC (Sebelum Masehi). St. Yohanes Krisostomus berargumentasi bahwa Natal memang jatuh pada tanggal 25 Desember, dengan perhitungan kelahiran Yohanes Pembaptis. Karena Zakaria adalah imam agung dan hari silih (Atonement) jatuh pada tanggal 24 September, maka Yohanes Pembaptis lahir tanggal 24 Juni dan Kristus lahir enam bulan setelahnya, yaitu tanggal 25 Desember.[4]
Banyak juga orang yang mempercayai bahwa kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember adalah berdasarkan tanggal winter solstice (25 Desember dalam kalendar Julian). Pada tanggal tersebut matahari mulai kembali ke utara. Dan pada tanggal yang sama kaum kafir /pagan berpesta “Dies Natalis Solis Invicti” (perayaan dewa Matahari). Pada tahun 274, kaisar Aurelian menyatakan bahwa dewa matahari sebagai pelindung kerajaan Roma, yang pestanya dirayakan setiap tanggal 25 Desember.[5] Hal ini juga berlaku untuk tahun baru, yang dikatakan berasal dari kebiasaan suku Babilonia. Semua ini merupakan spekulasi.
Namun, anggaplah bahwa data historis tersebut di atas benar, dan pesta Natal diambil dari kebiasaan kaum kafir, maka pertanyaannya, apakah kita sebagai orang Kristen boleh merayakannya? Jawabannya YA, dengan beberapa alasan:
a. Alasan inkulturasi. Kita tidak harus menghapus semua hal di dalam sejarah atau kebiasaan tertentu di dalam kebudayaan tertentu, sejauh itu tidak bertentangan dengan ajaran dan doktrin Gereja dan juga membantu manusia untuk lebih dapat menerima Kekristenan. Esensi dari perayaan Natal adalah kita ingin memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang menunjukkan misteri inkarnasi yaitu Allah menjelma manjadi manusia. Dan karena Yesus adalah Terang Dunia (Lih. Yoh 8:12; Yoh 9:5), maka sangat wajar untuk mengganti penyembahan kepada dewa matahari dengan Allah Putera, yaitu Yesus, Sang Terang Dunia itu. Dan karena Yesus adalah “awal dan akhir” dan datang “untuk membuat semuanya baru” (Why 21:5-6), maka tahun kelahiran Kristus diperhitungkan sebagai tahun pertama atau disebut 1 Masehi. Dengan ini, maka orang-orang yang tadinya merayakan dewa matahari, setelah menjadi Kristen, mereka merayakan Tuhan yang benar, yaitu Yesus Sang Terang Dunia. Dan orang-orang tersebut akan dengan mudah menerima Kekristenan, sedangkan Gereja juga tidak mengorbankan nilai-nilai Kekristenan.
Namun di satu sisi, Gereja tidak pernah berkompromi terhadap hari Tuhan, yang kita peringati setiap hari Minggu. Di sini Gereja mengetahui secara persis, bahwa kematian Tuhan Yesus di kayu salib jatuh pada hari Jumat, dan kebangkitan-Nya adalah hari Minggu. Pada masa Gereja awal, ada sekelompok orang yang memaksakan untuk mengadakan hari Tuhan pada hari Sabat (mulai hari Jumat sore sampai Sabtu malam). Namun beberapa Santo di abad awal mempertahankan bahwa hari Tuhan adalah hari Minggu dengan alasan: 1) Yesus bangkit pada hari Minggu, 2) Yesus memperbaharui hukum dalam Perjanjian Baru dengan hukum yang baru. Dengan dasar inilah Gereja tetap teguh mempertahankan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Namun dalam hal perayaan Natal, tidak ada yang tahu secara persis hari kelahiran Tuhan Yesus, sehingga perayaannya ditentukan dengan pertimbangan tertentu, sebagaimana disebutkan di atas, tanpa mengorbankan prinsip ajarannya.
b. Kalau kita amati, manusia dalam relung hatinya mempunyai keinginan untuk menemukan Penciptanya. Penyembahan kepada dewa matahari merupakan perwujudan bahwa menusia mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya, dan mereka menganggap ‘sesuatu’ itu adalah matahari, yang dipandang dapat memberikan kehidupan bagi mahluk hidup pada waktu itu. Namun sesuai dengan prinsip grace perfects nature atau rahmat menyempurnakan sifat alamiah[6] , maka tidak ada salahnya untuk mengadopsi tanggal yang sama, dengan menyempurnakan konsep yang salah sehingga menjadi benar, dalam hal ini, penyembahan terhadap dewa terang/ matahari dialihkan kepada penyembahan kepada Yesus, Sang Sumber Terang, yang menciptakan matahari dan segala ciptaan lainnya.
c. Adalah baik untuk mempunyai tanggal tertentu (dalam hal ini 25 Desember untuk perayaan Natal), yang setiap tahun diulang tanpa henti sampai pada akhir dunia. Tanggal ini senantiasa akan mengingatkan kita akan kelahiran Yesus Kristus. Kalau kita mengadakan angket di seluruh dunia, dengan pertanyaan “Kita memperingati apakah pada tanggal 25 Desember?”, kita dapat yakin bahwa hampir semua jawaban akan mengatakan “Hari Natal, atau kelahiran Kristus” dan bukan merayakan dewa matahari, ataupun perayaan lainnya.
d. Untuk umat Katolik, melalui masa Adven, Gereja menginginkan agar seluruh umat Katolik mempersiapkan diri menyambut datangnya Sang Raja. Dari sini kita melihat bahwa Gereja Katolik justru mendorong kita semua untuk mengambil bagian dalam persiapan Natal, yaitu dengan pertobatan, agar hati kita siap menyambut kedatangan-Nya yang kita rayakan pada tanggal 25 Desember.
Namun, bukankah Natal tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci? Mengapa kita tetap merayakan Natal? Kita tahu, bahwa tidak semua hal disebutkan di dalam Kitab Suci (lih. Yoh 21:25), termasuk kata Inkarnasi, Trinitas, Natal. Jangan lupa juga bahwa Kitab Suci pun tidak pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal. Satu hal yang pasti adalah kelahiran Yesus disebutkan di dalam Kitab Suci. Merayakan misteri Inkarnasi, merayakan Tuhan datang ke dunia dalam rupa manusia, merayakan bukti cinta kasih Allah kepada manusia adalah esensi dari perayaan Natal. Dengan demikian, perayaan Natal adalah hal yang sangat baik, karena seluruh umat Allah memperingati belas kasih Allah. Kalau memperingati ulang tahun anak kita adalah sesuatu yang baik – karena mengingatkan akan kasih Allah yang memberikan anak di dalam keluarga kita, maka seharusnya memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita adalah hal yang amat sangat baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember atau sesudah lewat masa Natal? Sebenarnya, dari pemahaman makna Adven, kita, umat Katolik,  tidak dianjurkan untuk merayakan Natal sebelum hari Natal. Sebab justru karena kita menghargai hari Natal sebagai hari yang sangat istimewa, maka kita perlu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Persiapan ini kita lakukan dengan masa pertobatan selama 4 minggu, yaitu mengosongkan diri kita dari segala dosa yang menghalangi kita menyambut Sang Juru Selamat; agar pada hari kelahiran-Nya, kita dapat mengalami lahir-Nya Kristus secara baru di dalam hati kita. Dengan demikian, kalau kita ingin merayakan Natal bersama keluarga, mari kita rayakan setelah Malam Natal, setelah hari Natal, selama dalam 8 hari (Oktaf Natal). Gereja Katolik memang merayakan Natal sejak Malam Natal sampai hari Epifani (Minggu Pertama setelah Oktaf Natal) dan bahkan gereja-gereja memasang dekorasi Natal sampai perayaan Pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (hari Minggu setelah tanggal 6 Januari).
3. Mengapa pohon cemara?
Sejarah pohon natal dapat ditelusuri sampai di sekitar abad ke-8, saat St. Bonifasius (675-754), seorang uskup Inggris, menyebarkan iman Katolik di Jerman. Pada saat dia meninggalkan Jerman dan pergi ke Roma sekitar 15 tahun lamanya, jemaat yang dia tinggalkan kembali lagi kepada kebiasaan mereka untuk mempersembahkan kurban berhala di bawah pohon Oak. Namun dengan berani St. Bonifasius menentang hal ini dan kemudian menebang pohon Oak tersebut. Jemaat kemudian bertanya bagaimana caranya mereka dapat merayakan Natal. Maka St. Bonifasius kemudian menunjuk kepada pohon fir atau pine, yang melambangkan damai dan kekekalan karena senantiasa hijau sepanjang tahun. Juga karena bentuknya meruncing ke atas, maka itu mengingatkan akan surga. Bentuk pohon yang berupa segitiga dan menjulang ke atas serta hijau sepanjang tahun, inilah mengingatkan kita akan misteri Trinitas, Allah yang kekal untuk selama-lamanya, yang turun ke dunia dalam diri Kristus untuk menyelamatkan manusia.
Maka walaupun memang tradisi pohon cemara tidak diperoleh dari jaman dan tempat asal Yesus, penggunaan pohon cemara tidak bertentangan dengan pengajaran Kitab Suci. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah maknanya: yaitu untuk mengingatkan umat Kristiani agar mengingat misteri kasih Allah Trinitas yang kekal selamanya, yang dinyatakan dengan kelahiran Yesus Sang Putera ke dunia demi menebus dosa manusia.
Tradisi Masa Adven
Begitu pentingnya peristiwa kelahiran Yesus Sang Putera, sehingga Gereja mempersiapkan umatnya untuk memperingatinya; dan masa persiapan ini dikenal dengan masa Adven. Kata “adven” sendiri berasal dari kata “adventus” dari bahasa Latin, yang artinya “kedatangan”. Masa Adven yang kita kenal saat ini sebenarnya telah melalui perkembangan yang cukup panjang. Pada tahun 590, sinode di Macon, Gaul, menetapkan masa pertobatan dan persiapan kedatangan Kristus. Kita juga menemukan bukti dari homili Minggu ke-2 masa Adven dari St. Gregorius Agung (Masa kepausan 590-604). Dari Gelasian Sacramentary, kita dapat melihat adanya 5 minggu masa Adven, yang kemudian diubah menjadi 4 minggu oleh Paus Gregorius VII (1073-1085). Sampai sekarang, masa Adven ini dimulai dari hari Minggu terdekat dengan tanggal 30 November (hari raya St. Andreas) selama 4 minggu ke depan sampai kepada hari Natal pada tanggal 25 Desember.
Masa Adven ini berkaitan dengan permenungan akan kedatangan Kristus. Kristus memang telah datang ke dunia, Ia akan datang kembali di akhir zaman; namun Ia tidak pernah meninggalkan Gereja-Nya dan selalu hadir di tengah- tengah umat-Nya. Maka dikatakan bahwa peringatan Adven merupakan perayaan akan tiga hal: peringatan akan kedatangan Kristus yang pertama di dunia, kehadiran-Nya di tengah Gereja, dan penantian akan kedatangan-Nya kembali di akhir zaman. Maka kata “Adven” harus dimaknai dengan arti yang penuh, yaitu: dulu, sekarang dan di waktu yang akan datang.
Ini adalah dasar dari pengertian tiga macam kedatangan Kristus yang dipahami Gereja Katolik. Pemahaman ini menjiwai persiapan rohani umat; dan hal ini tercermin dalam perayaan liturgi dalam Gereja Katolik. Sebab di antara kedatangan-Nya yang pertama di Betlehem dan kedatangan-Nya yang kedua di akhir zaman, Kristus tetap datang dan hadir di tengah umat-Nya. Hanya saja, masa Adven menjadi istimewa karena secara khusus Gereja mempersiapkan diri untuk memperingati peristiwa besar penjelmaan Tuhan, menjelang peringatan hari kelahiran-Nya di dunia.
Katekismus Gereja Katolik (KGK, 524) menuliskan:
KGK, 524 Dalam perayaan liturgi Adven, Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias; dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan yang lama menjelang kedatangan pertama Penebus dan membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan-Nya yang kedua (Bdk. Why 22:17.). Dengan merayakan kelahiran dan mati syahid sang perintis, Gereja menyatukan diri dengan kerinduannya: “Ia harus makin besar dan aku harus makin kecil” (Yoh 3:30).
Pada masa Adven, umat Katolik sering melakukan ulah kesalehan yang baik, yang berakar selama berabad-abad. Ulah kesalehan ini bertujuan untuk membantu mempersiapkan umat dalam menyambut kedatangan Sang Mesias.[7] Semua ulah kesalehan ini mengingatkan umat akan Sang Mesias yang sebelumnya telah dinubuatkan melalui perantaraan para nabi dalam Perjanjian Lama. Ulah kesalehan ini juga mengingatkan umat Allah akan Kristus yang lahir dari Perawan Maria dengan begitu banyak kesulitan, yang akhirnya terlahir, namun terlahir di kandang, di tempat yang kurang layak. Mari sekarang kita membahas persiapan rohani yang terkait dengan masa Adven.
1. Persiapan spiritual
Karena masa Adven adalah masa penantian yang harus diisi dengan pertobatan, sehingga kita mempersiapkan diri kita untuk menyambut kedatangan Kristus, maka sudah seharusnya umat Allah mempersiapkan diri secara spiritual. Persiapan yang terbaik adalah dengan lebih sering menerima Sakramen Ekaristi dan juga menerima Sakramen Tobat. Sakramen Ekaristi menyadarkan kita akan kasih Allah yang memberikan Putera-Nya untuk bersatu dengan kita, yang dimulai dengan peristiwa Inkarnasi. Sakramen Tobat menyadarkan kita bahwa kita sebenarnya tidak layak menyambut Kristus karena dosa-dosa kita, namun Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Masa Adven adalah waktu yang tepat untuk terus bertekun dalam doa-doa pribadi dan membaca Kitab Suci. Sungguh baik kalau kita dapat mengikuti bacaan Kitab Suci mengikuti kalender Gereja, karena bacaan-bacaan telah disusun sedemikian rupa untuk mempersiapkan kita menyambut Sang Mesias.
Dalam masa Adven ini, ada sebagian umat yang juga menjalankan Novena Maria dikandung Tanpa Noda, Novena Natal dan Novena Kanak- kanak Yesus. Karena Gereja memperingati Maria dikandung Tanpa Noda (Immaculate Conception) pada tanggal 9 Desember, maka penghormatan kepada Bunda Maria, yang melahirkan Kristus juga dipandang sebagai devosi yang baik. Jika devosi ini dilaksanakan, maka sebaiknya menonjolkan teks-teks profetis, mulai dari Kej 3:15 dan berakhir pada kabar gembira dari malaikat Gabriel kepada Maria, yang penuh rahmat.[8]
2. Lingkaran Adven
Lingkaran Adven (Adven wreath) adalah satu lingkaran yang biasanya terbuat dari daun-daun segar, dengan empat lilin. Pada awal mulanya, sebelum kekristenan berkembang di Jerman, orang- orang telah menggunakan lingkaran daun, yang atasnya dipasang lilin untuk memberikan pengharapan bahwa musim dingin yang gelap akan lewat. Di abad pertengahan, umat Kristen mengadaptasi kebiasaan ini dan memberikan makna yang baru pada lingkaran daun ini menjadi lingkaran Adven, untuk menantikan kedatangan Mesias, Sang Terang. Dikatakan bahwa penyalaan lilin yang bertambah minggu demi minggu sampai hari Natal merupakan permenungan akan tahapan karya keselamatan Allah sebelum kedatangan Kristus, yang adalah Sang Terang Dunia, yang akan menghapuskan kegelapan. (Ibid, 98))
Di dalam dokumen Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi, tidak disebutkan warna lilin yang digunakan, sehingga umat dapat menggunakan lilin warna putih ataupun ungu. Karena masa Adven juga menjadi masa pertobatan, maka lilin dapat menggunakan warna ungu, yang menjadi simbol pertobatan. Kemudian di Minggu ke-3, atau disebut minggu Gaudete atau minggu sukacita, dipasang lilin berwarna merah muda, yang menyatakan sukacita karena masa penantiaan akan telah berjalan setengah dan akan berakhir. Ada juga kebiasaan, yang meletakkan lilin putih di tengah, yang dinyalakan saat masa Adven selesai, yang menyatakan bahwa Kristus telah datang.
3. Antifon Tujuh ‘O’
Gereja Katolik mengharuskan para imam untuk berdoa liturgi harian (Liturgy of the hour atau Brevier). Walaupun doa ini diperuntukkan untuk para imam, namun kaum awam juga dianjurkan untuk mendoakannya. Dengan demikian, alangkah baik, kalau pada tanggal 17-23, juga diadakan ibadah sore bersama-sama di Gereja. Doa ini begitu indah dan dalam, sehingga seseorang dapat berdoa bersama dengan Gereja, doa berdasarkan Sabda Tuhan, dan doa bersama dengan para santa-santo yang dirayakan dalam liturgi Gereja. Dalam masa Adven, tujuh hari sebelum Natal, yaitu tanggal 17-23 Desember, didoakan antifon sebagai berikut: O Sapientia (O Kebijaksanaan), O Adonai (O Tuhan), O Radix Jesse (O Pangkal Isai), O Clavis David (O Kunci Daud), O Oriens (O Bintang Fajar), O Rex Gentium (O Raja Segala Bangsa), O Emmanuel (O Imanuel / O Tuhan beserta kita). Kalau kita mengambil inisial dari doa tersebut mulai dari sebutan yang terakhir, maka akan membentuk kalimat  “ERO CRAS”, yang artinya Besok, Aku akan datang. Jadi, masa penantian dalam masa Adven senantiasa dibarengi dengan pengharapan akan kedatangan Sang Imanuel.
Antifon ini menggambarkan kerinduan akan kedatangan Sang Mesias. Dia yang merupakan Sabda Allah (O, Kebijaksanaan), yang akan mengajarkan manusia jalan Allah dengan cara Sang Sabda yang adalah Allah menjadi manusia (lih. Yoh 1:1). Bagaimana pemenuhan dari janji ini? Hal ini dipenuhi secara bertahap, dengan menggambarkan beberapa karakter. Kalau sebelum-Nya Allah menyatakan hukum-hukumnya dalam dua loh batu, maka nanti Dia akan menyatakannya lewat sebuah Pribadi (O Adonai). Pribadi ini akan datang dari keturunan Daud (O Radix Jesse), yang menggambarkan Inkarnasi, di mana semua raja akan bertekuk lutut. Dia mempunyai kekuasaan tak terbatas, yang digambarkan sebagai kunci Daud (O Clavis David), di mana Dia akan mengangkat manusia dari keterpurukan. Dia akan memberikan terang (O Oriens) kepada bangsa-bangsa. Terang ini menyinari semua orang, baik bangsa Yahudi maupun non-Yahudi, dan Dia akan menjadi raja segala bangsa (O Rex Gentium). Dia akan datang kepada umat manusia dan akan menyertai (O Emmanuel) umat manusia. Itulah harapan dari umat manusia akan kedatangan Sang Penyelamat. Dan dari rangkaian tujuh O Antifon, maka seolah-olah Yesus menjawab kerinduan ini, dengan mengatakan ERO CRAS atau ‘Besok, Aku akan datang’. Mari kita melihat satu persatu dari antifon ini:
17 Desember (O Sapientia)
O Kebijaksanaan, yang mengalir dari Sabda yang Maha Tinggi, menggapai dari ujung ke ujung dengan penuh kuasa, dan dengan gembira memberikan segala sesuatu; datang dan ajarlah kami jalan kebijaksanaan.
“Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN; ya, kesenangannya ialah takut akan TUHAN. Ia tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang.” (Yes 11:2-3)
“Dan inipun datangnya dari TUHAN semesta alam; Ia ajaib dalam keputusan dan agung dalam kebijaksanaan.” (Yes 28:29)
18 Desember (O Adonai)
O Tuhan dan Penguasa dari bangsa Israel, yang telah menampakkan diri kepada Musa dari dalam semak terbakar, dan telah memberikan kepadanya hukum di Sinai: datang dan bebaskanlah kami dengan rengkuhan lengan-Mu.
“Tetapi ia akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran; ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik. Ia tidak akan menyimpang dari kebenaran dan kesetiaan, seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang.” (Yes 11:4-5)
“Sebab TUHAN ialah Hakim kita, TUHAN ialah yang memberi hukum bagi kita; TUHAN ialah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita.” (Yes 33:22)
19 Desember (O Radix Jesse)
O Pangkal Isai, yang berdiri sebagai tanda bagi orang-orang, yang di hadapan-Nya, seluruh raja tidak dapat membuka mulut mereka; yang kepada-Nya seluruh bangsa harus berdoa: datang dan bebaskanlah kami, janganlah menunda lagi.
“Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah.” (Yes 11:1)
“Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia.” (Yes 11:10)
20 Desember (O Clavis David)
O Kunci Daud, dan tongkat dari bangsa Israel; Yang mana apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka: datang dan pimpinlah tawanan dari rumah penjara, dan dia yang duduk dalam kegelapan dan bayang-bayang maut.
“Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.” (Yes 22:22)
“Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. Kecemburuan TUHAN semesta alam akan melakukan hal ini.” (Yes 9:7)
“untuk membuka mata yang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara.” (Yes 42:7)
21 Desember (O Oriens)
O Fajar Timur, Cahaya kemegahan abadi, dan matahari keadilan: Datang dan terangilah mereka yang duduk dalam kegelapan, dan bayang-bayang maut.
“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yes 9:1)
“Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu.” (Yes 60:1-2)
“Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.” (Mal 4:2)
22 Desember (O Rex Gentium)
O Raja Segala Bangsa, dan yang dirindukan, Batu penjuru yang membuat bangsa Yahudi dan non-Yahudi menjadi satu: datang dan selamatkanlah manusia, yang telah Engkau ciptakan dari debu tanah.
“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” (Yes 9:6)
“Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.” (Yes 2:4)
“sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: “Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion sebuah batu, batu yang teruji, sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh: Siapa yang percaya, tidak akan gelisah!” (Yes 28:16)
23 Desember (O Emmanuel)
O Imanuel, Raja dan Pemberi hukum kami, harapan dari semua bangsa dan keselamatan mereka: datang dan selamatkanlah kami, O Tuhan Allah kami.
“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14)
Mempersiapkan Natal dengan sungguh dan menangkap arti Natal
Dari pemaparan di atas, maka sesungguhnya menjadi jelas, bahwa masa Adven adalah masa persiapan untuk menyambut kedatangan Kristus, yang harus diisi dengan pertobatan, yaitu membersihkan rumah hati kita, agar Kristus dapat lahir kembali di hati kita. Kalau kita mempersiapkan diri dengan baik, maka kita akan mengalami Kristus yang hadir di dalam hati kita, sehingga kita juga akan mempunyai tujuan yang sama dengan Inkarnasi Kristus, yaitu untuk mengasihi dengan memberikan diri kepada sesama kita. Dengan kata lain, Natal mengingatkan kita untuk dapat berbagi kasih dengan sesama. Mari, pada masa Adven ini, kita mempersiapkan diri kita dengan sebaik-baiknya. Datanglah ya Tuhan, lahirlah secara baru di dalam hatiku…..!


CATATAN KAKI:
  1. Josephus, Antiquities, 14,16, 4 []
  2. Tiga pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan ini dimuat di tabloid Catholic Life edisi Desember 2011 []
  3. New Catholic Encyclopedia, Vol III, The Catholic University of America, (Washington: 1967, reprint 1981), p.656 []
  4. Ibid. []
  5. Ibid. []
  6. lihat St. Thomas Aquinas, ST, I, q.1, a.8. []
  7. Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi, Asas-asas dan pedoman, 97 []
Ibid., 102 []

Sumber : http://katolisitas.org/7671/seputar-adven-dan-natal